1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintah Thailand Siap Berunding Dengan Separatis

Ana Lehmann26 Maret 2013

Setelah sembilan tahun konflik berdarah di kawasan selatan, pemerintah Thailand akan melakukan perundingan dengan kelompok separatis hari Kamis (28/03) di Malaysia.

https://p.dw.com/p/184NJ
A Thai soldier guards as his comrades inspect a dead bodies of suspected insurgents after a clash with marines at a Navy base in Narathiwat province, southern Thailand, 13 February 2013. (c) dpa - Bildfunk+++
Konflikt di Thailand selatanFoto: picture-alliance/dpa

Kesepakatan untuk melakukan perundingan dicapai di Malaysia akhir Februari lalu. Sebelumnya sudah dilakukan serangkaian pertemuan rahasia antara wakil pemerintah Thailand dan kelompok separatis Barisan Revolusi Nasional, BRN-C. Melalui penengahan Malaysia, akhirnya Ketua Dewan Keamanan Nasional Thailand, Paradorn Pattannathabutr dan wakil dari BRN-C menandatangani kesepakatan untuk melakukan perundingan damai di Kuala Lumpur.

”Pembicaraan ini akan merupakan dialog, yang hasilnya mungkin berupa otonomi dalam bidang kebudayaan,” kata Marco Bunte, pengamat politik internasional yang saat ini menjadi dosen di Kuala Lumpur. Tapi menurut Bunte, pemerintah Thailand tidak bisa bertindak tanpa persetujuan kelompok militer yang sangat berpengaruh. Sampai saat ini, militer menolak tuntutan otonomi bagi provinsi-provinsi di selatan.

Jim Della Giacoma dari International crisis Group juga berpandangan sama. ”Militer tidak ingin melepaskan kontrolnya. Militer melihat dirinya sebagai pelindung kesatuan nasional Thailand, yang berlandaskan pada raja, agama dan bahasa”, katanya.

Konflik Berdarah

Di tiga provinsi selatan Thailand, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat yang berbatasan dengan Malaysia, ada kelompok gerilyawan separatis yang sudah beroperasi selama bertahun-tahun. Mereka menyerbu kantor polisi, meledakkan bom mobil, menyerang toko-toko dan kantor publik dengan senapan mesin. Mereka menculik dan membunuh orang-orang yang dianggap sudah berkerjasama dengan pemerintah pusat.

Di Thailand selatan sedang terjadi perang saudara yang semakin lama semakin brutal, demikian disebut dalam laporan organisasi International Crisis Group (ICG) yang dikeluarkan Desember 2012. Sejak rangkaian aksi kekerasan mulai terjadi lagi tahun 2004, sudah sekitar 5300 orang yang tewas.

Jim Della-Giacoma dari ICG mengatakan, tujuan kelompok gerilyawan separatis masih belum jelas. Gerakan separatis itu memang terdiri dari beberapa kelompok. Kepada Deutsche Welle Della-Giacoma mengatakan: ”Yang kita lihat disini adalah gerakan perlawanan kelompok-kelompok Islam Melayu. Mereka berjuang di Selatan untuk hak menentukan nasib sendiri. Tapi masih belum jelas, apakah mereka menuntut kemerdekaan dari Thailand, suatu hal yang tidak realistis, atau mereka ingin langkah demi langkah mencapai otonomi yang lebih besar.”

Militer Yang Represif

Menurut penelitian yang dilakukan ICG, gerakan perlawanan itu terdiri dari jaringan komando militan kecil yang aktif pada tingkat desa. Komite desa merekrut relawan dan membiayai aksi-aksi mereka, melakukan propaganda dan meneruskan informasi rahasia kepada kelompok lain. Dengan taktik gerilya ini, mereka mampu bergerak cepat.

Sejak dulu, pemerintah Thailand mengandalkan kekuatan militer. Sekitar 65.000 tentara, paramiliter dan polisi ditempatkan di kawasan selatan. Penampilan dan tindakan militer menghadapi para gerilyawan sangat brutal. Menurut organisasi Human Rights Watch, banyak warga muslim yang diculik, disiksa dan dibunuh. Militer bertindak di bawah undang-undang darurat dan undang-undang khusus lain, sehingga mereka luput dari sanksi hukum.

Sekitar dua juta penduduk hidup di ketiga provinsi selatan itu. Mayoritas penduduknya, sekitar 80 persen, berasal dari bangsa Melayu dan beragama Islam. Dalam laporannya tentang konflik di Thailand, ICG menyebutkan, pemerintah sekarang harus menjadikan krisis di selatan sebagai prioritas utama. Isu desentralisasi tidak boleh menjadi tabu.