1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

250310 Artenschutz Kritik

26 Maret 2010

Sektor industri keluar sebagai pemenang dalam Konferensi Perlindungan Keragaman Hayati di Qatar yang berlangsung hingga Kamis (25/3), dengan binatang yang memiliki nilai dagang sebagai korban.

https://p.dw.com/p/MeI0
Foto: AP

Belum lama ini pada sebuah acara jamuan Kedutaan Jepang di Doha, para tamu ditawari berbagai makanan kecil, termasuk sushi ikan tuna merah. Para tamu itu adalah wakil berbagai delegasi untuk Konferensi Internasional untuk Perlindungan Keragaman Hayati. Hari berikutnya, permohonan untuk melindungi jenis ikan ini ditolak dalam konferensi. Ini merupakan sebuah kemenangan bagi delegasi Jepang. Harga seekor ikan tuna bisa mencapai $100,000 di Tokyo. Bisa dibilang, Jepang berhasil menegosiasikan kepentingan para nelayannya, dengan mengalahkan para pelindung lingkungan.

Oliver Knowles dari Greenpeace International, "Negara yang paling harus dikritik itu Jepang. Kali ini Jepang datang dengan delegasi yang lebih besar dari biasanya. Sejumlah delegasi Afrika mengatakan bahwa aksi me-lobby yang dilakukan para delegasi Jepang sangat agresif. Salah satu target utama mereka tampaknya adalah menghindari perlindungan jenis tuna merah.“

Perlindungan Hayati pertama kali disepakati tahun 1975 di Washington untuk melindungi jenis binatang yang terancam punah melalui larangan atau regulasi penangkapan. Sejak itu negara-negara penandatangan kesepakatan bertemu secara teratur untuk menetapkan status yang perlu diberikan kepada jenis-jenis binatang tersebut, apakah membutuhkan lebih banyak perlindungan atau jumlahnya sudah pulih.

Menurut sejumlah organisasi perlindungan lingkungan pertemuan kali hasilnya negatif. 175 negara telah menandatangani Konvensi Perdagangan Internasional untuk Hayati yang Terancam Punah, CITES, namun upaya membatasi perdagangan binatang-binatang yang sudah langka itu, gagal total. Selain ikan tuna merah dan ikan tuna sirip biru, juga berbagai jenis ikan hiu tetap boleh diburu dan diperdagangkan. Padahal jumlahnya sudah menurun 80 persen di laut Atlantik dan laut Tengah. Sama seperti penolakan perlindungan terhadap beruang kutub. Selain itu permohonan perlindungan untuk 31 jenis koral merah dan koral merah jambu yang digunakan dalam perhiasan, juga ditolak.

Sejumlah anggota delegasi melaporkan, dibalik layar berlangsung negosiasi keras untuk menggagalkan permohononan perlindungan bagi berbagai jenis hayati tersebut. Tersebar berita burung bahwa khususnya dalam permohonan yang dianggap merugikan sektor bisnis, digunakan metode-metode seperti, ancaman dan pembagian uang semir.

Sue Lieberman dari organisasi lingkungan hidup "Pew Environment Group" tidak mau mengkonfirmasi desas-desus itu karena tidak melihat maupun mengalaminya sendiri. Sementara delegasi Jepang secara terbuka menceritakan bahwa mereka menyediakan dana bantuan bagi negara berkembang yang ingin mengembangkan industri perikanannya. Meski begitu tegasnya, itu tak terkait dengan upaya membeli suara partisipan.

Wakil-wakil ornop juga mengritik bahwa keputusan-keputusan terpenting dilakukan secara rahasia, sama sekali tanpa transparansi. Organisasi "Pro Wildlife" dengan sinis menyimpulkan hasil konferensi ini: "Bisnis Besar – Bukan Keragaman Hayati“.

Carsten Kühntopp / Edith Koesoemawiria
Editor: Agus Setiawan