1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelatihan Reproduksi dan Seksualitas di Yogjakarta

21 Mei 2010

Di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi atau SSKR, seksualitas dan reproduksi dipelajari secara terbuka. Sekolah ini adalah semacam pelatihan yang berlangsung selama dua bulan.

https://p.dw.com/p/NThR
Foto: AP Graphics

Nita dan beberapa orang lain memasuki rumah panggung terbuka di Kedai Hijau milik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta. Mereka langsung duduk di lantai kayu beralas karpet mengelilingi empat meja besar. Pagi itu, pelajaran tentang seks dan gender akan segera di mulai. Untuk mendukung proses belajar, sejumlah alat peraga yang terkait dengan seksualitas dan reproduksi disiapkan dekat layar monitor di depan kelas.

Peserta Pelatihan

Seks dan gender merupakan satu dari sekian banyak materi yang dipelajari di sekolah ini. Sepintas, mungkin anda akan bertanya-tanya bahkan merasa aneh mendengar mata pelajaran yang tidak akan di temui di sekolah pada umumnya. Di rumah panggung yang di sulap menjadi sarana belajar inilah, Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) berada. Sekolah pertama di Indonesia yang memang khusus mempelajari tentang seksualitas dan reproduksi.

Siswanya berasal dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa, pegiat LSM, hingga lulusan sekolah menengah atas. Mereka lebih akrab disebut partisipan dan jumlahnya sangat terbatas. Hanya lima belas orang yang sudah diseleksi ketat. Kata kepala sekolah SSKR Sartika Nasmar : Usia yang bisa dijadikan agen dari perubahan untuk memperjuangkan atau mengkampanyekan isu-isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.”

Symbol Mann Frau
Foto: AP Graphics

Materi Pendidikan

Layaknya sekolah, metode pembelajaran tidak hanya teori, tapi juga juga memberikan ketrampilan melalui diskusi hingga simulasi: ”Misalnya kita ada pemeriksaaan fisik langsung. Kita ajarkan bagaimana memeriksakan organ seksual dan reproduksinya itu dan bisa dilakukan sendiri dengan cara yang sederhana. Misalnya pemeriksaaan kesehatan payudara, kita ada praktek bagaimana mereka bisa mengetahui kondisi payudaranya, vagina exam, pemeriksaan vagina dan servix, dll.”

Sartika yang juga menjadi fasilitator di SSKR menambahkan bahwa seluruh materi di SSKR mempunyai kurikulum terstruktur yang dirancang khusus terkait dengan seksualitas dan reproduksi seperti Hak-Hak Seksual dan Reproduksi, Otoritas Tubuh, Seksualitas, Agama dan Budaya, Seks dan Media, Pendidikan Seks, Anatomi dan Fisiologi Organ Seksual dan Reproduksi, Kesehatan Payudara, Kontrasepsi Kehamilan dan Menyusui, Aborsi, Penyakit dan Infeksi Menular Seksual, Keragaman Seksual.

Ruang Berbagi Informasi

Lantas apa yang membuat para partisipan termotivasi untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi? Yemmestri Enita, aktifis IDEA, sebuah organisasi yang fokus pada advokasi perempuan di Yogyakarta, mengemukakan:Saya pikir ini ruang yang bagus untuk berbagi informasi. Harapannya ke depan ini bisa jadi bahan ajar ketika bersinggungan masyarakat langsung. Kesehatan reproduksi bagian dari isu-isu yang urgent karena mereka tidak tahu informasi tentang itu. Saya bersingggungan dengan mereka, karena itu saya kerap kali mendapat PR apa sih kesehatan reproduksi. Persoalan terkait dengan kesehatan. Ini ruang saya untuk belajar.”

Begitu juga Nurul Humafa, yang baru lulus SMA ini dan ingin mengetahui lebih banyak tentang seksualitas dan kehamilan: “Saya tertarik soalnya dilingkungan saya itu semua orang menganggapnya semua ini tabu dan nggak penting dipelajari. Rata-rata kita disekolah hanya mendapatkan materi tentang organ reproduksi tapi tidak dijelaskan secara detail. Lagipula sekarang marak seks bebas, kematian ibu hamil juga meningkat. Dan mungkin dengan ikut ini kita bisa meminimalisir.”

Untuk Diimplementasikan

Meski baru sebulan mengikuti sekolah gratis yang berlangsung selama dua bulan ini, keduanya mengaku sangat terkesan : “Yang menarik kita bener-bener eksplorasi tentang tubuh perempuan dan laki-laki. Inikan hal-hal yang langka yang jarang kita dapatkan. Contohnya ketika sesi tentang pemeriksaan payudara itu bener-bener secara terbuka. kita “telanjang” bersama-sama di forum, melihat utuh. Ini hal menarik bagi saya. Diskusi lain kan tidak secara detail dan melihat betul alat-alat tersebut.”

Tak jauh beda dengan Syaiful Huda, mahasiswa yang juga aktifis PLU, organisasi yang konsen dengan transseksual. Syaiful adalah satu dari tujuh partisipan laki-laki di SSKR: “Cukup efektif dengan adanya sekolah ini. Ilmu yang bisa saya dapatkan disini bisa saya di implementasikan sehari-hari dan sangat riil sangat nyata ketika saya dikasih contoh. Itu memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang menganggap tabu, tidak layak dibicarakan, ketika menyebutkan organ reproduksi secara benar sedikit gimana. Sepertinya tidak layak untuk dibicarakan "

Sekolah khusus ini memang sengaja dirancang untuk meningkatkan akses terhadap informasi pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan.

Mann und Frau auf der Waage
Keseimbangan gender pun harus diperhatikanFoto: Bilderbox

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi yang memfokuskan pada penguatan otoritas tubuh, digagas oleh SAMSARA, sebuah organisasi non profit di Yogyakarta yang fokus pada isu aborsi dan melalui kerangka seksualitas, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, budaya, agama dan spiritualitas. Direktur SAMSARA, Inna Hudaya menjelaskan “Di SSKR ini kita selain berbicara tentang kesehatan seksual dan reproduksi kita juga berbicara tentang hak, kontruksi sosial, agama dan budaya. Kalau kita berbicara tentang hak seksual semua orang rata-rata tahu, pemahaman tentang tubuh ini kan pemahaman paling mendasar sekali. Kalau ini kelewat begitu saja, kita mau bicara tentang hak seksual sama saja bohong. Dari awal yang mereka harus pahami adalah tentang tubuh mereka. Sebagai individu dan hubungannya dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang kemudian menciptakan image mereka terhadap tubuh mereka sendiri.”

Kontrol dan Otoritas Terhadap Tubuh Sendiri

Menurutnya, dengan adanya pengetahuan ini, maka akan mempunyai kontrol dan otoritas akan tubuhnya sendiri, sehingga akan lebih bijak menentukan keputusan yang berhubungan dengan seksualitas.

Data dari WHO menunjukkan, Jumlah kasus pengguguran kandungan atau aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per-tahun. 30 persen diantaranya dilakukan oleh remaja. Dengan kecenderungan meningkat. Begitu juga dengan kasus HIV-AIDS.

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan reproduksi diharapkan dapat mengubah paradigma tradisional di masyarakat. Sehingga dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan, angka kematian ibu, kehamilan tidak diinginkan,aborsi, HIV-AIDS, dan IMS di Indonesia dapat ditekan.

Noni Arni

Editor : Hendra Pasuhuk