1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Paradoks Rahman Tolleng

Andy Budiman21 Mei 2013

Rahman Tolleng adalah legenda di kalangan aktivis politik Indonesia. Kepada Deutsche Welle ia menyampaikan pandangan tentang tugas Sosialisme, problem oligarki dan Sri Mulyani.

https://p.dw.com/p/18AKQ
Foto: Susy Rizky

Rahman Tolleng adalah kisah tentang cinta yang keras kepala. Tentang apa yang diinginkan dan tidak selalu tercapai. Ia terlibat dalam banyak momen penting Republik. Ia selalu bergerak karena ia punya cita-cita tentang Indonesia.

Sosoknya paradoks, ia adalah orang yang aktif sekaligus “tidak terlihat“. Rahman Tolleng tidak begitu suka tampil, ia sangat jarang bersedia diwawancara, meski pintunya selalu terbuka untuk diskusi politik.

Ya, politik adalah passion-nya, meski lebih banyak berakhir dengan kekecewaan.

Setelah ikut menjatuhkan Soekarno dan membidani orde baru, Rahman Tolleng berusaha mengubah dari dalam: ia bercita-cita membentuk Golkar menjadi partai modern.

“Tapi saya gagal, saya kalah...“ kata Rahman Tolleng menceritakan pergulatan politiknya di awal pembentukan orde baru kepada Deutsche Welle.

Deutsche Welle : Sebagai orang yang membidani orde baru apakah anda menyesal?

Rahman Tolleng : Saya tidak bisa dikatakan pendukung orde baru, ya saya ikut menegakkan tetapi dengan konsep yang berbeda. Konsep saya ingin membentuk organisasi politik menjadi partai modern, ideologis dan disiplin. Tapi yang berjalan kan konsepnya Soeharto. Saya gagal, saya kalah dalam banyak hal: misalnya dulu saya juga mengidamkan terjadinya dwi partai, sebuah partai pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto dan partai-partai lama dibiarkan menjadi sebuah partai oposisi. Ide ini saya lemparkan melalui Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto-red), tapi Soeharto menolak.

DW : Ketika melontarkan ide ini, apakah anda dan kawan-kawan yang ingin memperbaharui Golkar mendapat cukup dukungan dari dalam?

Rahman Tolleng : Pada awalnya kami mendapat dukungan. Konsep itu saya lempar saat mewakili Golkar dalam pertemuan yang dihadiri Bakin, Golkar, ABRI. Saat itu saya uraikan bahwa Golkar ibarat satelit yang butuh bantuan agar bisa meluncur. Apa boleh buat bantuan ini berupa ABRI dan Birokrasi sebagai alat peluncur. Tapi kan seharusnya alat peluncur tidak ikut terus menerus. Saat satelit sudah berada di orbit, alat bantu itu harus dilepaskan: ABRI lepas, birokrasi juga lepas, agar Golkar menjadi partai politik modern. Tapi Jenderal Maraden Panggabean (Wakil Panglima AD-red) dalam sebuah kesempatan lain menanggapi ide itu dengan mengatakan: di sini ada orang-orang yang ingin memisahkan markas Golkar dari markas ABRI, dan ingin membuat markas sendiri. Karena itu kita harus berhati-hati. Saat itu, semua orang yang mengerti langsung melihat ke arah kami. Wah, kita sudah hancur lagi di situ…

DW : Siapa yang paling keras menghantam ide pembaharuan anda ketika itu?

Rahman Tolleng : Ini juga diwarnai persaingan antar para Jenderal. Jadi itu konflik mereka, tapi konflik itu menggunakan atau menjadikan sasaran orang-orang seperti saya. Waktu itu ada Forum Jenderal, yang sebenarnya lebih banyak dipakai untuk menghantam Ali Moertopo dan Sudjono Humardani (Keduanya adalah Aspri Soeharto-red). Pada suatu ketika sehabis pertemuan Forum Jenderal, Ali Moertopo minta kami ngumpul, ia bilang ada sesuatu yang penting. Ali Moertopo menerangkan bahwa dia baru diserang habis-habisan karena dituduh menampung PSI (Partai Sosialis Indonesia-red). Ali Moertopo bilang bahwa ia dalam forum itu mengaku memang menampung PSI, tapi PSI yang baik. Bahkan dia balik menyerang para Jenderal lainnya yang juga menampung PSI yang justru beroposisi kepada pemerintah.

DW : Lalu apa yang terjadi?

Rahman Tolleng : Dalam pertemuan dengan kami itu, Ali Moertopo membuat lima kategori: PSI terbaik adalah PSI Rahman Tolleng. Nomor dua, PSI yang masih bisa kerjasama tapi tidak sepenuh hati yaitu PSI Widjodjo Nitisastro dan Emil Salim -- ketika itu saya pikir dia PSI kan saja semua orang hehe…PSI ketiga yaitu Soemitro Djojohadikoesoemo. PSI keempat yang sudah agak jauh yaitu Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo. Kemudian PSI kelima yang benar-benar sudah musuh yakni new left seperti Arief Budiman…

Rahman Tolleng adalah tokoh bawah tanah GMSOS, organisasi mahasiswa yang berafiliasi kepada partai terlarang PSI pada era `60-an. Setelah itu ia memimpin Mahasiswa Indonesia, mingguan yang ditopang jaringan intelektual, aktivis dan penulis yang mendukung ide Negara sekuler modern.

Profesor Robert W. Hefner, dalam buku Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia mencatat bahwa Rahman Tolleng adalah satu diantara pemikir paling brilian dari generasi `66. Dalam sebuah pleno DPR-GR tahun 1969, Rahman Tolleng mengusulkan agar Indonesia menerapkan sistem pemilu distrik. Gagasan itu kandas.

Pada puncak kekuasaan orde baru awal `90-an, Rahman Tolleng bersama Gus Dur, Marsillam Simanjuntak dan sejumlah tokoh lain mendirikan Forum Demokrasi yang mengambil sikap oposisi terhadap rejim. Ia ikut memberi saham pada perjuangan reformasi `98. Kini, Indonesia berubah. Tapi lagi-lagi tidak seperti yang ia bayangkan.

“Kita seolah berada dalam situasi statelessness atau tanpa Negara,” kata Rahman Tolleng.

DW : Bagaimana anda mendefiniskan politik anda hari ini, apakah anda masih Sosialis?

Rahman Tolleng : Dalam arti longgar, saya masih Sosialis. Longgar artinya tidak dogmatis lagi pada Marxisme, karena sudah banyak perubahan. Tetapi jurang antara kaya dan miskin sekarang kan tidak berubah, bahkan semakin dalam. Saya kira memperbaiki kehidupan rakyat miskin itu apakah bukan cita-cita Sosialisme? itu memang longgar. Tapi saya tidak akan memakai teori pertentangan kelas.

DW : Jadi tugas Sosialisme bagi anda kini adalah menyelesaikan masalah kemiskinan?

Rahman Tolleng : Ya antara lain itu. Tentu juga bagaimana supaya Kapitalisme dan Globalisasi lebih dijinakkan. Saya tidak menolak globalisasi, tidak menolak kapitalis. Kalau mau saya rumuskan, Sosialisme saya sekarang mungkin tergolong Liberal Sosialis: dekat dengan gagasan Carlos Roselli di Italia, yang mencoba memadukan gagasan Liberalisme dengan Sosialisme.

Wartawan senior Goenawan Mohamad lewat Catatan Pinggir merekam sosok Rahman Tolleng dalam "Mikropolitik": militansi dari aksi yang terbatas. Ia bukan rencana mengubah alam semesta berdasarkan wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.

Keberanian pada yang mustahil dan cinta yang keras kepala pula yang membuat Rahman Tolleng tidak berhenti bergerak. Sistem politik Indonesia kini, kata dia adalah perkawinan antara demokrasi dengan oligarki, dan tugas dia sebagai seorang Sosialis adalah menghabisi oligarki.

Atas alasan itulah ia ikut mendirikan partai Serikat Rakyat Independen SRI. Ia menyebut ini gerakan revolusi dari atas yang ditempuh dengan cara mencari calon presiden yang jujur, tegas, menentang oligarki dan bukan bagian dari para oligark. Figur itu ia lihat ada pada sosok Sri Mulyani yang dianggap bisa membersihkan oligarki.

Sosialisme, bagi Rahman Tolleng bukan sekedar etik, tapi tindakan: sebuah operasi.

DW : Banyak kalangan kiri yang mengkritik anda: kenapa seorang Rahman Tolleng yang Sosialis, mau mendukung Sri Mulyani yang dicap sebagai Neolib?

Rahman Tolleng : Saya tidak membantah itu. Tapi yang saya bantah adalah: apakah benar Sri Mulyani Neolib? Di mana Neolibnya? Sebagai contoh, di Departemen Keuangan Sri Mulyani mengalokasikan dana untuk pendidikan perempuan, apakah itu faham Neolib? itu kan faham affirmative action. Kedua, ekonom dari tradisi universitas pada umumnya memang Neolib, tapi Sri Mulyani berubah. Apalagi sesudah di Bank Dunia, dia sangat memperhatikan kemiskinan. Jadi nggak benar itu! Harus dibedakan juga kalau mereka mengatakan ekonomi kerakyatan, ekonomi kerakyatan apa? Coba mereka sebutkan secara konseptual! Saya sebut ekonomi mereka itu semua populis saja… ini gratis, itu gratis…itu bukan ekonomi rakyat, yang ada malah bisa hancur ekonomi kita. Populisme bukan Sosialisme, jangan salah!

DW : Jadi Sri Mulyani menurut anda berada dalam koridor doktrin sosialisme yang anda yakini?

Rahman Tolleng : Saya rasa begitu…

DW : Apa kritik anda terhadap kelompok kiri Indonesia?

Rahman Tolleng : Mereka selalu ingin kembali kepada ortodoksi. Padahal situasi dunia sudah jauh berubah…

DW : Anda mengakui gagal: membidani Golkar tapi partai itu berkembang jauh dari bayangan anda. Ikut mendorong reformasi, tapi hasilnya adalah anarki seperti yang anda sebutkan. Apakah anda pernah kehilangan harapan?

Rahman Tolleng : Tidak, saya tetap memelihara politics of hope. Saya optimis bisa diperbaiki, pada dasarnya menusia memang serakah, tapi dalam diri manusia ada sifat-sifat baik yang masih mungkin digali.

Rahman Tolleng adalah pemimpin redaksi mingguan Mahasiswa Indonesia `66. Pendiri Golkar dan menjadi anggota DPR-GR, Pendiri Fordem awal `90. Mendirikan SRI 2011.