1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peringatan 60 tahun KAA dan Terobosan Diplomasi

Hendra Pasuhuk20 April 2015

Di Jakarta dan Bandung digelar upacara megah memperingati 60 tahun Konferensi Asia-Afrika. Apa relevansi Gerakan Non Blok yang digagas Nehru, Tito, Nasser dan Soekarno masa kini? Kolom Hendra Pasuhuk.

https://p.dw.com/p/1FB7J
Indonesien Präsident Sukarno
Foto: Getty Images

Konferensi Asia Afrika digelar Soekarno 60 tahun lalu dengan tujuan ambisius. Lihat saja deklarasinya, yang kemudian dikenal sebagai Dasa Sila Bandung. Isinya antara lain: Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB; Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa; Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara.

Tahun 1955, delegasi dari 29 negara bertemu di Bandung. Mereka tidak mau berpihak pada blok atau kekuatan besar tertentu. Ketika itu, dunia sedang pecah antara blok Barat, dipimpin Amerika Serikat, dan blok Timur, dipimpin Uni Soviet. Kubu negara-negara Asia-Afrika ini ingin mencari jalan ketiga, dan tidak mau terlibat dalam konflik besar Barat-Timur yang sedang membayang.

Konferensi di Bandung dihadiri kepala-kepala negara dan tokoh-tokoh politik ternama. Sebut saja Gamal Abdul Nasser dari Mesir, Nyerere dari Tanzania dan Nehru dari India. Pidato pembukaannya disampaikan oleh Zhou Enlai, Perdana Menteri Republik Rakyat Cina saat itu.

Deutsche Welle DW Hendra Pasuhuk
Hendra PasuhukFoto: DW/P. Henriksen

Semangat Bandung

Di akhir konferensi, Presiden Soekarno dengan penuh semangat menyatakan: “Di mana-mana orang berbicara tentang 'Semangat Bandung'. Dan setiap kali mendengar itu, yakin lah: ini bukan hanya semangat, ini merupakan sebuah kekuatan. Ini kekuatan dari Bandung, ini kekuatan persatuan negara-negara Asia Afrika. Ini merupakan kekuatan kemerdekaan.”

Konferensi Asia Afrika di Bandung menegaskan penolakan terhadap penjajahan dan perlombaan persenjataan. KTT ini juga menuntut agar semua negara diperlakukan dengan sama rata.

Sekarang, 60 tahun kemudian, pernyataan-pernyataan KAA 1955 terasa seperti teriakan seorang idealis. Pada praksisnya, Indonesia sendiri bergerak jauh dari situ. Tahun 1965, sepuluh tahun kemudian, rejim Orde Baru menggalang aksi pembantaian terbesar dalam sejarah Asia. Ratusan ribu orang terbunuh, ditahan dan disiksa, dibuang ke pengasingan.

Tahun 1975, Indonesia menginvasi Timor-Timur. Di Aceh dan Papua, hak-hak asasi manusia diinjak-injak, warganya ditindas dan dibunuhi. Kini masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sudah berakhir. Tapi di Papua, tentara tetap menguasai setiap gerak-gerik warganya yang dianggap melenceng dari tujuan NKRI. Jika perlu dengan kekuatan senjata, seperti yang terjadi dalam kasus penembakan di Paniai. Hingga kini, tanpa tindak lanjut dan pengusutan.

Papua lebih dekat daripada Palestina

Tahun 2011 di Nusa Dua, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga memperingati 50 tahu Gerakan non Blok. Gerakan ini "Harus dapat menjadi kontributor utama dalam pembangunan politik untuk mempromosikan demokrasi dan juga pengembangan pemerintahan yang baik," tandas Presiden SBY kala itu. Pemerintahannya, sekarang kita tahu, digerogoti dan membusuk dari dalam oleh berbagai kasus mega korupsi.

Lalu, apa relevansi peringatan 60 tahun Konferensi KAA bagi pemerintahan Jokowi? Mengapa mereka mau mengeluarkan begitu banyak dana untuk perayaan ini? Bisakah Indonesia menggalang diplomasi internasional untuk perdamaian dan penghormatan hak asasi? Mampukah Indonesia jadi negara bermartabat, dan pada saat yang sama mengeksekusi pembantu rumah tangga yang kepergok menyelundupkan narkoba, dan mencap dia sebagai gembong sindikat narkoba yang berbahaya?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dilontarkan. Memang bagus mendukung kemerdekaan Palestina. Tapi Papua jauh lebih dekat, dan mendesak.