1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Novartis Kalah dalam Sengketa Hak Paten di India

DK/HP (afp, dpa)3 April 2013

Setelah sengketa hukum tahunan Mahkamah India akhirnya menolak gugatan hak paten dari perusahaan farmasi Novartis. Dengan begitu Senin (01/4) hakim membela akses bagi jutaan warga, untuk obat generik lebih murah.

https://p.dw.com/p/188Kl
**ARCHIV** Das Logo des Pharmakonzerns Novartis am 12. August 2005, in Basel. Der Basler Pharmakonzern Novartis steht vor der vollstaendigen Uebernahme des US-Impfstoffherstellers Chiron: Bisher haelt Novartis rund 42 Prozent der Chiron-Aktien; fuer den Rest will man 5,1 Mrd. Dollar aufwerfen, wie Novartis am Montag, 31. Oktober 2005, mitteilte. (AP Photo/KEYSTONE/Steffen Schmidt)
Perusahaan farmasi Swiss NovartisFoto: picture alliance/AP Photo

Hakim di institusi pengadilan tertinggi India menolak perlindungan hak paten dari perusahaan farmasi Swiss Novartis untuk obat penyakit kankernya Glivec. Obat penyakit kanker produksi Novartis itu tidak memenuhi tuntutan yang diperlukan menyangkut peningkatan jelas terhadap produk sebelumnya, demikian keputusan hakim di ibukota New Delhi. Putusan ini sekaligus mengkonfirmasi pendapat badan urusan hak paten India dan keputusan pengadilan sebelumnya, yang digugat Novartis selama tujuh tahun melalui proses hukum. Biaya untuk proses pengadilan berdasarkan putusan itu harus ditanggung Novartis.

Novartis Gigit Jari

Glivec dikenal sebagai obat yang ampuh dalam upaya mengatasi penyakit leukemia, yakni kanker darah. Terapi dengan obat yang diproduksi Novartis di India per bulan memakan biaya kira-kira 3125 Euro. Sementara versi generik dari obat itu, menurut keterangan dokter dengan efek yang sama seperti obat aslinya, dapat diperoleh hanya dengan biaya sekitar 60 Euro per bulan. Jenis obat generik ini yang hendak dilarang Novartis. Perusahaan farmasi Swiss itu menyampaikan argumen, bahwa versi baru dari Glivec jauh lebih ampuh, karena obat ini dapat diserap lebih baik oleh tubuh. Oleh karena itu Novartis ingin menuntut hak patennya. Inilah yang Senin (01/4) ditolak oleh hakim dan menunjuk pada UU yang dikeluarkan di India tahun 2005, dimana perusahaan farmasi tidak dapat memperoleh hak paten, jika sebuah obat baru hanya berbeda sedikit dari obat yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian apa yang disebut "Evergreening“ dihindari, yakni perusahaan farmasi mencari hak paten yang sebetulnya sudah kadaluarsa bagi obat-obatan, dengan melakukan perubahan kecil dan selalu berusaha memperpanjang hak paten tersebut.

Indian sex workers take out a protest rally against Switzerland based company Novartis, in Calcutta, India Monday, Feb. 19, 2007. They were protesting against Novartis getting the patent on life saving drugs. (AP Photo/Bikas Das)
Demonstrasi di India terhadap Novartis (19/2/2007)Foto: AP

Keberhasilan bagi Pasien di Negara Miskin

Organisasi Dokter Tanpa Batas Negara menyebut keputusan itu sebagai keberhasilan bagi pasien di negara-negara miskin. Seandainya Novartis memenangkan perkara tersebut, produksi obat generik di India akan mengalami kendala besar dan akses untuk obat-obatan yang penting bagi jutaan manusia di dunia akan lebih sulit.“ Demikian dijelaskan Oliver Moldenhauer di Berlin. Juga produsen obat generik di India menunjukkan rasa puas. Mereka adalah salah satu pemasok terbesar obat-obatan murah melawan penyakit seperti Aids, kanker dan tuberkulosa, terutama di negara-negara berkembang. Sebaliknya Novartis mengritik putusan itu. Ini hal yang memusuhi inovasi dan menyulitkan kemajuan ilmiah di bidang farmasi. Disampaikan Ranjit Shahzani dari Novartis India.