1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mereka Tak Lagi Hanya Berdoa

18 Mei 2008

Para biksu di Myanmar tidak hanya memiliki arti spritual yang penting, melainkan juga melambangkan kekuatan perlawanan dengan menggunakan jalan damai.

https://p.dw.com/p/E1Fm
Para biksu di Myanmar menampilkan dirinya sebagai lambang perlawanan
Para biksu di Myanmar menampilkan dirinya sebagai lambang perlawananFoto: AP

Myanmar saat ini mendapat sorotan dunia internasional. Angin topan 'Nargis' yang memporak-porandakan negara itu, menewaskan ribuan orang dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Bencana itu seolah melupakan ingatan dari bencana sebelumnya yang terjadi di negara yang dulu bernama Birma itu. Yang dimaksud adalah penumpasan yang dilakukan penguasa militer terhadap aksi protes damai yang dilancarkan para biksu.

Lebih dari setengah tahun setelah penumpasan aksi protes damai itu, tepatnya terjadi bulan September tahun lalu, masih banyak para biksu yang melarikan diri karena mencemaskan keselamatan jiwanya. Mereka meninggalkan wihara. Sementara para biksu yang tetap bertahan di wihara, diliputi perasaan getir dan ketakutan. Seorang biksu yang masih tinggal di wihara menggambarkan, satu-satunyanya yang dapat dilakukannya adalah berdoa.

Wihara besar 'Mahayithutayama' di Pakokku yang terletak di tepi barat sungai Irawadi, seperti sebuah bangunan yang sepi tanpa penghuni. Tahun lalu, lebih dari seribu biksu tinggal dan belajar di wihara ini. Sekarang, wihara itu kosong melompong, karena sebagian biksunya atas perintah penguasa militer harus meninggalkannya dan kembali kedesanya. Pakkoku, sebuah kota yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa. Di kota kecil ini, terdapat lebih dari 80 wihara kecil maupun besar, serta sejumlah perguruan tinggi Budha.

Unruhen in Birma halten an
Warga Birma di Yangon menggelar unjuk rasa, September 2007Foto: picture-alliance/dpa

Pakkoku, merupakan salah satu pusat kegiatan agama Budha di Myanmar, dan juga dikenal sebagai basis perlawanan. Bulan September tahun lalu, aksi protes besar-besaran terhadap penguasa militer dimulai dari wihara di Pakokku. Sebagaimana diketahui, aksi protesnya disulut oleh meningkatnya harga bahan bakar secara drastis. Para biksu di Pakkokku adalah yang pertama kalinya turun ke jalan, awal September tahun lalu.

Aksi ini kemudian diikuti ribuan orang di berbagai kota di Myanmar. Puncaknya adalah aksi protes di ibu kota Yangon, yang diikuti lebih dari seratus ribu orang. Akhirnya pihak militer menumpasnya. Para biksu ditangkap atau melarikan diri. Sejak itu, sampai sekarang para biksu di Myanmar masih banyak yang melarikan diri, dan bersembunyi dikawasan pedesaan. Seorang biksu di wihara 'Mahawyihutayama' di Pakokku mengungkapkan:

"Di wihara kami, saat ini hanya tercatat sekitar 700 biksu. Dulu jumlah pernah mencapai seribu orang. Tapi sekarang sebagian kembali ke desanya. Sebagai seorang biksu kami harus mentaati 227 aturan atau norma. Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbohong, dan tidak melakukan hubungan seks, hanya makan pada pagi hari, dan banyak yang lainnya. Kegiatan kami sehari-hari dapat digambarkan sebagai berikut. Setelah bangun jam 4 subuh, kami memuja Buddha. Kemudian melakukan meditasi dan belajar agama Budha. Nah setelah itu kami turun ke jalan-jalan, untuk mengambil makanan yang telah disediakan penduduk".


Selama ini diperkirakan terdapat sekitar 500.000 biksu yang tinggal disejumlah besar wihara di Myanmar. Pada hari raya keagamaan, di antaranya perayaan tahun baru Buddha, pertengahan April, wihara, pagoda dan tempat suci lainnya, banyak dikunjungi warga.

90 persen penduduk Myanmar beragama Buddha. Hampir semuanya, pada suatu waktu dalam hidupnya tinggal beberapa hari di wihara. Banyak anak-anak dan remaja memanfaatkan waktu libur untuk tinggal di wihara. Dalam beberapa kasus, ada yang tinggal di wihara dengan alasan ekonomi, baik pria dan perempuan. Mereka dihormati dan dilayani penduduk.

Myanmar Birma Burma Mönche drohen mit Aufruf zu Olympia-Boykott
Biksu di Myanmar, tak hanya berdoaFoto: picture-alliance/ dpa - Bildfunk

Para biksu di Myanmar tidak hanya memiliki arti spritual yang sangat besar, melainkan juga dinilai memiliki kekuatan politik. Dalam perjalanan sejarah Myanmar, para biksu memainkan peranan penting.

Misalnya ketika perang kemerdekaan melawan penguasa kolonial Inggris, dimana akhirnya pada tahun 1948, Myanmar, yang ketika itu bernama Birma, meraih kemerdekaan penuh. Nama Birma, diubah junta militer yang berkuasa sejak tahun 1962, menjadi Myanmar. Junta militer yang terdiri dari 12 jenderal ini, dipimpin oleh Jenderal Than Swee. Dengan demikian sejak 46 tahun lalu, warga Myanmar hidup di bawah tekanan militer.

Kondisi ini menyulut terjadinya gerakan demokrasi pada tahun 1988, yang berhasil ditumpas junta militer. Waktu itu dilaporkan lebih dari 3.000 orang tewas. Dalam gerakan demokrasi ini, para biksu juga ambil bagian. Pada tahun 1990 diselenggarakan pemilihan parlemen pertama yang bebas. Liga Nasional untuk demokrasi yang dipimpin Aung San Suu Kyi meraih kemenangan. Tapi hasilnya tidak diakui junta militer. Pimpinan oposisi, Aung San Suu Kyi yang dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian ditahan.

Kondisi di Myanmar dibawah junta militer, mendapat sorotan dunia Internasional. Sementara kelompok yang tidak puas di dalam negeri, termasuk para biksu, kembali melancarkan aksi protes damai bulan September lalu. Aksinya ditumpas dengan tindak kekerasan. Meskipun demikian, sebagian besar biksu menyatakan melanjutkan perjuangannya untuk menciptakan kebebasan dan demokrasi di Myanmar. Seorang bikshu menggambarkan wihara yang dikepung aparat keamanan, ketika terjadi aksi protes bulan September tahun lalu.

"Ketika terjadi demonstrasi bulan September tahun lalu, para biksu di Yangon, dilarang meninggalkan wiharanya. Diluar tentara berjaga dan melepaskan tembakan kearah para biksu. Juga di Pakokku, tentara berjaga-jaga didepan wihara. Memang mereka tidak memasuki wihara. Tapi barang siapa yang hendak meninggalkan wihara, segera kembali diperintahkan masuk kedalam wihara".

Dengan melihat potensi dan kekuatan yang dimiliki para biksu, junta militer Myanmar melakukan berbagai tindakan untuk membendung pengaruhnya. Antara lain, melakukan penangkapan terhadap para biksu yang kritis. Mengganti pimpinan wihara dengan yang setia terhadap junta militer. Dan secara resmi para biksu dicatat.

Setelah terjadi gerakan demokrasi pada tahun 1988, para biksu dalam kehidupan politik di Myanmar tidak dapat lagi dianggap sebagai kekuatan yang netral. Mereka berperan dalam memimpin dan mengkoordinir aksi protes. Mereka tidak lagi hanya berdoa, melainkan ikut terlibat dalam aksi untuk mengubah kehidupan dinegaranya. Ditengah tekanan dan ancaman yang dilancarkan junta militer, sebagian besar biksu di Myanmar bertekad untuk melanjutkan perlawanannya, seperti yang telah ditunjukkan ketika ikut memimpin perang kemerdekaan melawan penguasa kolonial Inggris.(ar)