1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

'Bermain Putri'

6 Agustus 2014

Bermain Putri adalah upacara tradisional di Malaysia yang semakin memudar. Namun warisan budaya sebelum masuknya Islam ke Malaysia itu kini mulai hidup kembali.

https://p.dw.com/p/1Cp4H
Foto: M.Vatsyayana/AFP/GettyImages

Merasa hancur dan hampa, Che Esa tak pergi ke psikolog, melainkan ke dukun. Ia didiagnosa mendapat tekanan kekuatan metafisik berupa angin yang yang mempengaruhi kesehatan spiritual dan emosional.

Pengobatannya - dikenal dengan upacara: "bermain putri". Ia harus berkelahi dengan dua laki-laki, saling dorong sambil mengejek dan bahkan mendapat tamparan dari dukun. Lalu diakhiri dengan lagu Melayu yang meriah dan tarian yang dilakukan oleh sekitar 50 warga desa.

Malaysia Schamanen Wind Therapie
Terapi anginFoto: M.Vatsyayana/AFP/GettyImages

"Sepuluh hari terakhir itu rasanya tak enak sekali. Saya tak bisa bangkit dari tempat tidur. Setelah bermain putri, saya merasa segar," kisah Che Esa, sang pasien. Bermain putri berkisar pada sebuah keyakinan: bahwa depresi, kelelahan kronis, dan masalah emosional atau psikologis lainnya berasal dari gangguan kekuatan metafisik.

Upacara ini terutama dilakukan di Kelantan. Ini merupakan budaya Melayu tradisional. ‘Bermain putri' adalah pertunjukan penyembuhan animisme yang menggambarkan budaya lokal serta tokoh-tokoh legenda guna "meningkatkan semangat" pasien.

Pemerintah yang gencar mendorong modernitas Islam di Malaysia memandang aktivitas tersebut sebagai bentuk peninggalan tradisi masyarakat sebelum zaman Islam yang dianggap "sesat" dan karena itu harus ditinggalkan. Tetapi banyak warga Melayu - kelompok mayoritas negara itu – memandang upacara ‚bermain putri‘ sebagai sepotong warisan budaya mereka, yang semakin dibutuhkan sebagai bentuk tantangan emosional di dunia modern. Mereka bekerja untuk menghidupkan kembali warisan budaya itu.

Bermain putri

"Kami mengangkat semangatnya lagi. Dia seperti seorang komandan atau kepala suku, yang berdarah panas," ujar dukun Zailani Che Moh, yang berusaha memulihkan batin Che Esa.

"Bermain putri," diyakini merujuk kepada kisah Puteri Saadong. Ia adalah tokoh legendaris abad ke-17 dari kerajaan Kelantan. Ia dianggap menjadi gila akibat perselingkuhan suaminya. Rohnya diyakini menjaga Kelantan dan secara teratur dipanggil dalam upacara ‚Bermain Putri‘ jika ada pasien yang secara emosional bermasalah.

Tapi Islam konservatif terus memperoleh kekuasaan di negara yang dulunya moderat itu. Badan-badan keagamaan telah mengeluarkan fatwa yang melarang berbagai praktik spiritual animisme sebagai berhala. Kelantan melarang beberapa tradisi termasuk ‘Bermain Putri‘. Pelanggarnya bisa menghadapi ancaman hukuman satu tahun penjara.

"Dalam ‘bermain putri, ada makhluk lain. Dalam Islam, kita hanya menyembah Allah," kata Nassuruddin Daud, Menteri Kelantan yang bertanggung jawab atas agama Islam. Praktik itu terus dikekang.

Tapi praktik ‘bermain putri‘ sebagai bentuk penyembuhan secara murni secara bertahap muncul kembali di desa-desa Kelantan. Pihak berwenang tampaknya diam-diam menoleransi agar tidak memicu reaksi publik.

Dukun bersarung atau "tok putri" mendiagnosa pasien dengan bantuan seorang musisi yang memainkan alat musik tradisional Melayu dan bertindak sebagai interogator ketika orang yang dianggap suci seperti kemasukan roh.

Dukun seperti Zailani - disebut "orang ular“ berputar dan menari di sekitar pasien, memerankan karakter tradisional seperti Puteri Saadong. Beberapa pasien menandaskan upacara ajaib itu mengembalikan semangat mereka untuk hidup lagi.

Mendapatkan angin lagi

Semakin kegiatan ini ditekan, maka semakin banyak kegiatan ‚bermain putri‘ dilakukan, demikian kata Eddin Khoo, pendiri Pusaka, sebuah LSM yang bekerja untuk mendokumentasikan dan melindungi seni tradisional Melayu.

Kebanyakan yang mencari kesembuhan lewat ‘bermain putri‘ adalah perempuan. Mereka merasa terpinggirkan setelah kehilangan pengaruh matriarkal mereka dengan kemunculan Islam yang konservatif

"Bermain putri‘ tidak berbenturan dengan Islam, tetapi mengisi peran penting yang tidak bisa dilakukan oleh pengobatan modern, kata Hasnah Mat Jusoh, seorang ibu berusia 49 tahun. Ia adalah pemimpin desa dimana Che Esa tinggal. Ia juga seorang Muslim yang taat. "Jika pasien pergi ke dokter, mereka tidak akan menemukan suatu penyakitnya. Bahkan dokter akan mengatakan 'pergi ke dukun di desa Anda'," katanya.

Zailani menambahkan: "Kulit, otot-otot, darah, lendir, lemak, mereka yang terlalu gemuk, terlalu besar, memiliki tekanan darah tinggi, atau diabetes, hal-hal semacam itu berada di bawah hak prerogatif dokter. Tapi di bawah dukun: tanah, air, api, angin."

ap/ab(afp)