1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Depan Mali Masih Belum Jelas

Bettina Marx19 Februari 2013

Perancis bermaksud menarik pasukannya dari Mali mulai bulan Maret. Pengamanan akan diserahkan kepada tentara Mali dengan bantuan pasukan Afrika Barat. Tapi situasi masih jauh dari stabil.

https://p.dw.com/p/17gwb
Pasukan Perancis di Gao, Mali, 30 Januari 2013.
Pasukan Perancis di Gao, MaliFoto: dapd

Pengamat Mali dari Perancis Roland Marchal meragukan bahwa Perancis bisa menarik pasukannya dari Mali dalam beberapa minggu mendatang, seperti yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Laurent Fabius. Situasi di utara negara itu masih belum stabil, kata Marchal dalam sebuah acara diskusi di Berlin.

Saat ini, tidak ada yang tahu bagaimana kelompok pemberontak akan bereaksi dan apakah mereka akan mencoba merebut kembali daerah-daerah yang sudah dikuasai pasukan pemerintah. Mungkin juga kelompok pemberontak menarik diri ke negara-negara tetangga yang juga belum stabil. Selain itu, ada bahaya bahwa pemberontak dan milisi Islamis melakukan infiltrasi ke tempat-tempat penampungan pengungsi untuk menyulut kerusuhan. Roland Marchal mengatakan, intervensi militer Perancis ke Mali memang dilakukan tergesa-gesa tanpa pertimbangan panjang. Tapi ia tidak melihat ada alternatif lain.

Pelatih Militer Jerman Dikirim ke Mali

Pengamat politik Roland Marchal juga skeptis melihat perkembangan tentara Mali. Pemerintah Jerman bermaksud mengirim 40 tenaga ahli militer yang akan membantu pendidikan dan modernisasi angkatan bersenjata Mali. Menteri Pertahanan Jerman Thomas de Maiziere menerangkan, landasan hukum misi militer ke Mali akan rampung bulan Maret mendatang. Saat ini, sudah ada tim pencari fakta yang dikirim ke Mali untuk mempelajari situasi di sana.

Malian soldiers at an air base in Bamako, Mali January 16, 2013.
Jerman akan bantu pelatihan militer MaliFoto: Reuters

Roland Marchal mengatakan, para ahli dari Eropa akan menghadapi tugas yang sulit. ”Harus dibentuk militer Mali yang melindungi hak asasi. Yang tidak melakukan aksi balas dendam dan tidak mengandalkan dukungan kelompok milisi.” Jadi yang diperlukan Mali adalah tentara profesional yang menghormati hukum di negaranya. Proses ini bisa berlangsung bertahun-tahun.

Diskusi politik yang berlangsung di Perancis saat ini hanya membahas aspek militer intervensi di Mali. Padahal yang penting bagi masa depan Mali adalah stabilisasi politik dan ekonomi. Setelah terjadi kudeta militer tahun lalu, Dioncounda Traore diangkat sebagai presiden transisi. Traore sekarang merencanakan pemilihan parlemen tanggal 31 Juli mendatang. Roland Marchal meragukan rencana itu bisa berhasil.

Krisis Dalam Negeri

Sosiolog dan pengamat politik asal Mali, Ismael Sory Maiga menerangkan, negaranya perlu waktu lama sampai bisa pulih dari serangan-serangan pemberontak dan intervensi militer Perancis. Krisis di Mali sebenarnya jauh lebih dalam daripada yang dilihat Amerika Serikat dan Eropa. Masalahnya bukan hanya masalah militer. Mali menghadapi banyak krisis yang mengguncang negara itu di segala bidang dan membuat situasi jadi tidak stabil. Menurut Maiga, masalah utama adalah bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya. Inilah yang menyebabkan terjadinya kudeta tahun lalu. Elit politik di Mali, kalangan pemerintah, parlemen, birokrasi dan aparat keamanan, mereka semua dilihat sebagai kelompok yang korup oleh masyarakat.

France's President Francois Hollande (2nd L) joins hands with Mali's interim president Dioncounda Traore in Bamako, Mali February 2, 2013.)
Presdien Perancis Francois Hollande disambut di BamakoFoto: Reuters

”Ada kelompok politik dan ekonomi yang sudah menguasai negara ini, sehingga mereka bekerja hanya untuk kepentingannya sendiri”, kata Maiga. Ada kalangan politik dan ekonomi yang melakukan segalanya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka malah bekerjasama dengan para penculik warga asing dan merundingkan besarnya uang tebusan. Di Mali utara, penculikan dan penyelundupan menjadi kegiatan yang sangat menguntungkan. Pada saat yang sama, otoritas pemimpin tradisional mulai hilang. Yang berkuasa adalah pemimpin-pemimpin milisi yang membentuk sistem seperti mafia.

Runtuhnya otoritas negara di Mali utara menjadi kesempatan bagi pemberontak Tuareg dan kelompok-kelompok militan Islam. Banyak kelompok militan yang menyusup ke Mali dari negara-negara tetangga, terutama dari Libya. Menurut pengamat politik Ismael Sory Maiga, sistem pemerintahan yang korup bisa kembali lagi ke ibukota Mali, Bamako, dengan memanfaatkan perlindungan intervensi militer Perancis.

Pembangunan Kembali di Bamako

Jurnalis Jerman Charlotte Wiedemann sudah sering berkunjung ke Mali dan mengenal baik situasi di Afrika barat. Dia juga khawatir, sistem lama yang korup bisa kembali ke Bamako. Kalau ini terjadi, kekuatan lama yang dibenci masyarakat bisa kembali lagi memegang kekuasaan. Untuk menghindari hal ini, harus dilakukan reformasi secara drastis.

Mali junta leader Captain Amadou Sanogo poses surrounded by his fellow soldiers in Bamako on March 22, 2012.
Kelompok militer pimpinan Kapten Amadou Sanogo melakukan kudeta Maret 2012Foto: Habibou Kouyate/AFP/Getty Images

Hanya dengan reformasi menyeluruh, Mali bisa diperkuat dan bisa menjaga perdamaian. Menurut Wiedemann, hal ini sebenarnya bisa dilakukan oleh warga Mali sendiri, tanpa intervensi dari luar. Sebab di Mali sendiri ada cukup banyak tokoh demokrat dan cendekiawan, yang dalam beberapa tahun terakhir menarik diri dari panggung politik. Mereka sekarang harus diajak kembali melibatkan diri dan melancarkan pembaruan demokratis. Charlotte Wiedemann menegaskan, Mali tidak bisa disebut sebagai negara yang gagal.

Pembangunan Ekonomi

Pengamat politik Roland Marchal mengingatkan, situasi ekonomi di Mali sangat bermasalah. ”Mali adalah negara yang miskin, kawasan utara lebih miskin lagi.” Karena itu, pembangunan kembali harus juga terfokus pada pembangunan ekonomi. Hal ini terutama harus dilakukan di kawasan utara, yang paling banyak menderita selama pemberontakan.

Kebanyakan penduduk di Mali utara hidup dari kegiatan penyelundupan. Senjata, rokok palsu, narkoba dan manusia diselundupkan lewat Mali melalui gurun Sahara. Selain itu, barang-barang untuk kehidupan sehari-hari juga dibawa lewat jalur perdagangan ini. ”Ini sebenarnya barang-barang legal, yang diperdagangkan secara ilegal,” kata Marchal.

Uni Eropa harus bertindak secara cermat dan tidak pukul rata menganggap perdagangan melalui jalur Sahara ini sebagai tindakan kriminal. Penduduk di Mali utara harus punya sumber mata pencaharian. Roland Marchal menandaskan, Uni Eropa harus bisa merancang politik ambisius untuk membangun kembali perekonomian di seluruh kawasan Sahel. Dengan cara itu, kawasan ini dalam jangka panjang bisa menjadi stabil.