1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Manipulasi Jam Biologis

25 Januari 2007

Banyak ibu berusia lanjut melahirkan bayi tabung? Apakah usia reproduksi aktif bertambah. Pada prinsipnya alam membatasi usia reproduksi hingga sekitar 40 tahun.

https://p.dw.com/p/CPU7
Louise Brown bayi tabung pertama di dunia
Louise Brown bayi tabung pertama di duniaFoto: AP

Awal tahun 2007 ini mencuat sebuah berita sensasional, seorang ibu berumur 67 tahun dari Spanyol melahirkan bayi kembar. Dengan begitu, ia menjadi wanita tertua di dunia yang masih dapat melahirkan anak. Rekor sebelumnya dipegang seorang perempuan pensiunan guru besar dari Rumania, Adriana Iliescu yang juga melahirkan bayi kembar pada umur 66 tahun. Semakin seringnya pemberitaan mengenai perempuan di atas usia 50 yang melahirkan anak, memicu munculnya pertanyaan, apakah umur reproduksi aktiv perempuan kini sudah bergeser amat jauh? Sebetulnya, jika kita berbicara umur yang merupakan jam biologis manusia, umur reproduksi aktiv perempuan tetap pada usia sekitar 40 tahun. Jadi secara alami perempuan berusia lebih dari 40 akan lebih sulit untuk hamil. Kini rekayasa dalam ilmu kedokteran reproduksi, terbukti mampu menyiasati umur reproduksi aktiv itu dalam beberapa kasus.

Rekayasa dalam ilmu kedokteran reproduksi, memang ibaratnya mampu memutar mundur jam biologis pada sejumlah wanita. Teknik ini, pada awalnya merupakan harapan terakhir, bagi para wanita yang kesulitan memperoleh anak. Terobosan dalam rekayasa pembuahan di luar rahim yang lebih dikenal sebagai bayi tabung ini, dimulai di Inggris tahun 1978 lalu yang ditandai dengan lahirnya bayi tabung pertama, Louise Brown. Namun sekarang, semakin banyak perempuan yang ibaratnya bermain judi dengan taruhan tinggi, berkaitan dengan teknik bayi tabung ini. Banyak yang beranggapan, dengan teknik kedokteran reproduksi paling canggih itu, mereka dapat hamil kapan saja dan pada usia berapa saja. Padahal, teknik pembuahan buatan itu juga ada batasannya. Seperti diungkapkan pakar kedokteran reproduksi paling terkemuka di Eropa, Dr. Paul Devroey dari rumah sakit anak-anak di Universitas Brussel.

Devroey mengatakan : “Kami di sini menguasai hampir seluruh teknik kedokteran reproduksi. Teknik pembuahan buatan yang lazim diterapkan, berfungsi amat baik pada perempuan muda usia. Akan tetapi jarang sukses pada perempuan berusia di atas 40 tahun. Lihat saja statistiknya. Sukses pembuahan buatan pada perempuan berusia 25 tahun adalah 50 persen. Pada perempuan berusia 40 tahun, tinggal sekitar 10 persen. Jadi sukses bayi tabung tergantung usia. Amat naiv, banyak perempuan yang masih meyakini, saya berkarir dahulu, pergi ke pusat kebugaran, dan jika saya berusia 40 tahun, barulah memikirkan punya anak. Di usia itu permainan sudah berakhir.“

Penyebab buruknya tingkat keberhasilan pembuahan buatan pada perempuan di atas usia 40 adalah faktor biologis. Kualitas sel telur semakin merosot seiring bertambahnya umur. Kemungkinan untuk terjadinya pembuahan menurun drastis setelah perempuan memasuki usia 35 tahun. Hal itu berlaku untuk pembuahan secara alami maupun dengan rekayasa teknik. Walaupun demikian, untuk pembuahan buatan masih terdapat kemungkinan tambahan. Kini terdapat teknologi yang mampu memilih sel telur yang kualitasnya paling baik. Dengan begitu, kuota sukses pembuahan buatan pada perempuan berusia di atas 40 masih dapat ditingkatkan. Tekniknya antara lain dikembangkan pakar embyologi Jerman Markus Montag dari rumah sakit Universitas Bonn.

Montag menjelaskan : “Kami memasang apa yang disebut Mikroskop Stereo di meja laboratorium. Ini tidak berbeda dengan kaca pembesar dan dengan itu kami dapat melihat sel telur yang diameternya sekitar sepersepuluh milimeter. Bagi mata telanjang, sel telur ini tidak terlihat atau sulit dilihat.“

Markus Montag mengarahkan pancaran cahaya pada sebuah sel telur. Selaput luar sel telur memantulkan kembali cahaya tsb. Dari bentuk dan cara cahaya dipantulkan, Montag dapat menetapkan diagnosa bagaimana kualitas selaput luar sel telur. Caranya dengan memanfataan sebuah program khusus komputer, yang mengubah parameter pengukuran dengan cahaya menjadi gambar berwarna. Montag menjelaskan lebih lanjut : “Kita dapat melihat cincin yang melingkari Zona pellucida, yakni selaput terluar yang melindungi sel telur. Selaput ini merupakan indikator dari kualitas sel telur, karena selaput tsb dibentuk oleh sel telur.“

Semakin teratur bentuk selaput luarnya, semakin besar pula peluang sel telur itu membentuk embryo setelah pembuahan buatan. Namun harus diingat, bahwa sel telur adalah sel yang paling peka. Sel ini memerlukan suhu yang tepat, serta cairan khusus dimana sel telur ini dapat berenang, agar tidak kering dan pecah. Selain itu, dengan teknik terbaru dapat dilacak terjadinya penyimpangan kromosom pada sel telur. Dengan bantuan proses diagnosa khusus, untuk meneliti apakah terlalu sedikit atau terlalu banyak kode genetika di dalam sel, dilakukan pengawasan kualitas sel telur. Akan tetapi, proses diagnosa ini masih kontroversial. Demikian diungkapkan pakar kedokteran reproduksi paling terkemuka Jerman dari Universitas Lübeck, Klaus Diedrich :

Lebih lanjut Diedrich mengatakan : “Banyak yang berharap, dengan penelitian kualitas kromosom itu, terutama pada perempuan berusia di atas 37 tahun kuota keberhasilan kehamilan dapat ditingkatkan dan persentase bayi yang lahir dengan cacat bawaan dapat diturunkan. Ini memang sasaran kami. Tapi ternyata tidak terlihat adanya perbaikan signifikan. Jadi dalam tema ini, kita harus memandangnya lebih kritis lagi. Memang sejumlah dokter menawarkan diagnosanya, dengan bayaran cukup mahal, tanpa membuktikan bahwa prosedur itu dapat meningkatkan sukses pembuahan.“

Klaus Diedrich menilai test kromosom itu sebagai tindakan berlebihan. Yang diharapkannya adalah pemeriksaan embryo di bawah mikroskop. Apa yang disebut test morfologi itu di Jerman dinyatakan terlarang, akan tapi di negara-negara Skandinavia, Spanyol dan Belgia sudah merupakan test standar.

Diedrich mengatakan lebih jauh : “Kami saat ini dapat mengenali embryo yang memiliki peluang lebih dari 30 persen untuk dapat sukses dalam pencangkokan, berdasarkan kriteria morfologi tsb. Kita di sini ibaratnya memiliki utang kepada para pasien, untuk menangani mereka dengan standar yang sebetulnya di luar Jerman sudah lazim diterapkan.“

Seleksi dari sel telur atau embryo meningkatkan peluang untuk terjadinya kehamilan. Juga bagi perempuan yang usianya di atas 40 tahun. Akan tetapi perempuan yang berusia di atas 60 tahun, hanya dapat hamil, jika sel telur yang dibuahi secara rekayasa, berasal dari perempuan donor yang usianya masih muda. Perempuan di atas usia 60 tahun, ibaratnya hanya menyediakan rahimnya yang masih sehat, sebagai tempat menitipkan embryo yang sudah dibuahi.

Diedrich menjelaskan :“Kita mungkin mengenal dokter Antinori dari Italia, yang berusaha membuat hamil seorang perempuan berusia 60 tahun, dengan sel telur donor yang lebih muda yang sudah dibuahi. Dalam hal ini, kita harus memandangnya secara kritis. Di Jerman kita dapat menjauhkan diri dari tema itu. Yang saya maksudkan, bahwa ini bukan rekayasa yang baik. Minimal bukan terapi yang baik bagi perempuan yang sudah tua.“