1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Leila yang Selalu Pulang

Andy Budiman14 Agustus 2015

"Pulang" adalah sebuah novel yang mengajak kita untuk menafsirkan kembali tentang makna kebebasan dan apa arti menjadi Indonesia.

https://p.dw.com/p/18ZzR
Leila Chudori ( ke-2 dari kanan) Saat Festival Kesusastraan di Den HaagFoto: DW

Mencintai Indonesia sungguh bukan pekerjaan mudah. Setelah bertahun-tahun menjalani era demokrasi yang “berisik” dan seringkali menjengkelkan, ada baiknya Anda membaca sebuah novel yang mungkin bisa mengingatkan kembali arti menjadi bagian dari sebuah proyek bernama Indonesia.

Tahun 1982, Leila S. Chudori pergi kuliah ke Kanada, negeri multikultural yang damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan“.

Enam tahun hidup di negeri yang “tertib“ tak membuat Leila kehilangan selera atas tanah airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek dan penuh persoalan.

Leila ingat pesan ayahnya: “Ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.“

“Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan… Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang mempermainkan hukum…“ tulis Leila dalam peringatan 40 hari kepergian ayahnya.

“Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari yang hangat. Ada banyak orang yang baik, yang peduli, yang bekerja tanpa mengeluh, banyak yang terus menerus berpeluh tanpa pamrih agar sekedar sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik.”

Leila selalu pergi dan pasti kembali. Setelah beberapa tahun “menghilang“, Leila yang ditulis KOMPAS sebagai anak emas sastra Indonesia, kembali.

Karya terbarunya adalah “Pulang”, sebuah novel memikat dengan latar belakang politik pasca `65 dan berpuncak pada reformasi `98. Tentang mereka yang tersisih dari Republik: para eksil dan keturunannya yang ditampik, tapi tak pernah lelah mencari makna tentang bagaimana mencintai sebuah negeri bernama Indonesia.

Leila S. Chudori Buchcover
Novel "Pulang" yang bicara tentang manusia-manusia yang keras kepala mencintai tanah airnya.Foto: Leila S. Chudori

DW: Dalam “Pulang“, selain kebebasan ada semangat tentang Indonesia. Semangatuntuk merumuskan “nasionalisme“. Menurut anda apa arti menjadi Indonesia?

Leila S. Chudori: Bagi saya ke Indonesiaan adalah sebuah keinginan untuk memperbaiki, keinginan untuk ikut berpartisipasi menjadikan tanah air kita menjadi lebih demokratis, lebih damai, lebih toleran dan lebih baik. Kata ‘nasionalisme’ di Indonesia terlalu sering disalahartikan menjadi makna yang sempit; seolah ketika kita mengeritik negara kita berarti kadar nasionalisme kita berkurang. Karena itu saya agak enggan menggunakan kata ‘nasionalisme’.

DW: Ada nafas kebebasan yang kuat dalam “Pulang“, kenapa anda mengangkat tema ini?

Leila S. Chudori: Tema kebebasan bersuara dan berekspresi sudah lama menjadi nafas tulisan saya sejak masih kanak-kanak. Mereka yang mengikuti tulisan saya pasti tahu itu. “Pulang” hanya lanjutan belaka.Dalam “Malam Terakhir” dan “9 dari Nadira” juga berisi sama: persoalan kebebasan memilih, bersuara berekspresi, namun diwakili pada tingkat individu. Sementara pada “Pulang”, kebebasan bereskpresi dan memilih itu lebih ditekankan pada tataran ‘ideologis’, mungkin itu sebabnya lebih mendapat perhatian dari pembaca Indonesia yang selama ini ‘dihukum’ dari hak untuk mendapatkan variasi bacaan selama 32 tahun.

DW: Apa yang mempesona sekaligus mencemaskan dari politik Indonesia?

Leila S. Chudori: Jika saya diizinkan memulainya dari garis 1998, saya kira kita semua banyak berharap dan bergairan dengan politik Indonesia yang akan lebih baik; karena jatuhnya Presiden Soeharto menjadi simbol jatuhnya segala yang buruk dan hitam selama 32 tahun. Tetapi yang tidak kita antisipasi adalah bahwa jatuhnya satu orang tidak serta merta meruntuhkan seluruh perangkat yang telah dia bangun selama 32 tahun. Ada hal-hal baru yang kemudian lahir setelah 1998: kebebasan pers; ‘revolusi’ internet dan sosial media yang kemudian membuat cara komunikasi baru antara masyarakat dengan arena politik. Kedua fenomena masih dihadapi dengan sikap yang gamang oleh masyarakat yang sudah terbiasa dibungkam selama 32 tahun. Dalam proses membangun perangkat demokrasi yang sehat tentu saja memiliki berbagai risiko termasuk membela hak-hak berorganisasi bagi siapapun yang visi dan pandangannya tak sama dengan kita, bahkan mereka yang pemikirannya cenderung tidak toleran terhadap perbedaan keimanan, perbedaan ras, etnik dan ideologi. Inilah bagian yang paling mencemaskan saya dalam upaya kita membangun fondasi demokrasi.Hal lain yang mencemaskan adalah soal korupsi. KPK adalah institusi yang dilahirkan dengan niat baik memperbaiki negara ini. Paling tidak kita ingin percaya niat itu tulus dan serius. Sementara institusi hukum : polisi dan lembaga peradilan, polisi masih kacau balau dan menjadi bagian yang ikut mempertahankan budaya korupsi. Parlemen menurut saya, terlepas ada satu dua orang anggota yang pasti bekerja dengan serius, juga lembaga yang justru tidak saya percaya integritasnya.

Leila S. Chudori adalah Redaktur Senior TEMPO, Sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Menulis: Malam Terakhir (1989); 9 dari Nadira (2009); Pulang (2012).