1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kudeta Pengadilan atas Yingluck

7 Mei 2014

Perdana Menteri Thailand diperintahkan oleh pengadilan untuk mundur lewat keputusan yang semakin membelah negeri dan tidak menawarkan solusi bagi penyelesaian konflik di negara itu.

https://p.dw.com/p/1Bv1J
Foto: Reuters

Pengadilan Konstitusi menyatakan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra bersalah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memutasi pejabat senior pada 2011 untuk menduduki jabatan lain. Pengadilan menyatakan pemindahan itu dilakukan untuk memberikan keuntungan politik kepada klan Shinawatra, dan dianggap melanggar konstitusi – sebuah tuduhan yang selama ini dibantah oleh sang perdana menteri.

Keputusan itu juga memecat sembilan anggota kabinet, namun membiarkan hampir duapuluh menteri lainnya untuk tetap menduduki jabatannya, termasuk wakil Perdana Menteri Niwattumrong Boonsongpaisan, yang dengan cepat ditunjuk sebagai pemimpin sementara.

“Memindahkan para pejabat pemerintah harus dilakukan sesuai dengan prinsip moral,” demikian kata pengadilan dalam keputusannya, yang dibacakan dengan keras melalui siaran langsung televisi selama hampir 90 menit. ”Memindahkan dengan agenda tersembunyi tidak dibenarkan.”

Melawan

Sambil tersenyum dan tampak santai, Yingluck muncul dalam siaran langsung TV nasional dua jam setelah keputusan untuk menyatakan terimakasih kepada para pendukungnya, sambil menekankan bahwa dia adalah seorang pemimpin terpilih dan menegaskan dirinya tidak bersalah.

“Kami berpegang teguh dengan prinsip-prinsip kejujuran dalam menjalankan negara, dan tidak pernah bertindak korup, sebagaimana dituduhkan kepada kami,” kata Yingluck, 46 tahun, yang yang meraih kekuasaan sebagai perdana menteri perempuan pertama hampir tiga tahun yang lalu.

Keputusan pengadilan ini menandai drama terbaru dalam krisis politik Thailand yang telah berlangsung lama. Ini merupakan kemenangan bagi para musuh Yingluck, yang sebagian besar adalah elit di perkotaan dan mereka yang tinggal di selatan, yang terlibat hiruk-pikuk yang terkadang diwarnai kekerasan dalam protes di jalanan menuntut agar Yingluck mundur dari jabatannya.

Namun keputusan itu meninggalkan Thailand dalam kelimbungan politik dan dikhawatirkan memicu lebih banyak kekerasan. Sejak Novemver, lebih dari 20 orang tewas dan ratusan lainnya cidera dalam baku tembak sporadis, yang dipicu aksi penembakan dan pelemparan granat.

“Keputusan hari ini hanyalah benjolan di jalan demokrasi, tapi kami akan tetap maju,” kata Jatuporn Prompan, pemimpin kelompok kaus merah pro-Yingluck. ”Pendirian kami jelas… jika seorang perdana menteri tidak sah masuk (menjabat), kami akan lawan. Jika ada kudeta, kami akan lawan.”

Kematian demokrasi

Hingga kini masih belum jelas apakah para lawan politik Yingluck akan bisa meraih sejumlah tuntutan kunci, termasuk menciptakan sebuah dewan reformasi yang terdiri dari seorang pemimpin yang mereka pilih yang akan melakukan sejumlah langkah untuk membersihkan negara itu dari korupsi dan apa yang mereka klaim sebagai politik uang, termasuk praktik jual beli suara.

Yingluck dan partainya Pheu Thai masih sangat popular di kalangan miskin negeri itu, khususnya di bagian utara dan timur laut. Tapi ia dibenci oleh kelas menengah dan atas di ibukota Bangkok karena dianggap sebagai boneka kakak laki-lakinya Thaksin Shinawatra, bekas perdana menteri yang kini tinggal di pengasingan karena menghindari tuduhan korupsi, yang selama ini dibantah oleh Thaksin.

Pengadilan Thailand sebagaimana juga militer, dilihat sebagai benteng kelompok anti-Thaksin. Para pengamat menyebut keputusan pengadilan ini telah merusak sistem peradilan Thailand.

“Kredibilitas sistem peradilan telah menguap,” kata Thongchai Winichakul, profesor Asia Tenggara di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat. ”Kelompok konservatif yang pro kerajaan boleh saja merayakan kudeta pengadilan ini. Tapi dunia akan berkabung karena ada lagi demokrasi yang mati. "

ab/hp /afp,ap,rtr)