1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini

16 November 2009

Menurut data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Bappenas, lebih 30 persen pernikahan yang tercatat di Indonesia termasuk dalam kategori pernikahan dini. Salah satu akibatnya, sering terjadi perceraian.

https://p.dw.com/p/KY9K
Gambar simbol pernikahanFoto: BilderBox

Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Bappenas tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen.

Praktek pernikahan dini sering dipengaruhi oleh tradisi lokal. Sekalipun ada ketetapan undang-udang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama sering memberi dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih di bawah umur.

Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. Undang Undang Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak lelaki di atas usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini, pertamakali di jodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan dis ini melakukan pernikahan dini.

Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah, ”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku."

Di daerah ini, anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak mempedulikan,, apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.

Berbagai cara biasa dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah urusan administrasi, memberi uang pelicin hingga harus memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah di usia 13 tahun.

Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Mengubah budaya dalam struktur masyarakat turun temurun seperti tradisi pernikahan dini bukan hal yang mudah. Namun secara perlahan, tradisi pernikahan dini di Tegaldowo Rembang pun mulai terkikis, setelah sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang menitikberatkan pada anak, Plan, mulai aktif. Lembaga itu memberikan penyadaran akan dampak negatif perkawinan dini bagi anak anak di bawah umur.

Staf Plan Indonesia, Novika Nurdiyanti, mengatakan, banyak hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan di wilayah ini, seperti edukasi, advokasi, pemberdayaan anak melalui forum anak, konseling hingga gerakan akte masal. Dan koordinator Plan Rembang, Endang Suprapti, menilai, perubahan mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga akan pentingnya pendidikan.

Noni Arni

Editor: Yuniman Farid