1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Kelaparan di Ethiopia

22 Juli 2011

Bencana kekeringan di Afrika Timur juga menimpa Ethiopia. Negara yang sejak tahun 80an dianggap sebagai 'negara kelaparan'. 10 persen warganya kekurangan gizi.

https://p.dw.com/p/121iF
Bahan pangan bantuan ditumpuk di tempat penyimpananFoto: picture alliance/dpa

Koordinator bantuan darurat PBB Valerie Amos tampak terharu saat berbicara di hadapan pers pekan lalu di Addis Abbeba. Ia berusaha untuk memperoleh sumbangan bahan pangan tambahan bagi Ethiopia. "Saya baru kembali dari wilayah Somali. Saya berbicara dengan perempuan disana. Mereka harus berjalan kaki 5 jam dengan anak-anak mereka untuk memperoleh bahan pangan dan layanan kesehatan. Semakin banyak anak-anak yang kekurangan gizi. Hewan ternak mati sehingga para peternak kehilangan sumber pemasukannya."

Padahal baru tahun lalu perdana menteri Ethiopia Meles Zenawi mengumumkan sasaran utama rancangan pembangunan lima tahunnya. Ia mengatakan, 'Harapan kami, dalam lima tahun ke depan tidak hanya ada cukup bahan pangan untuk konsumsi sendiri, melainkan juga cukup untuk memproduksi bagi ekspor'. Namun, realita berkata lain. Februari tahun ini, pemerintahnya bersama dengan program pangan dunia PBB memohon bantuan bagi tiga juta warga yang terancam kelaparan. Para pakar menganggap jumlah tersebut jauh lebih sedikit dari kondisi sesungguhnya.

Secara resmi PBB menyalahkan tidak turunnya hujan akhir tahun lalu sebagai alasan untuk masalah penyediaan bahan pangan. Di Ethiopia, organisasi bantuan mengeluhkan akses terbatas ke wilayah Somali yang paling terkena dampaknya. Disana beberawa kawasan tidak bisa dimasuki oleh tim bantuan karena pertempuran bertahun-tahun antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak. Alun McDonald dari organisasi bantuan Oxfam di Kenya juga tidak menyalahkan sepenuhnya pengaruh perubahan iklim. "Di baliknya juga terjadi politik buruk dan kurangnya jawaban politis atas krisis ini. Banyak campur tangan manusia yang menyebabkan krisis. Wilayah yang paling terkena dampaknya, di waktu bersamaan juga wilayah paling miskin yang paling tidak berkembang dan wilayah yang paling marjinal secara politik. Jika hujan tidak turun, maka rakyat tidak punya jaring pengaman."

Usai dikritik secara besar-besaran atas kasus penyerobotan tanah, dimana lahan yang subur dibeli perusahaan industri pertanian dari India, Cina dan Arab Saudi, perwakilan investasi Ethiopia kini membeli kembali beberapa kontrak sewa dan mengusahakan lebih banyak transparansi. Kelak kontrak akan dipublikasikan secara online sehingga bisa dilihat semua pihak. 80 persen warga Ethiopia hingga kini memiliki mata pencaharian sebagai petani. Jika negaranya ingin bisa mengatasi masalah kelaparan yang tengah terjadi, maka pemerintah harus berfokus pada rakyat yang menderita. Ini menurut Helmut Hess dari organisasi bantuan pangan Jerman 'Brot für die Welt'. "Sangatlah penting untuk memastikan desentralisasi produksi. Jadi mengambil langkah konkrit yang sesuai untuk mendukung para petani kecil."

Ludger Schadomsky / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk