1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Ekonomi di Kawasan Teluk

19 Januari 2009

Negara-negara kaya minyak di Kawasan Teluk juga harus berkutat menghadapi dampak resesi global.

https://p.dw.com/p/GbbK
Proyek pembangunan sentra bisnis di Dubai.Foto: AP

Tahun 2008 sebenarnya mencatat angka yang menggembirakan bagi negara-negara MENA, yakni negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dari negara-negara yang terletak antara Maroko dan Iran ini, mencapai 8%: pada tempat pertama, Qatar mencatat rekor pertumbuhan ekonomi sebesar 16,8% lalu disusul Irak dengan 9% setelah mengambil keuntungan dengan meningkatnya permintaan akan minyak. Tempat ke-3 diduduki oleh Oman dengan skala 7,4%. Sedangkan negara di Timur Tengah yang tidak memproduksi gas dan minyak, pertumbuhan itu lebih dipicu oleh konsumsi dalam negeri akibat bertambahnya populasi penduduk.

Hanya semua fakta ini belum cukup untuk membuat raja-raja minyak di kawasan Teluk bergembira. Dubai misalnya, sangat merasakan dampak krisis global. "Yang paling parah terkena krisis sebenarnya Dubai. Negara itu bukan saja menjadi pusat keuangan, pembangunannya juga sebagian besar didanai oleh lembaga keuangan internasional. Banyak perusahaan asing yang menanamkan investasinya di sini. Namun setelah krisis merebak dan semua uang di negaranya habis terpakai, tentu saja dana di luar ditarik," kata Peter Göprich, utusan ekonomi Jerman di Dubai.

Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab tahun ini sudah siap-siap menghadapi resesi. Monica Malik dari bank investasi EFG Hermes di Dubai menerangkan: "Uni Emirat Arab menderita akibat penyusutan pendapatan secara besar-besaran di sektor perminyakan dan ketidakstabilan sektor-sektor lain di luar negeri, seperti turisme dan perbankan. Itu ditambah lagi dengan koreksi harga di bursa properti. Kami kira, laju pertumbuhan sektor non-migas akan tersendat-sendat."

Untuk mengatasinya negara-negara Teluk merancangkan pengeluaran yang besar. Anggaran Belanja Dubai untuk tahun 2009, misalnya, naik 42% ketimbang tahun lalu. "Yang berbeda kali ini adalah, setelah permintaan minyak meningkat, orang semakin banyak menabung dan bunganya dipakai dengan lebih bijaksana. Yang paling beruntung di sini adalah negara-negara yang mampu mendongkrak kebutuhan pasar dalam negeri. Inilah yang coba dibuat di sini sekarang. Apalagi kalau diandaikan bahwa tahun depan harga minyak kembali naik," tambah Monica Malik.

Nada yang sama juga dilontarkan oleh menteri keuangan dan pemilik bank Arab. Mereka mendesak pemerintah agar menghimbau masyarakat untuk lebih sering membelanjakan uangnya. Dengan itu ekonomi domestik bisa tertopang dalam menghadapi krisis akibat jatuhnya harga jual minyak dan resesi global. Dan benar. Bulan Juli tahun lalu, harga minyak masih 147 dolar per barel. Kini menyusut menjadi 40 dolar. Bagi negara-negara Arab yang bergantung sepenuhnya pada komoditi minyak, hal itu meninggalkan defisit besar dalam pemasukannya dari ekspor. Krisis ini semakin diperparah dengan macetnya aliran uang ke daerah-daerah. Akibatnya banyak proyek terpaksa harus ditunda atau bahkan dibatalkan.

Namun tantangan terbesar yang dihadapi oleh negara-negara baik pengekspor maupun pengimpor minyak dari Timur Tengah, masih tetap sama: masalah pengangguran. Rata-rata tingkat pengangguran di sana mencapai 15%. Bahkan di antara kaum muda berusia sampai 24 tahun, sekitar 40% tidak punya pekerjaan. (hp)