1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketegangan Sektarian Setelah Pelarangan Kata "Allah"

27 Januari 2014

Sebuah gereja di Malaysia dilempar bom molotov Senin (27/1) pagi, di tengah meluasnya ketegangan sektarian terkait keputusan pemerintah melarang umat Kristen menggunakan kata ”Allah”.

https://p.dw.com/p/1Axht
Foto: Reuters

Kepala Kepolisian Negara bagian Penang Abdul Rahim Hanafi mengatakan dua laki-laki yang menggunakan sepeda motor melemparkan bom molotov ke sebuah gereja. Tak ada korban dalam peristiwa itu.

Serangan terjadi setelah sebelumnya orang tak dikenal memasang spanduk di luar lima gereja Penang termasuk yang dilempari bom Molotov itu pada hari Minggu lalu. Spanduk itu bertuliskan: “Allah Maha Besar, Yesus adalah anak Allah”.

Pihak gereja mengaku tidak tahu tentang spanduk yang meningkatkan ketegangan antara Muslim-Kristen di negara itu. Kata-kata di spanduk itu kelihatannya telah memprovokasi kelompok Islam garis keras dan pemerintah yang keberatan dengan penggunaan kata “Allah“ di kalangan umat Kristen, dengan alasan bahwa itu akan menimbulkan kebingungan di kalangan Muslim dan bisa menimbulkan pemurtadan.

Insiden di Penang telah menimbulkan kecemasan meluasnya kekerasan agama sebagaimana terjadi pada 2010, ketika puluhan gereja serta tempat ibadah lainnya dibakar dan dirusak, menyusul sengketa terkait penggunaan kata “Allah“.

Perselisihan tentang kata itu semakin mendalam setelah pengadilan, Oktober lalu menjatuhkan keputusan yang mendukung pemerintah. Sebelumnya, otoritas kelompok Islam Malaysia menyita lebih dari 300 Injil berbahasa Melayu dari kantor-kantor kelompok Kristen karena menggunakan kata Allah. Injil-injil dalam bahasa Iban yang dipakai warga asli di sana juga disita karena menggunakan istilah yang diklaim sebagai milik Islam tersebut.

Terus akan pakai “Allah“

Sementara itu, gereja-gereja Malaysia mengatakan bakal terus menggunakan kata “Allah“ untuk merujuk kepada Tuhan Kristen dalam kebaktian.

Kelompok Kristen berbahasa Melayu berdoa dan menyanyikan doa pujian dengan menggunakan kata Arab, praktik yang menurut mereka telah dilakukan selama ratusan tahun.

“Itu semua berisi kata ‘Allah‘,“ kata seorang pastor di dekat ibukota Kuala Lumpur menyebut soal lagu-lagu pujian yang dinyanyikan di gerejanya.

“(Injil berbahasa Melayu) berisi kata ‘Allah‘. Ketika berdoa kami harus membaca teks. Ini adalah situasi yang betul-betul sulit,” tambah dia, yang tidak bersedia diungkapkan identitasnya.

Di bawah tekanan kelompok konservatif, Perdana Menteri Najib Razak pada hari Jumat pekan lalu mengatakan bahwa kelompok Kristen harus mengindahkan aturan yamg melarang mereka menggunakan kata “Allah”.

Kelompok Islamis Malaysia mengatakan bahwa kata itu khusus hanya untuk umat Islam dan tidak bisa dipergunakan kelompom minorotas non Muslim. Etnik Melayu Muslim Malaysia adalah kelompok mayoritas dan berjumlah sekitar 60 persen dari total 28 juta penduduk negara itu.

Semakin tidak toleran

Kelompok minoritas Kristen populasinya di Malaysia berjumlah sekitar 2,6 juta orang.

“Kelompok Kristen di Malaysia tidak punya pilihan kecuali menggunakan injil berbahasa Melayu. Untuk mengatakan bahwa mereka tidak boleh mengggunakan kitab suci ini, artinya sama dengan mengatakan ‘anda tidak boleh berdoa dalam bahasa yang anda inginkan,“ kata Pendeta Hermen Shastri, sekretaris jendral Dewan Gereja Malaysia.

“Kenapa ngotot? Mereka punya pilihan. Mereka tak benar-benar harus menggunakan kata 'Allah‘ untuk berdoa,“ kata Yusri Mohamad, ketua kelompok Pembela Hak Muslim Malaysia.

”Ini adalah sebuah provokasi yang tidak perlu… ini tidak sehat bagi Malaysia.”

Kelompok Muslim konservatif menyarankan kelompok Kristen menggunakan kata Melayu lainnya seperti ”Tuhan“.

Beberapa waktu terakhir, kelompok non-Muslim mengeluhkan apa yang mereka sebut sebagai berkembangnya intoleransi dari kelompok konservatif Malaysia yang kini semakin berpengaruh.

ab/ap (afp,ap,rtr)