1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Terhadap Perempuan

Jörg Poppendieck 31 Desember 2012

Angka perampokan dan pembunuhan di Afrika Selatan berkurang. Namun, kekerasan terhadap perempuan dan anak.anak masih sering terjadi. Sebuah organisasi berusaha memberi penyuluhan bagi kaum pria.

https://p.dw.com/p/175Xt
Foto: Sarah Stacke Photography

Afrika Selatan berhasil mengalami kemajuan dalam upaya pemberantasan kejahatan. Negara ini menjadi lebih aman. Memang menurut statistik kepolisian, setiap hari masih ada 42 orang yang terbunuh. Namun, beberapa tahun yang lalu jumlah itu lebih dari 50 korban. Angka perampokan, pencurian dan penculikan juga jelas berkurang.

Tetapi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak tetap sangat tinggi, ujar Lungiswa Memela dari jaringan "Kekerasan Terhadap Perempuan". Hasil penelitian dewan medis mengatakan, setiap enam jam seorang perempuan dibunuh oleh pasangannya. Kemudian masih ditambah kasus pemerkosaan. Bagi seorang perempuan yang lahir di Afrika Selatan kemungkinan dirinya mengalami kejahatan seksual lebih besar dibandingkan belajar membaca dan menulis.

"Budaya Kekerasan"

"Dibandingkan beberapa negara Eropa, kami memang punya peraturan yang sangat modern yang seharusnya melindungi kaum perempuan. Namun, peraturan tidak diterapkan. Hanya tertera pada secarik kertas", kata Memela. Polisi seringnya juga tidak tahu atau tidak mau tahu posisi perempuan di mata hukum. Sehingga banyak perempuan yang tidak memperoleh perlindungan yang merupakan haknya. Bahkan untuk melaporkan kejahatan kepada polisi perempuan pun sering ditolak. Memela menambahkan, dukungan masyarakat dibutuhkan dalam hal ini.  Jika tidak ada yang mengindahnya, berarti mereka membiarkan kaum pria terus memukuli perempuan dan anak-anak.

Südafrika Johannesburg Demonstration Vergewaltigung
Perempuan di Johannesburg memprotes angka kasus pemerkosaan yang masih tinggiFoto: picture-alliance/dpa

Aktivis Patrick Godana mengkaitkannya dengan budaya kekerasan di Afrika Selatan. "Negara kami diatur dengan kekerasan di semua bidang. Dari kecil saya diajarkan, bahwa masalah hanya terselesaikan dengan pukulan. Jika dulu waktu kecil saya pulang ke rumah sambil menangis karena dipukul teman, saya disuruh ke luar rumah lagi dan memukul balik."

Sonke Gender Justice Network Südafrika
Demonstrasi kaum pria organisasi Sonke Gender Justice Network di TownshipFoto: Sarah Stacke Photography

Godana kini bergabung dengan organisasi Sonke Gender Justice Network untuk mengubah 'budaya kekerasan' di negaranya. Sonke memiliki kampanye berjudul "One Man Can" dan bekerja sama dengan pihak yang disebut-sebut sebagai sumber kekerasan, yakni kaum pria. Kampanye ini antara lain mengorganisir acara diskusi dan workshop. Mzamo Sedelo yang bekerja bagi Sonke berpendapat, konsep dasarnya sangat mudah. Pria mendekati pria lain untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. "Kami menyediakan ruang dan kemungkinan bagi kaum laki-laki, supaya mereka bisa membicarakan masalah mereka." Tidak kalah pentingnya adalah menjelaskan kepada kaum pria betapa pentingnya peran mereka dalam keluarga. Pria harus lebih terlibat dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Kampanye juga sukses di luar negeri

Bagian dari kampanye juga termasuk dialog dengan perwakilan gereja dan kepala suku. Ini karena mereka memiliki pengaruh besar terhadap kaum pria. Lungiswa Memela dari jaringan "Kekerasan Terhadap Perempuan" menilai kampanye yang telah berlangsung selama lima tahun itu sebagai langkah yang tepat. "Pria mengambil allih tanggung jawab adalah hal yang baik."

Sonke Gender Justice Network Südafrika
Kampanye Sonke Gender Justice Network di TownshipFoto: Sarah Stacke Photography

Kampanye "One Man Can" kini juga digelar di Burundi, Kenya, Mozambik dan Namibia. Ini adalah perkembangan positif, kata Patrick Godana dari Sonke. Namun, ia juga memperingatkan untuk tidak mengharapkan hasil yang baik dalam waktu singkat. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak adalah sikap yang sudah dikenal sejak kecil. Untuk berhenti melakukannya akan perlu waktu lama. "Sosialisasi adalah proses, bukan acara di hari tertentu. Saya bekerja dengan sejumlah pria dan saya sendiri juga masih mempelajarinya", kata Godana. Ia dulu tidak pernah membayangkan harus turut membantu pekerjaan rumah tangga atau membantu anak mengerjakan PR sekolah. Kini ia menikmatinya.