1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Julia Suryakusuma: Aceng Fikri Pantas Dipecat

Andy Budiman25 Januari 2013

MA menyetujui pemecatan Bupati Garut Aceng HM. Fikri yang menceraikan istrinya lewat SMS empat hari setelah menikah dan menuduhnya tidak perawan. Kasus ini menjadi batu ujian bagi gerakan perempuan Indonesia.

https://p.dw.com/p/17Qr7
Foto: Fotolia/DW

Aceng HM. Fikri, Bupati Garut, Jawa Barat beberapa waktu terakhir menjadi sasaran kemarahan warga dan aktivis hak asasi manusia setelah menceraikan istri keduanya, perempuan berusia 18 tahun, dengan alasan tidak perawan. Aceng dipecat dari jabatannya karena dianggap melanggar undang-undang mengenai pemerintahan daerah serta undang-undang perkawinan.

Ini adalah kasus pertama, seorang pejabat publik yang dipilih secara demokratis dimakzulkan karena memperlakukan perempuan secara semena-mena. Deutsche Welle berbincang dengan aktivis feminis terkenal Julia Suryakusuma tentang masalah ini.

Deutsche Welle:

Apa tanggapan Anda atas pemecatan Bupati Garut Aceng Fikri?

Julia Suryakusuma:

Aceng Fikri jelas tidak layak menjadi pemimpin, karena selain melanggar etika, dia juga melanggar hukum. Dia memperlakukan perempuan dengan buruk: menceraikan istri lewat SMS karena dituduh tidak perawan lagi. Memangnya itu kulkas atau microwave? Seperti barang rusak yang tidak memenuhi syarat. Tapi jangan lupa pemecatan ini hanya satu kasus. Bagaimana dengan yang tidak terungkap? Para pejabat lain yang melakukan hal yang sama.

Julia Suryakusuma
Feminis Julia Suryakusuma menyebut kasus Aceng Fikri baik bagi kampanye hak perempuan.Foto: Julia Suryakusuma

Deutsche Welle:

Apakah Anda menganggap ada banyak kasus seperti ini?

Julia Suryakusuma:

Kalau terkait pelanggaran hukum seperti yang dilakukan Aceng Fikri saya kira banyak. Apalagi sebagian besar praktek poligami itu ilegal, padahal aturan mensyaratkan bahwa jika laki-laki ingin menikah lagi (berpoligami-red), maka dia harus mendapat izin tertulis dari istri pertama dan surat izin dari pengadilan agama.

Deutsche Welle:

Apakah perilaku seperi Aceng Fikri yang memperlakukan perempuan secara buruk ini banyak terjadi?

Julia Suryakusuma:

Ya ini banyak terjadi di masyarakat. Saya sangat salut dengan istri Aceng Fikri, karena dia berani melaporkan, meski Aceng Fikri adalah penguasa. Tapi itu telah membuat kasus ini menjadi headline (berita utama di media massa-red).

Deutsche Welle:

Apakah Anda mau bilang bahwa kasus Aceng Fikri telah menjadi kampanye yang baik atas hak perempuan?

Julia Suryakusuma:

Sebenarnya iya. Sama seperti di India, di mana ekspos media massa atas pemerkosaan beramai-ramai atas seorang gadis di atas bus menjadi kasus besar dan mendorong kemarahan luar biasa. Efek serupa juga terjadi dalam kasus Aceng Fikri. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan kini semakin terekspos dan dipersoalkan oleh masyarakat. Jadi kesadaran masyarakat akan hak-hak perempuan sudah tinggi. Hal penting lainnya adalah peran sosial media. Facebook, Twitter dan gerakan petisi online melalui www.change.org (dalam kasus Aceng beredar petisi online dukungan bagi pemecatan Aceng Fikri dari jabatannya-red) di Indonesia, sangat berperan mengangkat kasus ini.

Deutsche Welle:

Apakah kasus Aceng Fikri ini memperlihatkan kepada kita, bahwa pelan-pelan kini ada perubahan dalam relasi hubungan antara laki-laki dengan perempuan di Indonesia?

Julia Suryakusuma:

Dari segi kesadaran (hak-hak perempuan-red) sudah meningkat. Tapi perubahan tidak cukup dengan kesadaran, itu harus diikuti sanksi bagi mereka yang melanggar hukum (terkait hak-hak perempuan-red). Kasus Aceng Fikri hanyalah puncak gunung es. Perjuangan masih sangat panjang.

Deutsche Welle:

Kini, apa tantangan berat bagi gerakan perempuan Indonesia?

Julia Suryakusuma:

Tantangan terberat datang dari kelompok Islam konservatif yang punya tafsir patriarkis. Tapi kalau mau melihatnya dari sisi positif, mereka sebenarnya kian terdesak, karena sudah kalah secara politik. Lihat saja partai Islam kalah dalam pemilu. Karena itulah kini mereka ingin menunjukkan kekuasaan mereka secara sosial lewat arena moralitas, dan yang menjadi sasaran adalah perempuan.

Deutsche Welle:

Di media massa belakangan banyak perdebatan agama terkait perempuan. Bagaimana Anda menilai fenomena ini?

Julia Suryakusuma:

Jelas ini merupakan kemunduran. Dan ini juga telah memberikan citra yang sangat buruk terhadap Islam Indonesia yang dipandang terbelakang. Itu buruk sekali.