1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi

Saidiman Ahmad31 Juli 2013

Kata "blusukan" tiba-tiba terkenal berkat Gubernur Jakarta Joko Widodo. Saidiman Ahmad, yang sedang studi di Crawford School of Public Policy, Universitas Nasional Australia melihat "bahaya" di balik kebijakan ini.

https://p.dw.com/p/19HZ7
Foto: ADEK BERRY/AFP/GettyImages

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memang berani. Mereka melaporkan dana yang digunakan oleh pemerintahan Jokowi di Jakarta untuk blusukan mencapai 26 milyar. Akibatnya, lembaga ini menjadi bulan-bulanan di jejaring media sosial dan situs internet. Jokowi dan Ahok sendiri bereaksi keras atas laporan FITRA tersebut.

Tulisan ini tidak hendak masuk terlalu jauh pada dana blusukan, anggaran penunjang operasional, atau apapun namanya itu. Yang ingin dibincang adalah gaya memerintah dengan blusukan itu sendiri. Meski kata ini sudah ada pada masyarakat Jawa, jauh sebelum Jokowi lahir, tapi dalam terminologi politik tanah air, Jokowilah yang berjasa mempopulerkan gaya ini. Ia mendatangi kampung-kampung, menelusup ke gang-gang, bahkan masuk ke terowongan air. Publik, melalui media, menyebut gaya itu sebagai blusukan.

Sebetulnya, masyarakat Indonesia tidak benar-benar asing dengan gaya memerintah dengan blusukan. Masyarakat Muslim Indonesia sudah biasa mendengar cerita mengenai Khalifah Umar bin Khattab yang terbiasa bangun di malam hari dan berjalan mengelilingi kampung memeriksa keadaan negeri. Ia akan memberi pertolongan pertama pada rakyatnya yang membutuhkan uluran tangan khalifah. Satu-satunya yang membedakan Khalifah Umar dan Jokowi hanyalah media. Di masa Umar, belum ada media yang membuntutinya dan memberitakan aksi sosialnya di malam hari.

Sesaat setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, banyak yang mempertanyakan kesanggupan Jokowi-Ahok bernegosiasi dengan kekuatan politik di parlemen daerah. Jokowi menjawab keraguan itu dengan menyatakan bahwa dia akan berkoalisi dengan rakyat. Ketika muncul keinginan dari beberapa anggota DPRD untuk memanggil Jokowi terkait Kartu Jakarta Sehat, para pendukung Jokowi murka. Mereka menuliskan nama-nama anggota legislatif daerah beserta partainya yang hendak mempertanyakan program KJS itu. Waw, mengerikan betul mengeritik tokoh yang kemungkinan besar akan menjadi Presiden Republik Indonesia menurut banyak lembaga survei ini.

Alasan Jokowi melakukan blusukan adalah untuk mendengarkan langsung aspirasi rakyat. Dalam terminologi ilmu politik, mungkin ini bisa disebut sebagai demokrasi partisipatoris. Gaya ini populer di beberapa negara Amerika Latin. Pertanyaannya adalah seberapa kuat sebetulnya Jokowi bisa menyambangi seluruh rakyat Jakarta dan mendengarkan langsung aspirasi mereka? Mendiang Hugo Chavez memiliki gaya yang hampir mirip dengan Jokowi dalam hal hendak mendengarkan langsung aspirasi rakyat. Bedanya, Chavez melembagakan gaya itu dalam bentuk pendirian consejos communales, organisasi-organisasi berbasis komunitas. Pendirikan lembaga ini dimaksudkan untuk memangkas birokrasi yang cenderung lambat dan bertele-tele. Niatnya bagus, tentu. Melalui lembaga inilah Chavez menyalurkan pelbagai program bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur Venezuela. Baik di Jakarta maupun di Surakarta, Jokowi belum membangun institusi apapun sebagai sarana bagi aspirasi rakyat yang hendak ia tampung secara langsung.

UN-Klimakonferenz Bangkok ist zu Ende
Menata Jakarta yang ruwet tak bisa dilakukan secara "personal"Foto: picture-alliance/ dpa

Katakanlah Jokowi berhasil membangun suatu institusi berbasis warga, persoalannya tidak sederhana. Chavez betul relatif berhasil menyalurkan bantuan sosial melalui lembaga-lembaga berbasis kewargaannya. Masalahnya, melalui lembaga itu Chavez leluasa melakukan control langsung ke dalam kehidupan warganya. Dalam pelbagai kesempatan, Chavez menyatakan bahwa consejos comunales harus independen dari otoritas pemerintahan daerah. Lembaga-lembaga itu memiliki koordinasi langsung dengan pemerintahan pusat , terutama dalam hal pendanaan (Irazabal & Foley, 2010). Dalam hal ini, lembaga penampung aspirasi rakyat secara langsung itu adalah kaki tangan pemerintah pusat di pelbagai komunitas rakyat. Ia menampung aspirasi warga, tapi juga menjadi alat kontrol negara.

Jokowi belum sampai ke sana, tentu saja. Tapi kalau ia hendak terus mempertahankan gaya demokrasi partisipatoris dengan semangat memangkas birokrasi itu, cepat atau lambat kasus Hugo Chavez akan terjadi di Indonesia, terutama jika betul Jokowi terpilih menjadi presiden. Dua kaki Jokowi tidak cukup kokoh untuk terus berjalan menyambangi seluruh warga. Satu kepala Jokowi tidak cukup lapang menampung semua aspirasi. Dia butuh lembaga.

Singkatnya, blusukan untuk mendengarkan aspirasi langsung, betapapun berangkat dari niat baik, memiliki persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan. Ia bisa jatuh pada kediktatoran. Seorang diktator selalu bertindak atas nama rakyat, bukan?

Negara modern tidak lagi bersandar pada kekuatan satu figur. Negara modern terbangun atas kerjasama macam-macam pihak. Keputusan acapkali tidak muncul dari satu orang, tapi merupakan keputusan kolektif. Dalam negara modern, apa yang disebut sebagai pemerintah atau government (sang pemberi titah dan perintah) semakin terkikis, dan digantikan oleh governance, suatu sistem politik kolektif dan networking. Rhodes (1997) menyebut fenomena ini dengan istilah ciamik, governing without government (pemerintahan tanpa pemerintah). Pemerintahan tanpa sang pemberi titah.