1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jihadis Perempuan Jerman di Suriah

Martin Koch14 Maret 2014

Makin banyak foto jihadis perempuan menyebar di internet untuk kepentingan propaganda. Ada anak perempuan Jerman berusia 15 tahun yang berangkat ke Suriah untuk berjihad.

https://p.dw.com/p/1BPuN
Foto: picture-alliance/landov

Foto-foto perempuan jihadis yang memegang senjata makin sering muncul di internet dan media cetak maupun media elektronik. Foto-foto ini memang jadi incaran publik. "Selalu saja ada ketertarikan besar pada isu jihadis (perempuan) ini", kata pengamat Guido Steinberg dari yayasan politik SWP di Berlin.

Fenomena ini memang sudah ada sejak lama, misalnya dalam berbagai serangan bunuh diri yang dilakukan perempuan di Palestina dan Irak, atau oleh para pelaku teror yang disebut "janda hitam" di Chechnya.

Rita Breuer dari dinas rahasia Jerman, Bundesamt für Verfassungsschutz (BfV) menerangkan, efek publikasi ini memang sangat disadari oleh kelompok-kelompok jihad, karena mereka ingin mendapat sorotan media. Trend terbaru adalah, makin banyak jihadis perempuan yang beroperasi di Suriah, juga dari Jerman.

Usia Makin Muda

Menurut keterangan BfV, ada sekitar 300 jihadis Jerman yang sekarang berada di Suriah. Diantaranya kemungkinan besar ada 40 perempuan, namun tidak ada angka yang pasti tentang itu. Sebab tidak semua jihadis yang berangkat ke Suriah langsung bergabung dengan kelompok militan dan ikut berperang. Banyak juga yang menolak memegang senjata atau kembali ke Jerman.

Yang jelas, usia para jihadis sekarang makin muda. Kasus terbaru yang sempat menjadi sorotan media adalah anak perempuan bernama Sarah dari Konstanz yang berusia 15 tahun. Menurut keterangan dinas kriminal di Baden Württemberg, Sarah bulan Oktober 2013 masuk ke Suriah melalui Turki.

Setelah tiba di Suriah, Sarah kemudian menyebarkan foto-foto lewat internet. Ia terlihat memegang senjata berat dan mengajak perempuan-perempuan lain untuk ikut berjihad di sana.

Pengamat terorisme Holger Schmidt menerangkan, ini perkembangan baru yang memprihatinkan. "Kasus ini benar-benar memprihatinkan, karena dia menurut pengetahuan saya adalah perempuan termuda dari Jerman, yang berangkat ke medan perang dan menyatakan siap angkat senjata."

Banyak Propaganda

Pengamat politik Guido Steinberg dari SWP memperingatkan, publik harus lebih hati-hati menghadapi propaganda di internet. Sebab banyak juga foto yang direkayasa. "Ini memang petunjuk, bahwa dia senang pegang senjata. Tapi apa dia benar-benar ikut latihan militer, kita tidak tahu."

Steinberg menerangkan, sampai sekarang tidak ada bukti bahwa jihadis perempuan dari Jerman benar-benar terlibat dalam pertempuran di Suriah. Juga tidak ada petunjuk bahwa perempuan dikerahkan sebagai penyerang bunuh diri.

"Ini fenomena yang terjadi di Palestina dan Irak. Di Suriah, di mana terjadi pertempuran besar, belum ada petunjuk tentang aksi semacam itu", kata Steinberg. Ia menjelaskan, dalam banyak masyarakat Islam, perempuan biasanya tidak terlibat langsung dalam pertempuran, melainkan menjadi tenaga pendukung di garis belakang. Menurut Steinberg, foto-foto perempuan jihadis lebih banyak disebarkan untuk kepentingan propaganda.

Motif Pribadi

Motif para perempuan bergabung dengan kelompok jihad biasanya motif pribadi. Ini terlihat dari data-data yang dikumpulkan di Palestina, Irak atau di perbatasan Afghanistan dan Pakistan, kata Rita Breuer dari BfV.

Salah satu motif utama adalah balas dendam, karena suami atau keluarga mereka terbunuh dalam pertempuran. Ini misalnya yang menjadi motif para jihadis perempuan Chechnya yang terkenal dengan julukan "janda hitam". Mereka mau melakukan serangan bunuh diri karena para suaminya tewas dalam pertempuran dengan serdadu Rusia.

Menurut para ahli, kebanyakan perempuan yang bergabung dengan kelompok militan biasanya punya kondisi labil dan mudah dimanipulasi. Mereka mau disuruh melakukan serangan bunuh diri untuk mendapat pengakuan, atau karena taat pada instruksi pemimpinnya yang kebanyakan lelaki.

Pegamat terorisme Holger Schmidt menerangkan, yang juga penting adalah mempelajari mekanisme bagaimana seorang wanita muda seperti Sarah bisa mengalami proses radikalisasi dengan sangat cepat pada usia 15 tahun. Kasus ini juga menjadi peringatan bagi semua pihak yang berurusan dengan masalah remaja.