1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jihad pasca Jihad di Indonesia

Andy Budiman21 Juni 2012

Terorisme masih menjadi ancaman besar di Indonesia. Hanya segelintir teroris yang pernah ditahan memilih jalan hidup baru.

https://p.dw.com/p/15IwO
Foto: picture-alliance/dpa

Sejak 2002 hingga 2012, Kepolisian Indonesia telah menangkap lebih dari 700 teroris. Tapi bukan berarti ancaman terorisme bagi Indonesia sudah lewat. Masalahnya, setelah lepas dari penjara banyak diantara mereka yang kembali ke jalan kekerasan.

Ali Imron dan Nasir Abbas adalah dua contoh sukses program deradikalisasi kepolisian Indonesia. Dua gembong teroris itu menyesali perbuatannya dan kini membantu polisi memburu bekas teman-temannya yang masih berjihad. Ali Imron adalah saudara kandung dari dua gembong teroris yang telah dieksekusi mati yakni Ali Ghufron dan Amrozi. Mereka bertiga terkenal sebagai Trio Maut Tenggulun Brothers yang menjadi aktor utama di balik aksi bom Bali tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Nasir Abbas
Nasir AbbasFoto: AP

Ale begitu Ali Imron biasa disapa, menyesal terlibat bom Bali. Untuk “menebus dosa”, ia kini bekerjasama dengan pasukan elit Detasemen Khusus atau Densus 88 Anti Teror kepolisian Indonesia.

Berubah di Penjara

Nasir Abbas adalah kisah sukses lainnya. Alumni Afghanistan tahun 80'an ini dikenal sebagai salah satu elit Jamaah Islamiyah JI, organisasi teror yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara. Ia pernah menjadi instruktur militer di kamp pelatihan teroris di Mindanao, Filipina Selatan. Setelah tertangkap polisi Indonesia, Nasir Abbas berubah. Di dalam penjara, ia diajak berdiskusi soal jihad dan Islam oleh seorang polisi yang memeriksa dirinya. Kini ia aktif membantu polisi. Sejumlah penangkapan penting atas para pentolan teroris di Indonesia, adalah berkat informasi dari Nasir Abbas.

“Saya membuka jaringan Jamaah Islamiyah, supaya polisi tahu bahwa gerakan ini kalau dibiarkan membawa faham Osama bin Laden akan menjadi lebih berbahaya. Saya juga menjelaskan kepada polisi mengapa mereka termotivasi melakukan jihad,”  Kata Nasir Abbas kepada Deutsche Welle.

Tapi masalahnya, tak banyak kisah sukses seperti Nasir Abbas dan Ali Imron. Sebagian diantara para teroris yang telah dipenjara kembali berjihad.

Kembali ke Jalan Jihad

“Sejak 2002 hingga 2012 lebih dari 700 teroris telah dihukum. Tapi itu tidak cukup. Deradikaliasi yang dilakukan pemerintah Indonesia telah gaga,l” kata Solahudin, pakar teroris yang menulis buku tentang sejarah gerakan teror di Indonesia. Deradikalisasi yang ia maksud adalah upaya mendorong para bekas teroris agar tidak kembali ke jalan kekerasan.

Ia menyebut banyak diantara para teroris yang telah dihukum kembali ke jalan jihad, contohnya adalah Luthfi Haidaroh alias Ubaid. Tahun 2004 ia dipenjara karena terbukti menyembunyikan mastermind teroris, yakni Noordin M. Top. Keluar dari penjara ia kembali berjihad dan ditangkap pada tahun 2010 karena ikut mendirikan kamp teroris di Aceh.

Bombenanschläge auf Hotels in Jakarta
Serangan bom di Hotel J.W. Marriott Jakarta, Juli 2009Foto: AP

Ada pula kasus Budi Pranoto alias Urwah yang pada tahun 2004 juga ditangkap karena  menyembunyikan Noordin M. Top. Keluar dari penjara ia kembali menemui kawan-kawannya dan berkomplot meledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada tahun 2009 di Jakarta.

”Hukuman terbukti tidak membuat mereka jera. Saya pikir pemerintah Indonesia kini perlu lebih fokus pada upaya deradikalisasi” kata Solahudin sambil menambahkan fakta, “Di penjara para teroris pinggiran justru bertemu dengan tokoh senior dan itu membuat mereka menjadi semakin radikal.” Penyatuan tempat tahanan diantara para pelaku teror, membuat mereka menjadi semakin radikal. Penjara justru menjadi tempat persemaian ideologi teror.

Dari Kriminal ke Jihad

Maret 2012, polisi menembak mati lima perampok money changer di Bali. Belakangan terungkap bahwa perampokan itu dilakukan untuk mengumpulkan dana untuk membiayai serangan teroris. Salah satu diantara mereka yang ditembak mati adalah Hilman Jayakusuma. Menurut Solahudin, Hilman adalah bekas narapidana pengedar narkoba yang pernah berada di penjara yang sama dengan gembong teroris bom Bali Imam Samudera. Di dalam penjara, Imam Samudera mendidik Hilman menjadi seorang jihadi.

Selepas penjara, Hilman bahkan berhasil merekrut tiga orang sesama penjahat lainnya yang ia temui di dalam penjara untuk bersama-sama melakukan perampokan untuk mengumpulkan dana jihad.

Imam Samudra
Imam SamuderaFoto: AP

Lebih mengejutkan lagi adalah kasus Muhamad Agung Prabowo yang di internet terkenal dengan nama Max Fiderman. Ia adalah hacker yang cukup terkenal di Indonesia yang menurut catatan polisi pernah membobol Bank of America. Selain hacking, di dunia maya Max Fiderman aktif berdiskusi soal Islam melalui Internet Relay Chat IRC. Di ruang chat itu, ia bertemu dan sering berdiskusi dengan seseorang yang belakangan ia ketahui sebagai Imam Samudera, gembong teroris yang sedang dipenjara karena bom Bali.

Melalui chat dari balik sel, Imam Samudera berhasil merekrut Max Fiderman dan membujuk hacker itu membantu membuat website yang berisi ajakan jihad dan cara membuat bom. Dalam proses pengadilan terungkap, website itu dipesan oleh Max Fiderman dengan menggunakan uang hasil carding atau pembobolan kartu kredit melalui internet.

Penjara Saja Tak Cukup

Menurut pakar teroris Solahudin, lemahnya pengawasan di dalam penjara dan tidak adanya orientasi yang jelas tentang penanganan para teroris selama di dalam maupun selepas dari penjara membuat program deradikalisasi gagal. Hukuman saja terbukti tidak cukup. Penjara tidak membuat para jihadi berubah. Dalam banyak kasus, penjara bahkan menjadi tempat berkembang biaknya ideologi terorisme.