1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Baru Lukisan Purba

10 Oktober 2014

Tim peneliti dari University of Wollongong di Australia menyatakan bahwa lukisan gua di Sulawesi adalah yang tertua di dunia. Berikut wawancara DW dengan peneliti senior Anthony Dosseto dan Thomas Sutikna.

https://p.dw.com/p/1DT9w
Foto: Anthony Dosseto 2013

DW: Seberapa penting temuan ini dalam kaitanya dengan sejarah seni?

Anthony Dosseto dan Thomas Sutikna: Para arkeolog sejak lama berpendapat bahwa orang Eropa yang pertama kali menghasilkan karya seni lukisan pada era prasejarah. Pandangan ini didasarkan pada penemuan lukisan di gua El Castillo di Spanyol. Beberapa lukisan gua lain, termasuk stensil tangan, ditemukan di berbagai daerah Eropa, dan diperkirakan berumur antara 35 ribu sampai 40 ribu tahun.

Lukisan stensil tangan Sulawesi paling sedikit berumur 40 ribu tahun. Ini lukisan yang paling tua yang pernah ditemukan di luar Eropa. Ini menunjukkan bahwa tingkat seni di Sulawesi, terutama stensil tangan, sama tuanya dengan Eropa.

Itu sebabnya, penemuan di Sulawesi memberi pandangan baru tentang kronologi perkembangan seni lukisan gua. Ternyata, manusia purba di Sulawesi melakukan hal yang sama dengan rekannya di Eropa.

Secara umum bisa dikatakan, seni melukis di bebatuan adalah refleksi perilaku manusia di masa lalu. Ini merupakan ekspresi pengalaman intelektual manusia, misalnya bagaimana mereka menghadapi tantangan dari alam sekitar dimana mereka hidup.

Apakah penemuan tentang lukisan di Sulawesi mengubah pandangan kita terhadap sejarah?

Penemuan ini merevolusi gagasan kita tentang sejarah dan asal usul seni. Sampai sekarang kita berpikir bahwa seni dilahirkan di Eropa, setelah ditemukan lukisan tertua tentang binatang di dalam gua-gua. Sekarang, penelitian kami menunjukkan bahwa 40 ribu tahun lalu, manusia purba Indonesia juga menunjukkan kemampuan artistik yang sama.

Kapan lukisan-lukisan itu pertama kali ditemukan?

Lukisan-lukisan gua ini pertama kali dilaporkan oleh arkeolog Belanda Heeren-Palm tahun 1950-an. Ia menuliskan lukisan-lukisan di gua Leang Pattae di Maros, namun sejak itu tidak ada yang mencoba menentukan umurnya. Karena para arkeolog percaya bahwa itu adalah bagian dari er pra-Neolitik, sekitar 10 ribu tahun lalu.

Tahun 2011, tim peneliti Indonesia dan Australia mulai melakukan penelitian, dengan kesepakatan kerjasama jangka panjang antara Pusat Arkeologi Nasional Indonesia dengan Centre for Archaeological Science (CAS) di University of Wollongong. Kami mulai dengan gua Leang Burung 2 di Maros.

Bagaimana Anda menentukan umur lukisan-lukisan itu?

Kami menyelidiki jejak uranium yang ada dalam batu-batuannya, sesuai dengan tingkat peluruhan uranium yang dijadikan sebagai pengukur waktu. Dengan itu kami bisa menentukan umur minimalnya.

Sangat sulit menentukan umur lukisan seperti ini secara langsung, kecuali kalau ada unsur kapurnya. Itu sebabnya kami menggunakan metode tidak langsung.

Bagaimana dan dari bahan apa lukisan ini dibuat?

Kebanyakan lukisan gua di Sulawesi dibuat dengan kunyit dan murbei untuk menghasilkan warna kuning dan merah.

Apa bedanya dengan lukisan dua yang ditemukan di Eropa?

Lukisan-lukisan gua itu punya kesamaan berkaitan dengan lokasi, bentuk seni nonkonfiguratifnya dan lukisan stensil tangan. Perbedaan ada pada lukisan binatang. Umur lukisan binatang yang ditemukan di Chauvet dan Lascaux masih lebih muda, antara 26 ribu dan 18 ribu tahun. Sedangkan lukisan figuratif binatang di Sulawesi minimal umurnya 35 ribu tahun.

Apakah lukisan-lukisan itu sekarang terancam erosi?

Banyak situs yang masih punya lukisan-lukisan gua yang indah di kawasan ini. Banyak juga lukisan yang sudah rusak karean erosi.

Sekarang, dengan publikasi penelitian kami, mungkin ancaman itu meningkat karena makin banyak turis yang mengunjungi situs-situs ini.

Untungnya, tahun 2009 Kementerian Budaya dan Pariwisata Indonesia sudah mengusulkan agas kawasan Maros-Pangkep masuk dalam daftar UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Hasil penelitian kami bisa mendukung proposal ini.

Anthony Dosseto adalah peneliti senior di School of Earth and Environmental Sciences di University of Wollongong, Australia. Thomas Sutikna adalah arkeolog Indonesia yang sedang melakukan penelitian di universitas yang sama. Wawancara untuk DW dilakukan oleh Gabriel Dominguez.