1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siapa Pengikut Islamic State?

Gabriel Dominguez23 Mei 2015

Sedikitnya 2.000 orang dari Asia Tengah diduga bergabung dengan IS. Kemiskinan dan radikalisasi kawasan itu jadi "sumber" bagi IS untuk merekrut anggota, kata Deirdre Tynan dari International Crisis Group.

https://p.dw.com/p/1ESFc
Propagandabild IS-Kämpfer ARCHIV
Foto: picture-alliance/abaca/Yaghobzadeh Rafael

Konsekuensi negatif dari konflik di Suriah dan Irak berkembang jadi ancaman keamanan yang harus dihadapi negara-negara Asia Tengah. Lima negara bekas republik Uni Sovyet, yaitu Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan and Uzbekistan lumpuh akibat korupsi dan sekarang nyaris tidak melakukan tindakan menghadapi isu radikal Islam.

Islamic State merekrut warga Asia Tengah untuk "berjihad" ke Suriah dan menyokong jaringan baru di kawasan tersebut. Demikian laporan International Crisis Group (ICG) yang yang baru diterbitkan. !Antara 2.000 hingga 4.000 orang telah berangkat ke wilayah yang dikuasai IS untuk bertempur atau mendukung para teroris dengan cara lain", demikian laporan ICG yang berjudul Syria Calling: Radicalization in Central Asia.

Laporan itu meneliti konteks sosio-politik di balik radikalisme yang makin berkembang di kawasan itu. Kesimpulannya: solusi diperlukan di banyak bidang. Bukan hanya koordinasi lebih baik antar aparat keamanan tapi juga kebebasan dari peraturan agama yang mengikat dan kesempatan berkembang dari segi ekonomi bagi warga muda, termasuk perempuan.

Dalam wawancara dengan DW, Pimpinan Proyek Asia Tengah pada ICG Deirdre Tynan mengatakan, bagi IS lebih mudah merekrut anggota di Asia Tengah daripada di Afghanistan dan Pakistan, karena kelompok teroris itu mendasari perekrutan pada keinginan akan adanya perubahan politik dan sosial.

DW: Dari mana asal pendukung IS?

Deirdre Tynan: Pemerintah negara-negara Asia Tengah memperkirakan beberapa ratus pengikut IS konservatif. Sementara Barat memperkirakan jumlahnya sekitar 2.000 sampai 4.000. Kelompok terbesar adalah etnik Uzbek, baik dari Uzbekistan maupun etnik Uzbek dari lembah Ferghana, serta dari Osh di Kirgizstan Selatan. Ditaksir 1.000 pria dan wanita, termasuk 500 etnis Kirgiz dan etnis lain meninggalkan lembah Ferghana dan bergabung dengan IS. Jumlah keseluruhan sekitar 2.500 orang.

Bagaimana pendukung khas IS dari kawasan ini?

Profil tunggal pendukung IS tidak ada. Pemerintah di Asia Tengah tidak sadar bahwa IS berusaha meraih dukungan dari semua lapisan masyarakat. Apakah itu pekerja salon berusia 17 tahun, pengusaha mapan, perempuan yang ditinggal suami, keluarga yang memperkirakan anak-anak mereka punya prospek lebih baik di IS dan sebagainya. Semuanya terinspirasi kepercayaan bahwa IS jadi alternatif lebih baik dari kehidupan pasca Uni Sovyet.

Apa alasan untuk meninggalkan negara dan mendukung IS?

Mereka mengalami marginalisasi dalam masyarakat dan tidak melihat prospek ekonomi apapun. IS tidak hanya menarik orang-orang yang mencari pengalaman perang, tapi juga yang ingin lebih berdedikasi dan hidup bermakna secara religius dan fundamentalis. Radikalisasi perempuan sering jadi akibat tidak adanya peluang dalam bidang sosial, religi, ekonomi dan politik di negara asal. Imbalan ekonomi bukan motivasi bagi mereka yang tertarik ikut IS. Bagi sebagian, itu pengalaman pribadi, dan sebagian lagi merasa terpanggil.

Simpatisan IS di Asia Tengah dimotivasi ideologi religius. Berkembangnya tendensi radikal didorong pendidikan religi yang kurang baik dan rasa tidak senang terhadap pemerintah yang sekuler. Walaupun faktor sosial-ekonomi berperan penting, komitmen ideologis pada jihad adalah alasan utama warga Asia Tengah tertarik pada IS.

Bagaimana proses perekrutan pendukung?

Perekrutan dengan latar belakang ekstremis terjadi di mesjid dan tempat ibadah lain. Internet dan media sosial memainkan peran penting tapi tidak absolut. Ada yang direkrut di negara asal, ada yang diradikalisasi di luar negeri, biasanya sebagai pekerja migran. Perekrutan terjadi terutama di Asia Tengah, Rusia dan Turki, tapi juga dari kelompok pria-pria muda yang sekolah agama di Mesir, Arab Saudi dan Bangladesh.

Informasi dari mulut ke mulut adalah alat perekrutan paling penting di Asia Tengah. Jika seorang anggota keluarga pergi ke daerah yang dikuasai IS, yang lainnya pasti ikut. Media sosial jadi komunikasi antara mereka yang telah berada di Suriah dan yang masih mempertimbangkan untuk bergabung.

Bagaimana bentuk dukungan mereka bagi IS?

Ada yang berperang, ada yang memberi layanan berupa dukungan bagi anggota yang lebih berpengalaman dari Kaukasus atau negara-negara Arab. IS menyatakan perlu guru, perawat dan insinyur, bukan hanya yang ingin perang. Ini menarik bagi yang berpendidikan.

Masalah apa yang muncul bagi negara-negara Asia Tengah?

Jumlah warga yang mendapat pelatihan perang dari IS makin banyak, juga jaringan jihad. Sebagian besar warga merasa dirinya terorganisir dalam kelompok etnis atau bahasanya walau tidak terikat. Kelompok-kelompok ini jadi batalion regional yang juga beranggotakan jihadis dari bekas Uni Sovyet, Afghanistan, Pakistan dan daerah Cina Xinjiang. Sekarang risikonya, pembentukan kelompok ini tambah cepat. Sementara pemerintah tidak siap menghadapinya.

Apa langkah pemerintah Asia Tengah dalam hal ini?

Tajikistan and Kazakhstan telah mengesahkan hukum yang mengkriminalisasi orang yang ikut perang di luar negeri. Uzbekistan keluarkan larangan orang ikut pelatihan teroris di manapun Januari 2014, tapi hukum itu diinterpretasikan seolah diarahkan terhadap orang yang dilatih di luar negeri.

September 2014, parlemen Kirgizstan setujui amandemen undang-undang kriminal, yang mengusulkan hukuman 8 hingga 15 tahun bagi orang yang ikut dalam konflik, operasi militer atau pelatihan teroris dan ekstrimis di negara lain. Tapi ini belum disahkan jadi UU.

Walaupun pemerintah negara-negara itu menyadari ancaman bahaya dari orang yang kembali dari Suriah, mereka tidak mengambil langkah apa-apa. Pencegahan ekstremisme dan rehabilitasi jihadis belum masuk agenda politik. Sementara radikalisasi perempuan, samasekali tidak dihiraukan oleh pimpinan religi.

Pewawancara: Gabriel Domínguez