1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Inggris Hadapi Masa Depan Politik yang Sulit

Grahame Lucas6 Mei 2015

Pemilih di Inggris dihadapkan pada pilihan cukup luas yang akan membentuk sosok dan visi politik Inggris di masa depan. Tapi, setelah masa kampanye usai, sulit meramalkan hasil pemilu. Perspektif Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1FKrD
Großbritannien David Cameron Wahlkampf 2015
Foto: Reuters/T. Melville

Kita bisa memulai dengan ketakutan yang merebak di latar belakang, apapun bentuk pemerintahan yang dipilih nanti, hasilnya adalah apa yang diinginkan minoritas warga, yakni pecahnya Inggris Raya. Indikasinya amat tegas. Sembilan bulan lalu, referendum di Skotlandia menegaskan negeri itu akan tetap berada bergabung dalam United Kingdom alias Inggris Raya. Partai Nasional Skotlandia SNP sekarang melancarkan target menyabet semua kursi di parlemen.

Namun sudah jadi rahasia umum, bahwa SNP jika menang telak, akan menggelar referendum baru dalam satu atau dua tahun ke depan, untuk hengkang dari United Kingdom. Resep sukses SNP adalah sikap warga Skotlandia yang menentang apa yang disebut model Westminster, yang dipercaya membahayakan kepentingan mereka. Khususnya dalam pembagian laba dari tambang minyak di Laut Utara dan penghematan dalam model kesejahteraan sosial.

Sebuah kemenangan besar Partai Nasional Skotlandia akan berarti terdesaknya kekuatan partai Buruh dan Partai Konservatif hingga ke pinggiran. Jika hal itu terjadi, baik partai Konservatif di bawah PM David Cameron maupun Partai Buruh di bawah Ed Milibannd tidak akan ada yang mampu meraih mayoritas suara di Parlemen Westminster. Hasil pemilu nanti diprediksi adalah sebuah parlemen yang menggantung, yang memaksa terbentuknya pemerintahan koalisi atau pemerintahan minoritas.

Lucas Grahame Kommentarbild App
Grahame Lucas pimpinan redaksi South-East Asia DW.

Di sinilah masalah akan muncul. Sebagai mitra koalisi dengan Partai Buruh, SNP dengan lebih 50 kursi di perlemen London, bisa mendikte syarat untuk keluar dari United Kingdom. Sedangkan sebuah pemerintahan minoritas, diperkirakan tidak akan berumur panjang, karena menghadapi sikap bermusuhan dari SNP.

Tapi, ini bukan satu-satunya ancaman. United Kingdom Independence Party - UKIP yang muncul tahun 1990-an sebagai wujud protes atas keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa, kini juga mulai tampil ke depan. UKIP terutama mengusung program anti imigran dan anti Uni Eropa untuk memuluskan jalan memasuki Parlemen di London. Partai kanan ini juga berusaha meraih generasi tua dengan menonjolkan masa lalu negara itu, sebagai salah satu adidaya dunia.

UKIP secara siginfikan dipastikan akan merebut banyak pemilih tradisional Partai Konservatif. Inilah faktor yang bisa menjegal Cameron meraih suara mayoritas. Bagaimanapun juga pemerintahan minoritas Cameron akan tergantung dari bagian dukungan UKIP, dan dengan begitu juga akan dipaksa menggelar referendum pada 2017 untuk menentukan keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa.

Jika referendum nantinya menyetujui keluarnya Inggris dari Uni Eropa, ini akan berdampak melipat gandakan dukungan di Skotlandia, untuk keluar dari United Kingdom dan menggantikan posisi Inggris di Uni Eropa.

Semua fakta itu membuat para pengamat membuat kesimpulan, apapun yang dipilih rakyat dalam pemilu kali ini, berakhirnya sosok United Kingdom yang kita kenal saat ini tidak bisa dihindarkan lagi.

Lebih jauh lagi, bagi Uni Eropa kehilangan Inggris, yang merupakan ekonomi ke-empat terbesar, akan jadi kabar buruk. Sementara Inggris juga harus membayar mahal, berupa kehilangan pemasukan 400 milyar Euro dari sektor ekspor. Di tatanan internasional, Uni Eropa akan kehilangan pengaruh politiknya. Dan bagi Inggris, ini akan jadi bencana dalam proporsi bersejarah.