1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

'Ilmuwan Awam' Semakin Diandalkan Dunia Sains

Elizabeth Owuor12 Maret 2014

Gerakan 'ilmuwan awam' yang sudah ada sejak era Charles Darwin, kini seiring perkembangan teknologi amat pesat, terus meluas dan semakin diandalkan untuk membantu riset ilmiah.

https://p.dw.com/p/1BNj4
Foto: NABU/P. dos Santos

Michael Münch warga Chemnitz, Jerman mencintai serangga. Ahli IT berusia 43 tahun ini tidak punya gelar dalam bidang entomologi, atau menulis artikel dalam publikasi insektologi. Namun pencinta serangga yang belajar otodidak ini memiliki koleksi buku yang lengkap dan hasrat besar untuk membantu komunitas sains dalam mengumpulkan data penting terkait serangga dan tanaman.

Münch beralih dari mendokumentasikan tanaman pada tahun 90-an ke dunia serangga. Tak perlu waktu lama, Münch kmudian menjalin kemitraan dengan para entomolog lokal. Kemampuan ilmu komputernya berguna untuk membuat portal online yang mendokumentasikan kehidupan serangga di negarabagian Sachsen.

Dan dengan begitu, Münch termasuk dalam gerakan ilmuwan awam yang terus menjamur.

Berbekal keinginan untuk membantu menciptakan kultur sains, ilmuwan awam adalah amatir, pelaku hobi dan warga biasa yang bekerjasama dengan para pakar dan organisasi untuk membantu mengumpulkan data yang menjadi denyut nadi riset ilmiah. Mulai dari astronomi hingga zoologi, hampir setiap bidang ilmiah kini mempunyai proyek ilmuwan awam sendiri.

Ilmuwan awam tulen

Di seluruh dunia, ilmuwan awam telah menjadi andalan riset keragaman hayati
Di seluruh dunia, ilmuwan awam telah menjadi andalan riset keragaman hayatiFoto: Privat/ Oliver Thie

“Kalau melihat sejarah panjang sains dan teknologi, konsep ilmuwan profesional justru tergolong baru. Warga awam adalah para ilmuwan yang pertama. Tukang roti adalah peneliti, petani adalah ilmuwan. Untuk belajar memanggang roti atau membuat bir, itu adalah proses coba-coba yang berkembang seiring waktu," kata Christopher Kyba dari Institut Leibniz untuk Ekologi Air Tawar dan Perikanan Darat.

Menurut Lars Lachmann, pakar konservasi burung untuk Persatuan Konservasi Alam dan Keragaman Hayati (NABU), salah satu LSM lingkungan terbesar di Jerman, "Kalangan ilmuwan burung pertama adalah pendeta dan dokter. Ada pengetahuan di luar universitas, dan ilmuwan awam memanfaatkan waktu dan pengetahuan orang di luar kalangan akademis. Tanpa mereka, sumber daya yang jumlahnya begitu besar akan sia-sia.”

Charles Darwin pasti setuju. Hanya dalam waktu satu tahun saja, pencetus teori seleksi alamiah tersebut mengirimkan lebih dari 1.500 surat kepada para naturalis dan warga awam untuk mengumpulkan bukti mengenai teori evolusi. Kini sudah ada Google, Twitter atau Facebook yang bisa membantu ilmuwan profesional.

Melibatkan warga

Kalangan ilmuwan burung pertama adalah pendeta dan dokter
Kalangan ilmuwan burung pertama adalah pendeta dan dokterFoto: CC 2.0/ Will Scullin

Namun dapatkah gerakan ilmuwan awam memberi hasil ilmiah? Menurut Matthias Nuss dari Museum Senckenberg untuk Zoologi di Dresden, jawabannya iya. Nuss bersikeras bahwa ilmuwan awam menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data yang menjadi tumpuan ilmuwan profesional.

Sebagai contoh: dengan 34.000 lebih spesies serangga hanya di Jerman saja, sungguh tidak mungkin bagi entomolog profesional untuk membuat katalog seluruh data penting dari jumlah serangga yang sangat besar. Disinilah ilmuwan awam berperan penting.

NABU mendanai program 'Insekten Sachsen' yang diluncurkan tahun 2010 dan memberdayakan ilmuwan awam untuk mengirim foto fauna serangga regional yang kemudian diverifikasi oleh para pakar untuk identifikasi spesies. Program ini sudah memiliki foto spesies ke-2.000 dalam katalog. Sebuah prestasi yang tercapai berkat antusiasme ribuan relawan.

Kekuatan sains terbuka

Konsep konservasi di tingkat komunitas tidak hanya menjadi fenomena di Jerman. Brasil, salah satu negara paling kaya keragaman hayati di dunia juga tidak ketinggalan. Bekerjasama dengan pemerintah Jerman, Taman Nasional Serra de Bodoquena di Brasil baru saja meluncurkan program monitor keragaman hayati yang mempertemukan warga awam dengan ilmuwan untuk mengoleksi detail penting terkait keragaman spesies.

Mengingat Brasil adalah habitat bagi 70 persen dari spesies tanaman dan hewan global yang terdokumentasi, ilmuwan awam berubah dari sekedar relawan menjadi agen dalam perang melawan kehilangan keragaman hayati.

Kyba dari Institut Leibniz yakin bahwa internet dan smartphone berdampak besar pada gerakan ini. Ia merujuk pada GPS dan penanda waktu serta posisi sebagai faktor penting yang mendorong meluasnya proyek ilmuwan awam. Para senior dalam gerakan ini juga setuju bahwa perkembangan teknologi seperti app mobile adalah masa depan proyek ilmuwan awam global.