1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Warisan Ataturk Bayangi Peringatan 100 Tahun Republik Turki

Elmas Topcu
30 Oktober 2023

Seratus tahun silam, Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan pendirian sebuah republik di atas puing Kesultanan Utsmaniyah dan mengawali modernisasi Turki. Kini, warisannya dinisbikan oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

https://p.dw.com/p/4Y6Dd
Poster Atatürk dan Erdogan
Foto Mustafa Kemal Atatürk (ki.) bersama Presiden Recep Tayyip Erdogan (ka.) dalam sebuah upacara militer di Istanbul, 31 Agustus silam.Foto: Arif Hudaverdi Yaman/AA/picture alliance

Selama berpekan-pekan terakhir, kaum sekuler Turki sibuk berspekulasi soal apakah pemerintahan konservatif Islam, di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan, akan merayakan 100 tahun pendirian republik tanggal 29 Oktober mendatang. Pasalnya, hingga beberapa hari terakhir pemerintah belum juga mengumumkan jadwal seremoni dalam agenda resminya. Kebimbangan soal penyelenggaraan diwartakan juga sempat menyergap kalangan diplomat asing.

Mustafa Kemal Atatürk
Mustafa Kemal AtatürkFoto: Topical Press Agency/Getty Images

Baru pada hari Jumat (27/10), kantor kepresidenan Turki memastikan adanya peringatan 100 tahun berdirinya republik. Namun kini, kelompok sekuler khawatir, Erdogan akan memanfaatkan upacara kali ini untuk menggusur warisan Mustafa Kemal Ataturk, dan menempatkan masa jabatannya sebagai tonggak modernisasi Turki.

Dengan slogan kampanye "abad bagi Turki," Erdogan terpilih kembali dalam pemilu untuk lima tahun mendatang. Kekuasaannya sudah berlangsung sejak dua puluh tahun. Kini, dia diyakini ingin mengamankan warisan, sebagai negarawan yang mengantarkan Turki memasuki abad selanjutnya.

Beate Apelt, kepala kantor yayasan Jerman, Friedrich Naumann, di Turki, mengaku melihat ragam plakat dan simbolisme peringatan, yang berusaha menempatkan Erdogan sejajar dengan Ataturk. Selain ungkapan "abad Turki", pemerintah juga memasang potret kedua kepala negara berdampingan. Menurut Apelt, pesan yang ingin disampaikan jelas, yakni jika Atatürk adalah pemrakarsa, maka Erdogan adalah penyempurna.

Menurut Apelt, banyak acara peringatan republik yang dikaitkan dengan unsur keagamaan. Hal ini "tentu saja tidak sesuai dengan semangat Atatürk", kata dia.

Warisan Atatürk di tangan Erdogan

Ataturk menyaratkan pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Haluan laisisme atau kemalisme ini menyertai modernisasi Turki setelah punahnya Kesultanan Utsmaniyah. Namun tidak semua kelompok menyepakati asas sekular dan sebaliknya menuntut corak pemerintahan yang lebih mencerminkan prinsip keIslaman.

Erdogan adalah tokoh yang memotori bangkitnya gerakan kelompok konservatif di Turki, antara lain melalui berbagai kemudahan yang disediakan negara. Hingga kini, dia enggan menyebut nama julukan Ataturk atau "bapak bangsa Turki," dan sebaliknya hanya menggunakan nama asli, "Mustafa Kemal." Dikatakan, adalah gaya hidup liberal Atatürk, kegemarannya akan minuman beralkohol dan perempuan, yang memancing antipati pendukung Partai Hukum dan Keadilan alias AKP.

Ataturk memimpikan sebuah republik ala Barat - modern dan sekuler. Untuk itu dia memaksakan ragam reformasi, antara lain menukar alfabet Arab dengan huruf Latin, mengadopsi hukum Barat dan menjamin hak pilih perempuan. Dia bahkan mengeluarkan UU Topi yang melarang topi khas Turki, fez, dan mendorong masyarakat berbusana ala warga Eropa.

Reformasi Ataturk diniatkan untuk membangun kembali Turki dari puing-puing Kesultanan Utsmaniyah. Namun upayanya menjembatani jurang antaretnis peninggalan masa lalu tidak terlalu berhasil. Hingga kini, Turki membina relasi berduri dengan kelompok minoritas Armenia, Alevi dan Kurdi.  Sejak tahun 1984, hampir 40.000 orang tewas dalam konflik bersenjata melawan Partai Buruh Kurdi (PKK) yang telah dilarang.

"Rumah Yunani" di Istanbul

Perdamaian bukan lagi haluan

Hingga kini, modernisasi Turki masih dikaitkan dengan nama Ataturk. Dalam 100 tahun terakhir, Republik Turki telah kembali menjadi adidaya regional dan melalui NATO ikut berperan menjaga tatanan politik dunia. "Dan mereka sebagian besar sudah berhasil," kata Salim Cevik, pakar Turki di Yayasan Politik dan Ilmu Pengetahuan (SWP) di Berlin, Jerman.

Seratus tahun lalu, Ataturk mengembalikan Turki ke panggung dunia dengan kebijakan luar negeri yang damai. Menurut ilmuwan politik Cevik, tujuannya adalah melindungi republik yang baru seumur jagung dari krisis internasional. Kecuali konflik seputar Siprus dengan Yunani pada pertengahan tahun 1970-an, corak damai diplomasi Turki tidak pernah berubah.

Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, Erdogan juga menghindari konflik luar negeri. Hanya sejak Musim Semi Arab pada 2011 silam, dia memilih konfrontasi dengan dunia Arab dan melakukan intervensi militer yang memihak kepada para pemberontak di Suriah dan Libya.

Di tahun-tahun belakangan, Ankara meningkatkan agresi dan militerisasi. Selain menduduki wilayah Kurdi di utara Suriah dan Irak, Turki juga mempersenjatai kelompok jihad di Suriah, mengirimkan tentara bayaran ke Libya dan membantu Azerbaijan dalam perang melawan Armenia di Nagorno-Karabakh. Sebabnya, hubungan antara Turki dan negara-negara anggota NATO belakangan menegang.

rzn/hp