1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

UE Bidik Daur Ulang Baterai demi Kurangi Dominasi Cina

Nadine Mena Michollek
16 Februari 2024

Uni Eropa melihat kebergantungan tinggi terhadap impor logam untuk memproduksi baterai sebagai kelemahan besar dalam dekarbonisasi ekonomi. Teknologi daur ulang yang efisien dan murah bisa menjadi jalan keluar

https://p.dw.com/p/4cQfA
Pabrik Duesenfeld di Wendeburg
Massa hitam di pabrik Duesenfeld di Wendeburg, JermanFoto: Nadine Michollek/DW

Stoples kaca berisi bubuk hitam itu berpendar di bawah sinar lampu pabrik. Labelnya bertuliskan "massa hitam", yang sejatinya adalah logam  berharga seperti litium, nikel dan kobalt yang didapat dari limbah baterai mobil. Bubuk hitam itu bisa menjadi kunci bagi industri otomotif Uni Eropa demi mengejar ketertinggalan dari Cina dalam manufaktur dan daur ulang baterai kendaraan listrik.

Di Wendeburg, kota kecil yang masih dihiasi rumah kayu khas Jerman itu, perusahaan startup Duesenfel sedang mencari metode daur ulang  baterai kendaraan listrik yang lebih menguntungkan.

Pasalnya, Uni Eropa sudah berencana membangun belasan pabrik raksasa baterai EV yang disebut "gigafactories" dalam satu dekade ke depan. Namun kebergantungan yang tinggi terhadap impor bahan mentah membuat UE rentan terhadap gangguan rantai suplai. Sebabnya daur ulang baterai listrik dianggap sebagai "tambang masa depan," kata Jörg Burzer, anggota direksi Mercedes-Benz.

Raksasa otomotif asal Stuttgart itu itu kini mengikuti langkah Volkswagen dengan membangun pusat daur ulang yang selambatnya mulai beroperasi pertengahan tahun ini. "Punya sumber daya yang memadai dan proses yang berkelanjutan, semua itu adalah komponen strategis bagi kami," imbuh Burzer.

Masalahnya, proses daur ulang masih terlampau mahal bagi sebagian besar perusahaan. Burzer sendiri tidak mengetahui kapan praktik daur ulang di Mercedes akan bisa menghasilkan keuntungan.

Mendaurulang Baterai Bekas

Listrik sisa untuk operasi pabrik

Duesenfeld sebaliknya mengklaim metode yang mereka kembangkan sudah mencetak keuntungan, kata Julius Schumacher, kepala teknis pabrik daur ulang di Wendeburg.

Perusahaan antara lain menghemat energi dengan memanen sisa listrik di dalam baterai. "Jumlahnya cukup untuk mengurangi sekitar setengah biaya energi pabrik,” jelas Schumacher, sebuah keuntungan besar mengingat tingginya biaya pembongkaran baterai.

Setelah kandungan listriknya dikosongkan, baterai bekas dikirim ke mesin penghancur. Proses ini dikenal berisiko, karena baterai EV sangat mudah terbakar sehingga sulit didaur ulang.

Kebanyakan perusahaan daur ulang menggunakan salah satu dari dua metode untuk memisahkan setiap elemen logam, yakni melalui proses pembakaran yang boros energi, atau dengan nitrogen cair yang dapat menghasilkan gas beracun. Kedua metode memiliki kelemahannya masing-masing.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Solusi niremisi oleh Duesenfeld

Duesenfeld menggunakan opsi kedua, yakni menghancurkan isi baterai di dalam bejana vakum berisi gas nitrogen untuk mencegah kebakaran.

Baterai dikeringkan pada suhu rendah dalam ruang hampa. Efeknya pada dasarnya serupa seperti kondisi di gunung yang tinggi: Air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat Celcius karena tekanan eksternal lebih rendah.

Dalam prosesnya, elektrolit, yang berfungsi sebagai konduktor di dalam baterai, akan menguap dan ditampung melalui sebuah pipa kaca yang mengalirkan cairan transparan, yakni elektrolit daur ulang.

Tapi, metode ini masih memproduksi limbah gas beracun. Lalu apa bedanya? Schumacher mengklaim pihaknya menghancurkan baterai dalam suhu yang sangat rendah, "dan kami mengosongkan baterai secara seksama sebelum menghancurkannya. Kombinasi dua elemen ini berarti tidak ada gas beracun yang diproduksi." 

Dia mengatakan, proses daur ulang yang dikembangkan Duesenfeld juga bersifat niremisi. "Mengurangi emisi CO2 artinya juga mengurangi ongkos produksi."

Atas inisiatif perusahaan, Duesenfeld mendapat Penghargaan Keberlanjutan Jerman tahun 2024.

Cina tetap terdepan

Saat ini, Cina adalah produsen dan pasar kendaraan listrik terbesar di dunia, serta merajai bisnis daur ulang baterai. "Pasar daur ulang baterai kendaraan listrik di Cina tercatat 10 kali lipat lebih besar dibandingkan UE, kata Christoph Neef, analis pasar di Institut Fraunhofer untuk Penelitian Sistem dan Inovasi di Jerman kepada DW.

Menurut sebuah studi oleh Universitas Münster di Jerman, Cina akan mampu sepenuhnya menggantikan litium yang diperoleh dari penambangan dengan litium daur ulang dalam baterai kendaraan listrik mulai tahun 2059. Sebagai perbandingan, Eropa dan Amerika diperkirakan baru akan mencapai level tersebut pada tahun 2070.

Dalam hal nikel, Cina diyakini akan menutupi permintaan melalui daur ulang paling cepat pada tahun 2046, diikuti oleh Eropa pada tahun 2058 dan Amerika Serikat pada tahun 2064.

Produsen Sel Baterai Swedia Ekspansi Produksi ke Eropa

Peneliti di Fraunhofer Institute Jerman mengatakan, pengalaman Eropa dalam melakukan industrialisasi teknologi inovatif dapat mendorong pengembangkan metode daur ulang yang ramah lingkungan dan efisien.

Diperkirakan, jumlah baterai yang potensial didaur ulang di Eropa akan mencapai 2.100 kiloton per tahun pada 2040, naik dari saat ini sekitar 50 kiloton baterai bekas yang didaur ulang setiap tahunnya.

Adapun Northvolt Swedia, yang 2021 silam memproduksi sel baterai EV pertamanya dengan nikel, mangan dan kobalt 100 persen hasil daur ulang, berencana untuk meningkatkan kapasitasnya di Eropa. Perusahaan energi itu menargetkan sekitar 70.000 ton paket baterai pada tahun 2025 dan 300.000 ton paket baterai pada tahun 2030.

"Uni Eropa memulai sejak awal dengan kegiatan untuk mengendalikan dan memperbesar skala proses daur ulang,” kata Neef. Oleh karena itu, UE dipastikan dapat mengejar ketertinggalan dalam hal daur ulang.

rzn/as