1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tri Mumpuni: "Soal Transisi Energi, Jangan Asal Bicara"

30 November 2022

‘Perempuan Listrik' Tri Mumpuni bicara soal target Indonesia dalam turunkan emisi gas rumah kaca lewat transisi energi. menurutnya tidak bisa asal bicara soal menutup pembangkit listrik tenaga batu bara.

https://p.dw.com/p/4K0uU
Tri Mumpuni - pahlawan listrik
Tri Mumpuni kini bekerja di Badan Riset dan Inovasi (BRIN)Foto: Ayu Purwaningsih/DW

Krisis iklim menjadi masalah besar yang dihadapi dunia. Berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah dan sektor swasta di banyak negara melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia menyebutkan akan mendorong transisienergi yang berkelanjutan. Salah satunya dengan mempercepat penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan mengembangkan energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan. Namun 62 pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) saat ini masih berbasis batu bara. Bagaimana tanggapan Tri Mumpuni yang bertugas di Badan Riset dan Informasi Nasional (BRIN)? Ikuti wawancaranya

Deutsche Welle (DW): Bagaimana persiapan Indonesia setelah Konferensi Tingklat Tinggi Iklim COP27 dalam urusan transisi ke energi terbarukan? 

Tri Mumpuni (TM):  Sebenarnya sebelum COP pun, kita sudah sangat sibuk dan heboh menyiapkan (transisi energi) ini, khususnya, setelah Perjanjian Paris. Jadi, sekarang ini yang menjadi masalah, sangat seksi untuk dibicarakan itu yang kita sebut sebagai Net Zero Emission 2060. Kita semua berharap apa yang nanti kita lakukan itu akan betul mencapai target Net Zero Emission 2060. Pertanyaan saya justru saya ajukan ke siapa pun yang ingin tahu bagaimana Indonesia nanti memenuhi target tersebut. 

Indonesia sudah  memperbaharui enhance NDC atau komitmen kontribusi nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 31,8% dengan usaha sendiri. Target itu akan tercapai? 
 
Salah satunya itu, tapi kita harus adil dengan bagaimana negara kita yang masih membangun. Jangan pernah disandingkan dengan negara luar, negara maju yang mereka sudah menikmati pembangunan dan menyejahterakan rakyatnya di saat-saat yang lalu. Sekarang giliran kita ingin membangun dan menyejahterakan rakyat kita, kita diberi batasan-batasan. Jadi, kita sebaiknya berpikir cerdas sebagai sebuah negara yang mempunyai kedaulatan. Yang saya inginkan adalah bagaimana kita mampu, mampu mengelola energi terbarukan kita, sehingga memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia tanpa mengurangi langkah-langkah kita untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Kalau saya berpikir, kita tidak bisa ekstrem tiba-tiba menghilangkan batu bara. Yang harus kita pikirkan itu teknologi. Kebetulan saya di BRIN (Badan Riset dan Informasi Nasional), saya berpikir bahwa harus ada teknologi yang diriset untuk energi terbarukan sekaligus ada inovasi-inovasi atau terobosan-terobosan terbaru. Bagaimana kalau kita menggunakan penyimpanan dan penangkapan karbon? Sehingga, batu bara tetap dipakai tetapi kita tahu bagaimana limbah itu tidak berkontribusi terhadap jumlah CO2 yang dikeluarkan. Sekarang banyak teknologi seperti itu, kita harus cerdas berpikir ke arah sana. 

Itu yang menjadi pesoalan bahwa Indonesia ingin mengejar target untuk pengurangan emisi besar-besaran, tapi di sisi lain saat ini batu bara itu melebihi 60% dari sumber energi?

Karena memang kita memiliki itu. Itu persoalannya, kita punya, dan kita harus pakai. Bisa dibayangkan tidak kalau kita harus menutup, batu bara itu ditutup walau pun kita bisa seperti  pahlawan ngomongnya, ‘kita tutup batu bara.‘ Tunggu dulu, ‘kamu tahu bisnis batu bara melibatkan berapa mulut? Berapa orang?‘ Dan saya lebih senang kalau kita realistis, bagaimana kalau memang betul-betul ingin mengurangi atau menutup batu bara, (harus) sudah ada solusinya. Ini kan solusinya belum ada, kita asal berbicara. Belum mendapatkan solusi yang tepat. Saya lebih setuju kalau tadi saya katakan, ada penyimpanan dan penangkapan karbon, ada teknologi yang lain, yang membuat batu bara itu tidak menambah jumlah CO2 kalau misalnya jika dipakai. Ini kita harus berpikir ke arah sana, tidak bisa sembarangan berbicara. Orang ingin jadi pahlawan, tapi kemudian seperti di dalam kartun itu ada jurus silat pendekar mabuk. Jadi pokoknya, asal berbicara, ‘saya harus ini, harus itu.‘ Sekarang kita sejujurnya berbicara, kita ingin energi terbarukan tahun 2060, artinya nol emisi karbon, yang bahan bakar fosil tidak ada sama sekali yang menghasilkan CO2. Tapi kita hitung dengan sungguh-sungguh, sekarang ini kemampuan kita, apa yang kita punya? Kalau kita bicara energi terbarukan, yang pasti bisa 24 jam. Jadi tidak terganggu oleh pengeluaran karbon dan sebagainya.

Apa sumber energi terbarukan yang paling potensial?

Air kita kapasitasnya semua, walau pun belum dibangun itu: 75 ribu megawatt. Jadi bisa dibayangkan. Sekarang kita bicara panas bumi, itu 28 ribu megawatt, dijumlah hanya 100 sekian. Kalau pakai yang energi berselang, banyak, ada fotovoltaik, ada angin, semua pasti ada selang waktunya, tidak bisa diharapkan 24 jam. Kita juga punya biomassa, bahan bakar hayati, tapi belum menjadi perhatian kita yang utama. Pencampuran energi, bagaimana pencampuran yang berkeadilan memberikan dampak kesejahteraan masyarakat, bukan malah merusak hutan. Ini jadi pemikiran kita juga. Kemudian, katakanlah, meskipun belum sampai, kapasitas PLN untuk listrik itu baru sekitar 100 ribu megawatt. Kita proyeksikan 2060, dengan pertumbuhan mengejar pembangunan yang bisa menyejahterakan rakyat. Itu kira-kira kita akan perlu, katakanlah 600 ribu megawatt, tahun 2060. Anda bisa bayangkan kita punya hanya sekitar 200 ribu megawatt, tapi kita harus menggunakan 600 ribu megawatt. Kekurangan 400 ribu megawatt seperti apa? Apakah mau memakai tenaga nuklir? Pasti orang ribut, karena sampai sekarang kita belum tahu sampah nuklir akan dibuang ke mana. Kita ada berita bagus ini, hidrogen, (sudah 8,8 % dari sumber energi). Ini kan sedikit membahagiakan kita, itu yang tadi saya katakan. Perlu lebih banyak penelitian, lebih banyak inovasi, sehingga apa yang kita usulkan itu realistis. Dan yang penting satu, membangun energi terbarukan adalah juga membangun keberdayaan dan kesejahteraan buat rakyat. Saya tidak mau nanti kemudian sumber daya fosil sudah dikuasai orang kaya, energi terbarukan orang miskin pun juga tidak kebagian apa-apa. Kapan keadilannya?  

Sekarang ini dari data Climate Transparency tahun 2021, energi terbarukan Indonesia baru sekitar 18%. Bisnis menggiurkan?

Itu sudah terjadi. Saya sudah melihat banyak sekali orang yang menawarkan hal itu. Saya membayangkan, kita contoh Jerman. Jerman memberikan harga listrik yang sangat mahal untuk fotovoltaik. Apakah karena dia pro energi hijau? Iya, mungkin pro energi hijau. Tapi apakah kita sadar bahwa Jerman itu penghasil fotovoltaik terbanyak. Jadi itu mendukung bisnisnya. Kita ini yang sering kekurangan adalah kita teriak energi terbarukan, pakai fotovoltaik hingga sekian juta megawatt dan sebagainya, dia lupa bahwa itu kita impor semua. Lalu, apa bagiannya untuk negara ini? Apakah kita mau menggunakan sesuatu itu yang makmur itu negara luar, sementara negara sendiri tidak kebagian. Hal ini yang saya ajak para pengusaha berpikir jernih, bagaimana nilai tambah atas teknologi apa pun yang kita gunakan, itu nilai tambahnya masuk kepada bangsa kita kemakmurannya. 

 Badan Riset dan Inovasi (BRIN), boleh tahu kondisi pendanaannya? 

Ini kan lembaga yang baru, jadi Presiden Jokowi itu mungkin, gerah juga, karena banyak sekali kementerian dan lembaga yang punya pusat penelitian, dan uang kita itu dibagi-bagi, tidak bisa terpusat. Makanya itu semua dijadikan satu di BRIN, bahkan ada lembaga seperti LAPAN, BATAN, semuanya yang dulu menjadi pusat penelitian LIPI dijadikan satu menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Harapannya sederhana, uang bisa terkonsentrasi di satu kelembagaan. Tapi ini harus punya manajemen yang kuat, dan kita di masa transisi ini memang berat. Karena banyak sekali membuat orang-orang di zona nyaman sedikit terganggu. Kalau dulu, ‘kamu pokoknya dijatah saja mendapatkan uang, penelitiannya seperti apa pun nanti belakangan.‘ Kalau sekarang, Anda tidak membuat proposal yang bagus untuk minta pendanaan, kita tidak akan memberikan uang. Jadi, membuat orang sebagai peneliti harus kreatif, harus memunculkan suatu inovasi. Sehingga, betul-betul memberikan manfaat. Kalau uang dari mana, kita kebetulan mendapatkan sekitar Rp6 triliun dari tahun anggarannya. Tetapi diharapkan, dari kerja sama dengan lembaga luar, itu potensi untuk membiayai penelitian gabungan itu besar sekali, ini masuk kepada negara, bukan kepada pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. 

Sudah ada inovasi yang sekarang sudah diusulkan di BRIN termasuk soal energi terbarukan? 

Sebetulnya, kalau kita melihat ke dalam, lebih banyak, contohnya vaksin kita sudah mulai punya. Kemudian hal-hal lain yang membuat saya menarik akan tetapi masih dalam proses, misalnya di bidang energi, saya melihat dengan jelas apa yang disebut dengan energi panas bumi mikro. Dulu sempat itu diteliti, tapi kelanjutannya seperti apa? Sekarang ini, orang semangat lagi, karena ada tempat Anda untuk meneliti, tempat Anda untuk berinovasi. Di sini waktunya para peneliti dan inovator kerja sama, baik dengan Pemerintah, dengan perguruan tinggi, maupun dengan Swasta. Sehingga, nanti iklim riset di Indonesia itu seperti yang diharapkan oleh Presiden dan seluruh rakyat Indonesia, memberikan hasil yang konkret, ujungnya bagi saya adalah menyejahterakan rakyat Indonesia.