1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

"Saya Tidak Berhenti Kerja, Saya Hanya Quiet Quitting"

15 September 2022

Tidak hanya dijumpai di angkatan kerja baru yang terbentuk karena pandemi, mereka yang sudah kerja bertahun-tahun dan ada di zona nyaman juga cenderung lakukan quiet quitting.

https://p.dw.com/p/4GqBL
Ilustrasi pekerja mengalami burnout di kantor
Ilustrasi pekerja mengalami burnout Foto: Monkey Business 2/Shotshop/imago images

Pekerjaan menyenangkan, santai, pulang tepat waktu, dan bayaran fantastis hampir pasti jadi impian banyak orang. Sayangnya, dunia kerja tidak selalu seideal itu. Kadang ada bos galak, banyak permintaan, kerja lembur, tidak dihargai, sampai gaji dicicil. Kondisi ini tentunya membuat banyak pekerja akhirnya ogah untuk kerja lebih keras.

Jika biasanya pekerja yang tidak betah memutuskan berhenti dari kantor dan mencari pekerjaan baru, kini trennya berbeda. Alih-alih berani langsung mengajukan surat pengunduran diri, banyak pekerja yang memutuskan bekerja secukupnya saja.

Gabby salah satunya. Karyawati honorer di salah satu kantor pemerintahan ini sudah beberapa bulan terakhir memutuskan untuk quiet quitting. Gabby jengah karena meski sudah melaksanakan tugas dan kewajiban, ia merasa hak-haknya, termasuk gaji, tidak dipenuhi tepat waktu oleh kantornya.

"Di tahun ini saja, saat ditanya kapan gajian, pasti dibilang belum pasti tanggalnya. Bahkan saat gajian bulan lalu, kami sempat dibilang tak tahu terima kasih, artinya semacam masih untung gajian," kata perempuan yang meminta untuk tidak disebutkan lama lengkapnya ini.

Apa itu quiet quitting?

Tren kerja secukupnya atau 'sesuai argo' ini di kalangan para pekerja muda dikenal sebagai quiet quitting. Artinya, pekerja tidak benar-benar resign atau berhenti bekerja dari kantor, tapi mereka diam-diam berhenti mencurahkan kemampuan ekstra dalam bekerja.

Ya, kerja seadanya saja.

"Quiet quitting lagi tren sekarang. Ini sebenarnya lebih ke konsep kerja secukupnya saja untuk keseimbangan hidup dan kesehatan mental," kata Bunga Lmtyaz, penasihat karir di Reeracoen Indonesia, salah satu perusahaan headhunter di Jakarta kepada DW Indonesia.

Bunga menambahkan bahwa pandemi COVID-19 jadi salah satu penyebab pekerja melakukan quiet quitting. Pandemi membalikkan budaya kerja dari workaholic menjadi lebih memikirkan keseimbangan. Lebih banyak orang punya waktu untuk memikirkan dan mempertanyakan karier mereka dan mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Beberapa tanda quiet quitting antara lain tidak menghadiri rapat, meninggalkan kantor lebih awal, mengurangi produktivitas, dan kurangnya gairah atau antusiasme saat bekerja. Pulang kerja tepat waktu juga disebut-sebut sebagai salah satu cirinya.

Jika semuanya dilakukan demi kesehatan mental dan work-life balance, bukankah ini berarti hal yang baik? Tergantung.

"Quiet quitting dapat membawa dampak positif dan negatif. Positifnya adalah bisa menjaga keseimbangan hidup, personal, interaksi dengan orang lainnya. Kepedulian terhadap kesehatan mental lebih tinggi, tidak ada overlapping kerja," ujar Bunga Lmtyaz.

"Namun ada negatifnya adalah bagi beberapa karyawan yang time management-nya belum baik, hasil pekerjaannya juga akan terpengaruh. Jika output seadanya, maka jadi posisinya di bawah ekspektasi kantor." 

Melawan budaya kerja eksploitatif

Tidak hanya dilakukan oleh generasi muda demi kesehatan mental, ada generasi yang sudah bekerja bertahun-tahun juga menjadi pelaku quiet quitting. Orang yang sudah bekerja lebih lama mungkin mengenal istilah tenggo, atau ketika jam pulang berbunyi "teng" mereka langsung go alias meninggalkan kantor.

"Bukan cuma (dilakukan oleh) generasi baru yang terbentuk karena pandemi, tapi juga orang yang sudah bertahun-tahun dan ada di zona nyaman," kata Bunga. "Sebenarnya ini bukan baru saja terjadi. Tapi sekarang lebih ke konsep perlawanan kerja yang hustle culture, eksploitatif, dan kurang apresiasi dari atasan."

Mengutip laman Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa seseorang hanya bisa mencapai kesuksesan jika mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya sehingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Keadaan inilah yang tidak lagi dijadikan tujuan hidup oleh tenaga kerja yang lebih muda.

Harapan pemberi kerja

Namun, Lolo Sianipar yang memiliki sebuah kantor agensi public relation tidak sepenuhnya setuju dengan tren yang mengatasnamakan kesehatan mental dan keseimbangan hidup ini. Menurutnya, quiet quitting terjadi lantaran mentalitas karyawan tertentu.

"Semua orang bekerja keras untuk mendapatkan posisi dan gaji. Kerja keras itu harga yang harus dibayar untuk semuanya. Orang sukses di dunia juga dulunya bekerja keras dari bawah, enggak ada yang quiet quitting atau take for granted atas pekerjaannya. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kesuksesan," ucapnya kepada DW Indonesia.

Bertahun-tahun menjalankan perusahaannya sendiri, dia juga menyadari adanya fenomena ini, terlihat dari tak adanya semangat kerja atau keinginan memberikan lebih kepada hal-hal yang dikerjakan. 

"Sebenarnya perusahaan juga tidak menuntut melakukan hal-hal di luar job desk-nya, tapi melakukan tugas mereka dengan maksimal, bukan seadanya," ujar Lolo Sianipar.

"Lagi pula, ketika pertama kali melamar pekerjaan 'kan sudah tahu risiko pekerjaannya apa, terutama untuk yang kerja di dunia industri kreatif. Beberapa kali lembur itu biasa kalau ada event, sisanya ya hari santai."

Hal senada juga diungkapkan Bunga. Menurutnya, memang tidak ada masalah dengan pulang on time dan bekerja sesuai job desk, hanya saja yang harus diingat bahwa perusahaan juga memiliki ekspektasi sendiri dari karyawan.

Apresiasi, alih-alih eksploitasi

Vincent Yoga, seorang karyawan industri kreatif mengungkapkan bahwa faktor pekerjaan tanpa apresiasi, alias tak dihargai, jadi faktor utamanya melakukan quiet quitting di kantor lama. Namun saat ini Vincent mengaku sudah menemukan semangat di kantor barunya.

"Aku kerja mulai 2015, sampai akhirnya menyerah tahun 2021, di tengah pandemi. Kerjaan makin banyak dari bos yang seenaknya sendiri, jam kerja makin tidak teratur, tapi gaji dipotong, jadi rasanya tidak diapresiasi bahkan sampai burnout," ungkapnya kepada DW Indonesia.

Vincent menyebut bahwa bosnya juga merasakan penurunan semangat kerjanya dalam beberapa bulan terakhir selama bekerja di sana. Memang, Vincent mengakui kinerjanya di sana menurun cukup drastis.

Sementara Gabby yang pegawai honorer sebuah instansi pemerintah mengungkapkan lelah dengan drama pembayaran gaji. Menurutnya, meski gaji dibayar setiap bulan, tapi tanggalnya tidak tentu. Bahkan dia dan teman-teman harus terus 'merongrong' kantor untuk membayarkan gaji. Beberapa rekannya juga dipotong gajinya tanpa sebab dan pemberitahuan.

Beberapa kali mereka protes dan melapor kepada atasan, namun setiap bulannya hal itu masih saja terjadi. Padahal, Gabby mengklaim sebelumnya selalu menjalankan tugas yang diberikan, bahkan seringkali merelakan waktu liburnya dan pulang kantor demi melakukan tugas yang diberikan padanya. Beberapa kali bahkan sering kali melakukan hal-hal yang bukan tugasnya, namun masih berkaitan dengan pekerjaannya.

"Capek hati, kesal sendiri. Mau marah tapi sama siapa? Ya sudahlah, kerja seperlunya aja," ujar Gabby kepada DW Indonesia. (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.