1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJepang

Obligasi Iklim Bantu Danai Transformasi Hijau di Jepang

21 Februari 2024

Jepang menjadi negara pertama yang menerbitkan obligasi iklim demi membiayai transisi hijau dan dekarbonisasi ekonomi. Namun lemahnya standardisasi berkelanjutan mencuatkan kekhawatiran soal praktik green-washing.

https://p.dw.com/p/4ccjX
Kantor pusat Bank of Japan
Kantor pusat Bank of JapanFoto: Reuters

Pekan lalu, pemerintah Jepang menerbitkan obligasi iklim bertenor 10 tahun dengan total nilai 800 miliar Yen, atau sekitar USD 5,3 miliar, dengan edisi selanjutnya bakal dilepas akhir bulan ini. Semua itu cuma awal. Pemerintah di Tokyo berambisi menjual obligasi senilai 20 triliun Yen untuk membiayai transisi berkelanjutan di dalam negeri.

Jepang menjadi negara pertama yang menanam cadangan devisa dalam bentuk obligasi berkriteria baik menurut prinsip Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola, ESG. Dana yang terhimpun akan datang dari investor swasta dan digunakan untuk mempercepat dekarbonisasi ekonomi. Dengan cara ini, anggaran negara tidak terlampau terbebani.

Sebagian dana akan mengalir ke proyek pembangunan pembangkit tenaga angin, teknologi daur ulang karbon dan bahan bakar hijau untuk pesawat terbang. Namun fokus utama akan diarahkan kepada pengembangan baterai dan mikrochip termutakhir, serta dalam jangka panjang didesain untuk mengurangi emisi.

Jelang penerbitan pertama, direktur Asosiasi Pedagang Sekuritas Jepang, Toshio Morita, menegaskan betapa "keunggulan teknologi" bisa memperkuat daya saing Jepang di sektor berkelanjutan.

"Transformasi hijau, yang diniatkan untuk menggeser pondasi masyarakat dan industri dari yang saat ini berbasis bahan bakar fosil menjadi energi bersih, adalah landasan utama dalam transformasi kebijakan industri dan energi, serta memperkuat daya saing nasional dan korporasi," kata dia.

Solusi Pembangkit Nuklir yang Aman

Harapan melampaui realita?

Obligasi tersebut merupakan bagian penting dalam rencana Perdana Menteri Fumio Kishida membiayai dekarbonisasi industri dan masyarakat. Hingga akhir dekade ini, Jepang berharap bisa memangkas emisi gas rumah kacanya sebanyak separuh dari level tahun 2013. Pada tahun 2050, Jepang berambisi sudah mencapai level emisi nol. Tapi rencana tersebut menyaratkan nilai investasi iklim sebesar 150 triliun Yen hingga tahun 2030.

Sejauh ini, pasar keuangan merespon baik penerbitan obligasi iklim di Tokyo. Salah satu asuransi kesehatan terbesar Jepang, Dai-Ichi Life, mengumumkan akan membeli obligasi iklim, untuk "mendorong transisi masyarakat Jepang menuju struktur pertumbuhan ekonomi niremisi."

Perusahaan lain lebih berhati-hati, seperti yang ditunjukkan Nikko Asset Management Co. yang belum membeli karena dianggap "masih merupakan instrumen yang baru," dan membutuhkan waktu "bagi pakar kami untuk menganalisanya sebelum bisa memberikan jawaban," tulis manajemen kepada DW.

Kewaspadaan tidak hanya terbatas di satu perusahaan. Permintaan pasar selama penjualan pertama pekan lalu, misalnya, tercatat berada di bawah harapan. "Saya katakan, harapan jelang lelang terlalu tinggi," menurut Keisuke Tsuruta dari lembaga sekuritas UFJ Morgan Stanley kepada Reuters.

Standardisasi yang lebih jelas

Jepang kesulitan menepati komitmen iklimnya karena ketidakstabilan perekonomian dan penyusutan populasi. Sejak bencana nuklir Fukushima 2011, Jepang mengurangi konsumsi nuklir dan sebaliknya mengimpor 90 persen kebutuhan energi nasional.

Potensi Energi Skala Besar dari Menara Angin

Martin Schulz, ekonom kepala di Fujitsu Global Market Intelligence Unit, mengatakan kepada DW betapa anggaran negara "sudah terlalu melar" untuk bisa membiayai transisi hijau.

"Obligasi ini sudah direncanakan sejak lama dan didesain untuk membiayai pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur, tapi juga mengeluarkan beban biayanya dari anggaran pemerintah," kata dia.

"Bagian sulitnya adalah untuk mengidentifikasi apakah dana ini benar-benar digunakan untuk peoyek hijau atau berkelanjutan," imbuhnya. "Saat ini pengawasannya masih cendrung sulit dan sebabnya banyak menciptakan tuduhan 'green-washing'."

Tauladan bagi negara lain

Meski dibayangi keraguan, penerbitan obligasi iklim oleh Jepang disambut lembaga swadaya Inisiatif Obligasi Iklim, CBI, di London, Inggris, yang menilainya sebagai "tauladan yang bisa ditiru secara global."

CBI terutama mendukung komitmen Jepang untuk menganggarkan 55 persen keuntungan demi riset dan pengembangan inisiatif untuk membatasi pemanasan global. Komitmen itu mencakup teknologi energi terbarukan seperti bahan bakar hidrogen untuk industri logam.

"Korporasi, kota-kota dan negara harus mengimplementasikan rencana transisi sesuai target pengurangan emisi global," kata direktur CBI, Sean Kídney. "Obligasi ini menunjukkan dengan jelas bagaimana pemerintah bisa mencari pendanaan untuk membiayai transisi. Penerbitan ini menandai pencapaian yang siginifikan dalam transisi keuangan."

Pada 27 Februari mendatang, pemerintah Jepang akan kembali menerbitkan obligasi iklim senilai 800 miliar Yen dengan masa tenor yang lebih pendek, yakni lima tahun. Pada tahun fiskal berikutnya yang dimulai 1 April nanti, pemerintah sudah merencanakan penerbitan obligasi lain senilai 1,4 triliun Yen.

rzn/hp

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.