1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiUkraina

SIPRI: Perang Ukraina Bukan Kabar Baik bagi Industri Senjata

Richard Connor
5 Desember 2022

Perang di Ukraina telah meningkatkan permintaan senjata. Namun, laporan terbaru dari SIPRI menyebut bahwa konflik tersebut juga bisa menghambat produksi senjata. Mengapa?

https://p.dw.com/p/4KT2h
Foto: Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi - HIMARS
Foto: Tony Overman/AP/picture alliance

Laporan terbaru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mengungkap bahwa 100 produsen senjata top dunia terus meningkatkan penjualannya pada tahun 2021. Namun, pertumbuhan di sektor tersebut mengalami perlambatan karena masalah rantai pasokan.

Menurut laporan yang diterbitkan pada Senin (05/12) itu, pandemi COVID-19 berperan menghambat pertumbuhan menjadi 1,9% pada tahun 2021 dibandingkan 2020.

SIPRI juga memprediksi bahwa perang di Ukraina akan menyebabkan masalah serupa bagi industri dalam jangka pendek hingga menengah.

Bahan baku sulit didapatkan

Laporan tersebut menyebut bahwa meskipun invasi Rusia atas Ukraina dan respons negara-negara Barat telah meningkatkan permintaan senjata, mereka juga membuat produsen senjata kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.

Menurut SIPRI, Rusia adalah pemasok utama bahan baku yang digunakan dalam produksi senjata.

"Hal ini dapat menghambat upaya Amerika Serikat dan Eropa dalam memperkuat angkatan bersenjata mereka dan untuk mengisi kembali persediaan senjata mereka setelah mengirimkan amunisi dan peralatan lain senilai miliaran dolar ke Ukraina,” kata laporan itu.

Di sisi lain, perusahaan Rusia yang meningkatkan produksinya karena perang, juga mengalami kesulitan mengakses semikonduktor, catat laporan SIPRI. Perusahaan dilaporkan telah terkena dampak sanksi terkait perang, misalnya dalam hal pembayaran.

"Untuk meningkatkan output butuh waktu,” kata Diego Lopes da Silva, peneliti senior SIPRI.

"Jika disrupsi rantai pasokan ini berlanjut, beberapa produsen senjata utama mungkin akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memenuhi permintaan senjata baru akibat perang Ukraina,” tambahnya.

Industri senjata di 2021

Fokus utama laporan terbaru SIPRI sejatinya terletak pada pola industri pada tahun 2021. Mereka menemukan bahwa masalah rantai pasokan akibat pandemi tampaknya telah memperlambat pertumbuhan.

"Kalau masalah rantai pasokan yang terus-menerus ini tidak ada, kita mungkin akan melihat pertumbuhan penjualan senjata yang lebih besar pada tahun 2021,” kata Lucie Beraud-Sudreau, Direktur Program Belanja Militer dan Produksi Senjata SIPRI.

"Perusahaan senjata besar dan kecil mengaku bahwa penjualan mereka terpengaruh sepanjang tahun. Beberapa perusahaan, seperti Airbus dan General Dynamics juga melaporkan kelangkaan tenaga kerja,” tambahnya.

Berikut potret industri senjata dunia yang dilaporkan SIPRI.

Amerika Utara

Amerika Serikat mendominasi daftar top 100 pemasok senjata di dunia, dengan 40 perusahaan senjata berbasis di sana. Nilai penjualan mereka juga lebih dari separuh penjualan global, yaitu $299 miliar dari total global $592 miliar. Sejak tahun 2018, lima perusahaan teratas dalam daftar top 100 berbasis di Amerika Serikat.

Amerika Utara jadi satu-satunya kawasan yang mengalami penurunan penjualan senjata jika dibandingkan pada tahun 2020. Penurunan real-terms sebesar 0.8% itu sebagian disebabkan oleh tingginya inflasi AS selama tahun 2021.

Eropa

Di tahun 2021, 27 dari 100 pemasok senjata top dunia berkantor pusat di Eropa. Kawasan ini mengalami peningkatan penjualan senjata sebesar 4,2% dibandingkan tahun 2020, dengan total nilai penjualan $123 miliar.

Periode tersebut jadi tahun yang menguntungkan bagi pembuat kapal, tapi tidak bagi pabrik pesawat, kata SIPRI.

"Sebagian besar perusahaan Eropa yang memiliki spesialisasi dalam kedirgantaraan militer melaporkan kerugian pada tahun 2021. Mereka menyalahkan adanya diruspi rantai pasokan,” kata Lorenzo Scarazzato, seorang peneliti dari SIPRI.

"Tapi pembuat kapal Eropa tampaknya tidak terlalu terpengaruh oleh dampak pandemi. Mereka mampu meningkatkan penjualan di tahun 2021,” tambahnya.

Rheinmetall (peringkat ke-31) tetap menjadi perusahaan senjata terbesar di Jerman, dengan nilai penjualan senjata sebesar $4,5 miliar. Namun, penjualan senjata perusahaan tersebut turun sebesar 1,7% di 2021 akibat pandemi dan disrupsi rantai pasokan.

Asia

Nilai penjualan senjata dari 21 perusahaan di Asia dan Oseania yang termasuk dalam top 100 mencapai $136 miliar pada tahun 2021. Angka ini meningkat 5,8% dibandingkan tahun 2020.

Delapan perusahaan senjata Cina dalam daftar tersebut memiliki total penjualan senjata sebesar $109 miliar, meningkat sebesar 6,3%. Termasuk di dalamnya CSSC Cina, yang kini menjadi pembuat kapal militer terbesar di dunia, dengan nilai penjualan senjata sebesar $11,1 miliar.

Penjualan senjata dari empat perusahaan Korea Selatan dalam daftar top 100 tumbuh sebesar 3,6% dibandingkan tahun 2020, yaitu $7,2 miliar. Termasuk di dalamnya konglomerat lintas sektor Hanwha, yang mengalami kenaikan penjualan sebesar 7,6%. Perusahan ini diperkirakan akan melihat peningkatan penjualan lebih lanjut setelah munculnya kesepakatan senjata besar dengan Polandia akibat invasi Rusia ke Ukraina.

Tahun ini juga menjadi yang pertama bagi satu perusahaan Taiwan, NCSIST, yang punya spesialisasi dalam rudal dan elektronik militer, masuk dalam daftar top 100, dengan penjualan senjata sebesar $2 miliar.

Rusia dan Timur Tengah

Enam perusahaan Rusia termasuk dalam daftar top 100 di tahun 2021 dengan nilai penjualan mencapai $17,8 miliar. Angka ini meningkat 0,4% dari tahun 2020. SIPRI mencatat pada periode menjelang invasi Rusia ke Ukraina, ada tanda-tanda stagnasi meluas di seluruh industri senjata Rusia.

Sementara lima perusahaan yang berbasis di Timur Tengah menghasilkan $15 miliar penjualan senjata tahun 2021. Angka ini meningkat 6,5% dibandingkan tahun 2020, dan merupakan laju pertumbuhan tercepat dari semua kawasan dalam daftar top 100.

(gtp/ha)