1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Singing Bowl Treatment: Mencari Santai Lewat Terapi Bunyi

20 Juni 2023

Bersantai lewat terapi bunyi atau sound healing tengah naik daun. Seperti apa rasanya dan bagaimana pengaruhnya bagi frekuensi gelombang otak?

https://p.dw.com/p/4Sm4Y
Komang Abdi Santosa, sound healer dari Bali
Komang Abdi Santosa, sound healer dari BaliFoto: C.Andhika/DW

Apa yang kamu lakukan saat tekanan pekerjaan sedang terasa berat dan pikiran lagi kacau-kacaunya? Healing, istilah keren yang jadi tren belakangan ini pun kerap jadi solusi. Healing atau 'penyembuhan' bisa dicapai dengan berbagai hal, misalnya liburan, memberi waktu untuk diri sendiri, sampai berbagai terapi. Salah satu terapi yang saat ini tengah populer yakni terapi lewat bunyi, atau sound healing.

Sound healing populer lantaran dianggap sebagai cara healing yang mudah dan tak berat dibanding meditasi dan lainnya. Dengan cara yang terbilang sederhana, orang hanya perlu berbaring santai dan berbagai bunyi-bunyian dimainkan. Sisanya, tinggal menikmati sensasi yang terasa.

Annisa Laksmi adalah salah satu orang yang tertarik pada terapi ini.

"Sound healing, aku sudah pernah dengar sekitar 1-2 tahun yang lalu karena memang sempat hype banget," katanya kepada DW Indonesia. Annisa yang baru pertama kali mencoba sound healing pun merasakan hal yang tak diduga, seperti mengawang. "Sampai aku gerakin badan untuk meyakinkan aku masih ada di sini, masih nyata di sini."

Sementara Vanessa Masli justru tak merasa nyaman dengan terapi ini. Vanessa pun lebih memilih cara meditasi lainnya. "Waktu sound healing justru berasanya tidak nyaman, seperti ada yang di-release gitu jadi seluruh badan itu gelisah, kesemutan," ucapnya kepada DW Indonesia.

"Jujur aku tidak mau coba lagi, karena sepertinya aku lebih nyaman kalau breathework atau meditasi biasa saja, mungkin pakai musik tapi tidak pakai singing bowl."

Apa itu sound healing?

Komang Abdi Santosa, sound healer dari Bali, mengungkapkan bahwa sebenarnya sound healing merupakan salah satu 'cabang' dari yoga. "Sound healing itu masuk dari meditasi atau Dhyana," ucap pria yang dikenal sebagai the Balinese Healer ini.

Pria yang sudah lebih dari 10 tahun menekuni sound healing ini mengungkapkan ada beragam alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi yang diklaim punya khasiat tertentu. "Selain singing bowl, ada gong, crystal bowl, suling, flute. Tidak cuma satu alat, alat musik dengan nada-nada tertentu bisa jadi sound healing. Tapi kalau saya belajarnya lebih ke tibetian singing bowl." 

Ilustrasi peralatan terapi sound healing
Beragam peralatan yang dipakai Komang Abdi dari Bali dalam melakukan terapi bunyi.Foto: Komang Abdi

Abdi, nama panggilan akrabnya, menyebut bahwa sound healing memanfaatkan bebunyian dalam frekuensi tertentu untuk membantu menyeimbangkan energi dalam tubuh. Menurutnya, terapi ini berpengaruh pada psikologis, neurologis, tetapi tak langsung terasa pada perubahan fisik. Cara ini, disebutnya, juga termasuk sebagai bagian dari terapi musik.

"Teorinya, sound healing ini bisa mempengaruhi gelombang otak. Bisa mempengaruhi alfa, sampai tetha. Ini berfungsinya untuk menenangkan gelombang otak tenang, maka aktivitas energi itu mengalir baik dan ketengangan jiwa terpenuhi. Tujuannya adalah ketenangan pikiran. Sound healing ini mempengaruhi energi. Keseimbangan energi bekerja dalam lini subtle energi bukan dalam fisik."

Abdi menyebut bahwa pengaruh frekuensi yang berbeda yang bekerja dalam otak ini akan menyebabkan efek yang berbeda pula. Meskipun terapi sound healing dilakukan dalam grup, setiap orang akan merasakan efek yang berbeda pula.

Beragam gelombang otak, apa saja?

Mengutip penelitian The Impact of Music on the Bioelectrical Oscillations of the Brain yang dimuat dalam Jurnal Acta Medica pada 2018 mengungkapkan bahwa berdasarkan frekuensinya, gelombang dapat dikategorikan sebagai delta (1-4 Hz), theta (4-8 Hz), alfa (8-13 Hz) (yang terkadang dibagi menjadi alfa 1 (8-10 Hz) dan alfa 2 (11-13 Hz)) dan beta (lebih dari 13 Hz). Kategori lain dari frekuensi sangat tinggi (30-40 Hz) disebut sebagai gelombang gamma.

Gelombang otak delta dominan selama tidur nyenyak, koma, dan anestesi. Gelombang theta biasanya diamati dalam keadaan mengantuk dan keadaan kewaspadaan tingkat rendah alias deep relaxation. Gelombang alfa biasanya dominan dalam keadaan bangun-istirahat, baik santai, nyaman, tenang, relax. 

Ritme beta biasanya dikaitkan dengan integritas kortikal, peningkatan kewaspadaan, dan proses kognitif. Gelombang beta terutama terjadi selama keadaan terjaga, dan peningkatan kekuatan beta dapat disebabkan oleh stres, emosi yang kuat, dan ketegangan.

Psikolog Nisfie Hoesein mengungkapkan bahwa keduanya memang ada hubungannya satu sama lain.

"Kebanyakan orang saat ini memakai gelombang beta di otaknya. Gelombang beta itu adalah gelombang otak untuk bekerja, berpikir, fokus, kritis. Tanpa disadari karena terus-menerus memakai gelombang ini, orang jadi kurang berkomunikasi dengan dirinya. Mereka lebih banyak berkomunikasi dengan otaknya. Hasilnya, jadi lebih capek, depresi, insecure, sampai burnout, ini bisa terasa lho sampai ke fisiknya," katanya saat dihubungi DW Indonesia. 

"Kalau sudah begini, otak itu butuh istirahat. Gelombang otaknya harus diturunkan sampai ke alfa. Dengan gelombang otak alfa, orang jadi lebih tenang, relax."

Menurutnya, untuk menurunkan gelombang otak dari beta ke alfa bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satunya sound healing.

"Sound itu erat kaitannya dengan frekuensi. Semua benda di muka bumi punya frekuensi, makin selaras frekuensi itu dengan kita maka hidup kita akan baik-baik saja. Yang penting semua orang itu perlu menyadari apa yang tubuh suarakan, karena kuncinya adalah keseimbangan antara jiwa dan raga, yang lainnya hanya sarananya saja."

Diklaim turunkan ketegangan dan perbaiki suasana hati

Berdasarkan penelitian tentang Effects of Singing Bowl Sound Meditation on Mood, Tension, and Well-being: An Observational Study dan dimuat dalam Jurnal of Evidence Based Complementary and Alternative, para penulis melaporkan dari 62 responden rerata usia 49,7 tahun dan melakukan meditasi singing bowl ternyata melaporkan penurunan ketegangan yang ditinjau dari frekuensi otak. Peserta yang mengikuti meditasi suara melaporkan secara signifikan lebih sedikit ketegangan, kemarahan, kelelahan, dan suasana hati tertekan.

Peneliti mengaitkan pelemahan aktivitas pita beta di lobulus parietal inferior kanan dengan keadaan tidak mementingkan diri sendiri. Efek psikologis positif yang dilaporkan sejalan dengan temuan lain dalam literatur. Misalnya, Goldsby et al. melaporkan lebih sedikit ketegangan, kemarahan, kelelahan, dan suasana hati tertekan setelah meditasi dengan singing bowl khas Tibet pada peserta yang sehat, dan perasaan kesejahteraan spiritual secara signifikan lebih tinggi. 

Peneliti juga menyebut bahwa mendengarkan suara singing bowl terbukti menjadi strategi yang berguna untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang menunggu operasi urologi dalam penelitian ini.

Dalam studi lanjutan Sound Healing: Mood, Emotional, and Spiritual Well-Being Interrelationships dalam jurnal Religions yang sudah melalui tahap penelaahan sejawat atau peer reviewed, disebutkan bahwa penggunaan tibetian singing bowl (atau Himalaya) berkaitan dengan penurunan tekanan darah dan detak jantung, serta penurunan pengaruh negatif. Bahkan tibetian singing bowl terus dieksplorasi sebagai bentuk potensial pengobatan integratif.

Hal ini juga diungkapkan oleh psikolog klinis dan co-founder Ohana Space, Veronica Adesla, bahwa sound healing atau terapi musik digunakan sebagai metode pendukung untuk meningkatkan kesehatan.

"Artinya, kalau dilakukan dengan maksud untuk menyembuhkan fisik yang sakit karena penyakit ya tidak bisa. Metode ini dilakukan sebagai support atau pendukung treatment lainnya," ucapnya kepada DW Indonesia.

Psikolog klinis, Veronica Adesla.
Psikolog klinis, Veronica Adesla.Foto: privat

Dikenal sejak ratusan tahun lalu

Perempuan yang disapa Vero ini juga menambahkan bahwa sound healing ini sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan sudah banyak yang penelitian yang dilakukan terkait dengan hubungan sound healing, musik, dan psikologis seseorang. Dan hal ini, katanya, bukanlah pseudoscience, lantaran manfaat sound healing sebagai bagian dari terapi music ini sudah banyak diteliti.

"Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, manusia terhubung dengan musik dengan bunyi-bunyian, tapi apakah itu terapi? Belum tentu. Butuh panduan dari yang lebih ahli biar efeknya bisa sesuai dengan apa yang dibutuhkan tubuh, jadi tidak sembarangan. Seperti singing bowl, sang terapis akan membunyikan singing bowl, lonceng, gong, atau alat lainnya di frekuensi tertentu sesuai yang dibutuhkan oleh pasiennya."

Setuju dengan Vero, psikolog klinis Dr. Monty P. Setiadarma, juga mengungkapkan hal sama. Sound healing, menurutnya, memang dilandasi getaran bunyi konstan yang menghasilkan dampak hipnotik, seperti senandung ibu ketika menina-bobokan anaknya. "Dan ini menghasilkan dampak membuai," ujarnya kepada DW Indonesia.

Contoh bunyi lainnya yang memiliki dampak serupa, kata Monty, adalah tetesan air pada dulang yang bersifat konstan. Hal ini menggambarkan bahwa suatu bunyi konstan akan menghasilkan vibrasi konstan dalam cairan tubuh dan akan menstabilkan fungsi kimiawi tubuh.

"Dalam kajian terdahulu, salah satunya misalnya yang dilakukan oleh Alfred Tomatis yang juga pakar THT, ia mendapati konsep uterine sound (suara kandungan) yaitu anak akan menjadi lebih tenang jika ia mendengar suara kandungan ibu, karena ketika masih sebagai janin ia merasa terlindungi berada dalam kandungan. Oleh karenanya, manakala ia sudah di luar kandungan dan mengalami rasa kurang nyaman lalu diperdengarkan suara kandungan, ia kembali mengasosiasikan pengalamannya dengan kondisi nyaman di dalam kandungan." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.