1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikJepang

Bagaimana Jepang Hadapi Sejarah Kelam Perang Dunia II

17 Agustus 2023

Seiring dengan peringatan 78 tahun menyerahnya Jepang pada Perang Dunia ke-II, negara ini dipaksa untuk menyelesaikan konflik sejarah kekejaman di masa perang, dengan mengenang para prajurit yang telah gugur.

https://p.dw.com/p/4VEF7
Peringatan menyerahnya Jepang saat Perang Dunia II
Pengunjung yang mengenakan seragam militer Jepang dari Perang Dunia II datang ke Kuil YasukuniFoto: Eugene Hoshiko/AP/picture alliance

Setiap tahunnya dalam beberapa kali, Ken Kato sering mengunjungi Kuil Yasukuni di pusat kota Tokyo hanya untuk sekadar "menyapa", seperti yang dia jelaskan, kepada kakeknya. Pada hari Selasa (15/08), peringatan ke-78 tahun saat Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia ke-II, Kato memberikan penghormatan untuk kakeknya itu.

Yasukuni merupakan salah satu kuil Shinto yang cukup luas, berada di samping Istana Kekaisaran di jantung ibu kota Jepang. Kuil tersebut didirikan pada tahun 1869, di mana terdapat sebuah tugu peringatan yang didedikasikan untuk sekitar 2,5 juta pria, perempuan, dan anak-anak yang telah gugur dalam perang Jepang.

Di antara warga Jepang yang dikenang di tempat itu adalah para pemimpin Perang Dunia ke-II yang dihukum atas tuduhan kejahatan perang.

Kuil Yasukuni juga dipandang sebagai simbol sejarah agresi militer Jepang, yang mana Tokyo sering sekali menghadapi desakan untuk meminta maaf. Kuil ini biasanya menarik setidaknya puluhan ribu orang pada hari peringatan menyerahnya Jepang pada tahun 1945.

Meskipun jumlah orang yang hadir pada upacara peringatan tahun ini lebih sedikit dari biasanya, akibat dampak badai tropis, upacara penghormatan ini tetap menarik perhatian para anggota keluarga, janda, dan para nasionalis yang mengenakan pakaian militer semu.

Peringatan menyerahnya Jepang saat Perang Dunia II
Pengunjung menerjang badai tropis untuk memberikan penghormatan di Kuil YasukuniFoto: Eugene Hoshiko/AP/picture alliance

Para veteran ikut memberikan penghormatan

Beberapa veteran tentara, yang di antaranya mengenakan seragam tentara kekaisaran Jepang pada saat Perang Dunia ke-II, juga terlihat ikut memberikan penghormatan kepada rekannya yang tidak pernah kembali dari medan perang.

Satu per satu, para veteran ini mendekati aula utama kuil, menundukkan kepala, dan menuturkan doa. Pengunjung lain yang juga terlihat menghadiri upacara penghormatan ini dengan mengenakan kostum seragam Jepang dari Perang Dunia ke-II.

Kakek Kato pernah bekerja sebagai penerjemah untuk militer Jepang selama perang, hingga akhirnya beliau terjangkit malaria di hutan Filipina pada tahun 1945. Dia kemudian diungsikan ke Singapura, dan meninggal dunia tak lama sebelum Jepang menyerah.

"Saya pergi ke sana secara berkala, untuk berdiri di depan fotonya dan memberikan doa," kata Kato kepada DW. "Penting bagi saya untuk pergi ke sana dan mengenangnya," tambahnya.

Peringatan menyerahnya Jepang saat Perang Dunia II
Pengunjung yang mengenakan kostum tentara Kekaisaran Jepang memasuki Kuil YasukuniFoto: Eugene Hoshiko/AP/picture alliance

Korban perang Jepang meluapkan kemarahannya

Kato, seorang pengusaha konservatif yang tinggal di Tokyo, tidak terkejut ketika Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada tahun ini kembali menolak untuk menghadiri upacara peringatan di Kuil Yasukuni tersebut.

Kishida justru menghadiri upacara penghormatan di Budokan Hall di Tokyo, untuk menandai hari peringatan tersebut.

"Di bawah panji kontribusi proaktif terhadap perdamaian, Jepang bertekad untuk bergabung dengan komunitas internasional dan melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi dunia," kata Kishida.

Jepang akan "berpegang teguh pada tekad kami untuk tidak akan pernah mengulangi tragedi perang tersebut," tambahnya.

Para perdana menteri di masa lalu juga sering mengunjungi kuil Yasukuni, biasanya untuk menghadiri festival musim semi dan musim gugur.

Hal tersebut telah memicu kecaman garis keras dari Cina, Korea Utara bahkan Korea Selatan, di mana banyak warganya harus menderita di bawah pemerintahan kolonial Jepang saat masa dekade awal abad lalu.

Kuil Yasukuni juga memperingati kematian 1.000 penjahat perang yang bertanggung jawab atas beberapa kekejaman paling mengerikan yang dilakukan di Pasifik, termasuk 14 penjahat perang "Kelas A" yang dihukum dan dieksekusi oleh Sekutu.

 

Rezim militer kekaisaran Jepang juga telah membunuh sedikitnya jutaan orang di seluruh wilayah Asia Pasifik selama Perang Dunia ke-II, di mana beberapa ahli berpendapat setidaknya tentara Jepang telah membunuh lebih dari 10 juta orang.

Kekejaman saat Perang Dunia ke-II oleh Jepang juga termasuk pada persoalan kasus pemerkosaan massal, perbudakan seksual, pembantaian dan kelaparan para tawanan perang, kanibalisme, eksperimen perang biologis, serta pembunuhan sejumlah warga sipil.

Tiongkok mengatakan bahwa pasukan Jepang telah membunuh 300.000 warga Tiongkok dalam Pembantaian Nanjing pada tahun 1937 (pengadilan Sekutu pascaperang menetapkan jumlah korban tewas sebanyak 142.000 orang). Namun, beberapa politisi dan cendekiawan konservatif Jepang menyangkal adanya aksi pembantaian tersebut.

Jepang kehilangan sekitar 2,5 sampai 3 juta nyawa, baik warga sipil maupun tentara, selama Perang Dunia ke-II berlangsung.

78 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II di Jepang, PM Fumio Kishida
Perdana Menteri Fumio Kishida justru mendatangi Budokan Hall di TokyoFoto: Tomohiro Ohsumi/Getty Images

Sejarah perang Jepang dirasa sensitif secara politik

Selama pidatonya, PM Kishida tidak membahas tentang agresi Jepang di Asia selama Perang Dunia ke-II.

Para kritikus melihat tidak adanya referensi tentang agresi Jepang di seluruh Asia pada paruh pertama tahun 1900-an, atau pun para korbannya, sebagai sebuah upaya untuk menutupi kebrutalan Jepang di masa perang.

Pada saat upacara di Aula Budokan, Kaisar Jepang Naruhito mengungkapkan "penyesalan mendalam" atas rasa sakit dan penderitaan para korban pada masa kekejaman perang.

"Dengan merefleksikan masa lalu kita dan mengingat perasaan penyesalan yang mendalam, saya sungguh-sungguh berharap bahwa dampak akibat perang ini tidak akan pernah terulang lagi," katanya.

Yoichi Shimada, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Prefektur Fukui, turut memberikan penghormatannya di sebuah kuil yang dekat dengan rumahnya di wilayah Jepang tengah pada hari Senin (14/08).

"Saya berharap bahwa Kishida mungkin tahun ini dapat pergi ke Yasukuni, tetapi bukan hal yang mengejutkan jika dia tidak ke sana," kata Shimada, seraya menambahkan bahwa, "sangat disayangkan bahwa tindakan seorang pemimpin yang memberikan penghormatan dengan cara seperti ini telah dipolitisasi oleh negara lain." (kp/yf)