1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

RUU soal Filter Kecantikan untuk Melindungi Kesehatan Mental

Thomas Latchan
23 Mei 2023

Mempercantik diri dengan filter foto dan video mungkin membuat penampilan menjadi sempurna, tetapi kebiasaan itu dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental. Beberapa pemerintah bahkan mulai melakukan intervensi.

https://p.dw.com/p/4ReV8
Tiga perempuan muda berpose bersama
Memamerkan kecantikan diri tanpa henti telah terbukti berdampak buruk pada kesehatan mental pengguna media sosialFoto: ingimage/IMAGO

Setiap orang memiliki jerawat, pori-pori besar, hingga kotoran pada kulit wajah. Sebuah hal yang normal di dunia. Namun tidak di media sosial, di mana hampir setiap influencer tampil dengan rambut sempurna, kulit mulus, dan gigi putih berkilau.

Kegemaran pada fitur filter sedang booming dan menjadi semakin canggih dalam beberapa tahun terakhir. Filter bisa memberikan koreksi kecil seperti kulit yang lebih halus dan alis yang lebih tebal hingga perubahan total pada struktur wajah seseorang.

Kecerdasan buatan untuk kecantikan buatan

Aplikasi FaceTune yang dikembangkan perusahaan asal Israel, Lightricks, telah diunduh lebih dari 200 juta kali. Aplikasi serupa seperti YouCam Makeup dari Taiwan dan BeautyPlus dari Singapura juga sudah mencapai lebih dari 100 juta unduhan.

Dua filter baru di media sosial TikTok menimbulkan kehebohan pada awal Maret lalu. Dengan bantuan kecerdasan buatan, filter "Teenage Look" membuat orang terlihat lebih muda dan filter "Bold Glamour" bisa mengubah wajah sesuai dengan standar kecantikan yang diidealkan — memberikan bibir tebal, mata yang lebih cerah, hidung yang lebih ramping, dan kulit yang sempurna.

Seorang perempuan mengedit foto di iPhone
Siapa pun dapat mengunduh aplikasi seperti FaceTune dan mengubah tampilannya dal foto dan videoFoto: NDR

"Daya tarik estetis ini pasti bermasalah untuk dilihat, karena banyak stereotip yang dipadatkan dalam filter," kata Katja Gunkel, seorang profesor studi budaya di Universitas Goethe di Frankfurt yang fokus dalam budaya digital dan estetika konsumen.

Teknologinya benar-benar baru, tambahnya. "Ada banyak filter yang sangat bermasalah yang tersedia untuk semua orang, tentu saja, ada juga tekanan besar untuk menyesuaikan diri dengan ini," katanya.

Depresi dan dismorfia

Fitur filter ini dapat menimbulkan konsekuensi psikologis yang serius bagi pengguna. Dua pertiga anak muda merasa tertekan oleh standar kecantikan di media sosial, menurut sebuah studi oleh British YMCA. Survei lain oleh organisasi pemuda Inggris, Girlguiding, melaporkan bahwa sekitar sepertiga dari semua gadis berusia antara 11 dan 21 tahun tidak lagi memposting foto diri mereka yang belum diedit.

"Ini permainan dengan setan," kata YouTuber Jerman, Silvi Carlsson, yang menentang filter kecantikan dalam videonya. "Begitu kami tampil di depan umum dengan filter, kami mendapat umpan balik positif dalam bentuk hati dan suka. Kami merasa diterima dan dopamin mengalir."

Namun, apa yang terjadi ketika orang kemudian pergi keluar rumah tanpa filter? Memperlihatkan jerawat, bintik pigmentasi, atau lingkaran hitam di bawah mata, tanyanya. "Kami dilatih media sosial untuk menghadirkan diri yang sempurna ke dunia luar," kata Carlsson. "Itu menghancurkan kita."

Kondisi medis ini memiliki namanya sendiri: Selfie atau Snapchat dysmorphia. Semakin banyak selfie yang difilter menjadi norma, semakin banyak harga diri orang yang terpengaruh. Perasaan gagal mewujudkan tuntutan kecantikan ideal tersebut bahkan bisa memicu depresi, menurut jurnal ilmiah JAMA Facial Plastic Surgery.

Intervensi legislatif

Menanggapi fenomena tersebut, beberapa negara telah mengambil tindakan legislatif untuk mengatur penggunaan filter. Di Norwegia dan Israel, foto yang telah dimanipulasi oleh filter sekarang harus diberi label segera setelah digunakan untuk iklan di jejaring sosial.

Rancangan undang-undang di Prancis juga bertujuan memberlakukan peraturan serupa untuk rekaman foto dan video, di mana para influencer bisa dikenai denda hingga €300.000 atau enam bulan penjara karena pelanggaran. Peraturan semacam itu juga sudah dibahas di Inggris Raya.

Di Jerman, sejauh ini tidak ada persyaratan hukum seperti itu. Tahun lalu, YouTuber Carlsson memulai petisi untuk mengubahnya dan Konferensi Menteri untuk Kesetaraan Gender dan Masalah Perempuan, diketuai oleh Senator Partai Hijau Katharina Fegebank, juga menyerukan pelabelan wajib pada gambar yang disempurnakan dalam iklan dan jejaring sosial. Namun, hingga kini belum ada undang-undang yang diusulkan di tingkat federal.

Profesor Universitas Goethe Katja Gunkel mengatakan akan mendukung peraturan tersebut, tetapi memberikan perbedaan yang jelas antara penggunaan publik dan pribadi. "Kami hanya berbicara tentang sektor komersial di sini. Anda tidak dapat menggunakannya untuk selfie di ranah pribadi. Bagaimana cara kerjanya, siapa yang seharusnya mengontrol itu? Saya akan menyebutnya penyensoran," katanya.

Sebaliknya, anak-anak dan remaja perlu dididik sejak dini untuk memperkuat keterampilan media mereka, tambahnya.

(ha/hp)