1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Regenwald Serie 04

Gajah Borneo (Elephas Maximus Borneensis ) yang juga disebut Gajah Kerdil Kalimantan, akhir-akhir ini menampakan diri ke pemukiman warga kecamatan Sebuku, Kalimantan Timur. Padahal dulu eksistensinya pun diragukan.

https://p.dw.com/p/QB3k
Lahan hutan di Kalimatan terus menyempit akibat pembalakanFoto: picture-alliance/dpa

Gajah Borneo di Kalimantan Timur, bingung mencari rumahnya sendiri. Baru-baru ini beberapa diantaranya memasuki kawasan pemukiman penduduk pribumi suku Dayak Agabag, yang berada di sekitar Hutan Sebuku, habitat asli satwa berbadan besar tersebut. Padahal sebelumnya, eksistensinya pun diragukan orang.

Camat Sebuku Jumianto bercerita, "Awalnya saya ini sempat diolok-olok juga, katanya Pak Camat berkhayal. Kata mereka tidak mungkin ada gajah di Kalimantan. Sekarang kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa memang betul ada gajah di Kalimantan."

Lahan Hutan Menyempit, Gajah Turun ke Pemukiman

Dari hasil penelitian DNA, diketahui bahwa gajah Borneo sudah ada sejak tiga ratus ribu tahun yang lalu. Berbeda dengan gajah Sumatera, Gajah Borneo bentuknya lebih kecil, ekornya panjang, dan telinganya besar. Warga pribumi memanggilnya dengan sebutan Si Nenek, sama dengan sebutan bagi orang yang dihormati.

Namun meski dihormati, kemunculannya di pemukiman menimbulkan keresahan. Kepala Desa Tinampak Satu, Kilaton berujar, "Gajah ini dari zaman nenek moyang sudah ada, tapi jarang turun ke desa. Baru tahun 2000, tiba-tiba kadangkala muncul. Kalau datang suka mengganggu tanaman, makan kelapa, kacang, semua dimakannya. Tapi mau bagaimana lagi, gajah itu kan lebih besar daripada kita. Mana kita berani, melihat saja betul-betul kita tidak berani."

Kenapa baru tahun-tahun terakhir ini Si Nenek turun ke dusun dan memakan hasil perkebunan? Bekas kepala suku adat Sekililan, Nenek Ilay memaparkan, "Dulu jarang, ia tidak mau merusak tanaman masyarakat. Tapi hutan sudah gundul, tak ada lagi makanannya di hutan. Maka gajah turun mengikuti jalan ilegal logging masuk ke desa-desa. Hutan-hutan juga sudah dipakai oleh perusahaan, juga oleh masyarakat sedikit."

Tahun 1970 an, lelaki berusia 80 tahun itu pernah menunjukkan jalan bagi perusahaan-perusahaan kayu yang mulai mengeksploitasi Hutan Sebuku. Suparjono, aktivis lingkungan dari World Wild Fund WWF Nunukan, menambahkan penjarahan hutan akan mengancam populasi gajah. Padahal jumlah Gajah Borneo kini diperkirakan tinggal sekitar empat puluh ekor saja.

Seberapa Parah Kehancuran Hutan Sebuku?

Hutan Sebuku di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur terletak di perbatasan Sabah, Malaysia, di atas garis katulistiwa. Proses kehancuran Hutan Sebuku sudah terasa sejak akhir tahun 1970 an. Mulanya oleh perusahaan-perusahaan Malaysia. Disusul perusahaan-perusahaan Indonesia.

Irwan, dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nunukan menerangkan, dari sekitar 200 ribu hektar Hutan Sebuku, hampir seluruhnya sudah diambil alih perusahaan. Terakhir dari lahan hutan yang tersisa, 50 ribu hektar juga telah dilelang pemerintah.

Kebijakan pusat melelang hutan itu, kembali membuat bingung pemerintah di daerah. Suhadi, dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Nunukan berujar, "Departemen Kehutanan mengeluarkan izin pengelolaan hutan. Ini kami pertanyakan kembali badan yang juga di bawah departemen kehutanan juga mengeluarkan izin pengelolaan hutan pada PT Adimitra. Kenapa sudah tahu di situ ada perlindungan gajah yang berada di bawah otoritas Badan Perlindungan dan Konservasi Alam, di sisi lain malah mengeluarkan izin pengelolaan hutan."

Pemanasan Global, Kata Asing bagi Penduduk

Hutan yang gundul tak hanya menyebabkan habitat satwa terusik dan terancam punah. Sudah menjadi pengetahuan umum pembalakan kayu yang parah berpengaruh pada perubahan iklim. Pepohonan yang ditebangi tak mampu lagi menahan laju karbon dioksida, yang terlepas ke atmosfir. Pemanasan global semakin tak tercegah.

Pemanasa Global merupakan kata yang asing di teling warga pribumi. Namun mereka tahu pasti, bahwa penebangan hutan besar-besaran, membawa bencana alam yang luar biasa. "Kita juga tidak boleh menebang sampai luas, karena bisa banjir, longsor. Kita juga takut ambil kayu yang besar-besar, bisa erosi. Sejak illegal logging dilakukan perusahaan-perusahaan, kenyataannya dalam sebulan bisa sampai empat kali banjir. Tapi bila izin penebangan turun dari pusat, bagaimana kami bisa berbuat sesuatu? Bila kami berdemonstrasi, malah dibilang anarkis," cetus warga.

Kehancuran Hutan Sebuku, bagi mereka tak hanya kehancuran bagi kelanggengan hidup si Nenek, namun juga kelanggengan hidup anak cucu mereka.

Adimas/Ayu Purwaningsih

Editor: Yuniman Farid