1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertukaran Tahanan tak Berarti Damai

21 Desember 2011

Meski pertukaran tahanan Isreal-Palestina sudah dilakukan, bukan berarti finalisasi perundingan damai sudah di depan mata.

https://p.dw.com/p/13XBO
Gilad Schalit (kedua dari kanan) bersama PM Israel Benyamin Netanjahu (kedua dari kiri) di pangkalan udara Tel Nof, Selasa (18/10)Foto: dapd

Pertukaran tahanan Palestina dan Israel tuntas dilakukan. Warga di Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan merayakan kedatangan para bekas tahanan Palestina, bagai menyambut kedatangan para pahlawan.

Sementara di Israel, serdadu Gilad Schalit yang pulang kembali digambarkan hampir „bagaikan seorang anak bangsa“, ujar Avi Primor. Mantan duta besar Israel untuk Jerman itu juga mengatakan, kembalinya Gilad Schalit memberi dorongan luar biasa untuk menaikan popularitas pemerintahan Netanyahu.

Jadi kenapa sekarang Netanyahu harus mempertaruhkan stabilitas pemerintahan koalisinya yang goyah, untuk menghidupkan kembali dalog dengan Palestina? Demikian pertanyaan Primor lebih lanjut. Selain itu tidak ada alasan untuk berdialog. Pimor mengemukakan lebih lanjut, “Kita mengetahui bagaimana seharusnya bentuk sebuah perjanjian perdamaian. Ini sebenarnya tinggal rincian terakhir, yang harus diperhalus. Sudah sedemikian banyak perdana menteri dan tokoh Palestina yang selama ini bernegosiasi. Pertanyaanya adalah: Apakah orang-orang siap untuk menerapkannya? Avi Primor meyakini bahwa saat ini baik pemerintah Israel maupun Palestina tidak siap.

Avi Primor
Avi PrimorFoto: Avi Primor

Dari pandangan Palestina, nyaris tidak dikenal istilah rincian akhir, ujar Joachim Paul. Pimpinan Yayasan Heinrich Böll di Ramallah itu memperhitungkan dari 80 ribu pemukim Yahudi di Tepi Barat Yordan pada saat awal proses perundingan damai, kini jumlahnya meningkat menjadi 550 hingga 600 ribu pemukim. Kawasan yang masih dirundingkan, semakin menyempit.“

Hamas Mencari Markas baru

Namun lebih dari sekedar isu pembangunan pemukiman Yahudi yang mengemuka akhir-akhir ini, Palestina kini juga disibukkan dengan dampak perubahan di dunia Arab. Kekerasan terus-menerus yang berlangsung di Suriah, menyebabkan Hamas terpaksa meninggalkan basis mereka di Damaskus, dan menggeser markas mereka di Suriah ke kasawan lain.

„Terjadi pembahasan, bahwa politbiro Hamas akan dipindahkan ke Qatar,“ ujar Joachim Paul. Mengenai hal itu telah dirundingkan perwakilan Hamas di Yordania dan Mesir.

Joachim Paul menjelaskan lebih lanjut, situasi di Mesir terutama berdampak pada gerakan organisasi Palestina tersebut. Walaupun gerakan Hamas muncul dari Ikhwanul Muslimin Mesir, bukan berarti dengan kemenangan Ikhwanul Muslimin, maka Hamas otomatis semakin kuat. “Jika Ikhwanul Muslimin memenangkan Majelis Tinggi dan Rendah, maka saya dapat asumsikan bahwa mereka akan menjalin hubungan sepositif mungkin dengan masyarakat internasional dan negera-negara barat,“ tandas Joachim Paul.“ Dengan demikian, dukungan jelas dan tanpa syarat bagi Hamas akan terhambat.

Kunci Kekuasaan Mesir

Lebih jauh lagi, dinas intelejen luar negeri Mesir yang tetap mengendalikan kontak luar negeri dan militer yang tetap berkuasa -- dalam pemerintahan yang didominasi oleh Ikhwanul Muslimin -- akan menjadi kata kunci terakhir dalam hubungan dengan Palestina dan dengan Israel.

Sebagaimana diasumsikan tokoh Israel Avi Primor, peran militer Mesir tidak akan kokoh selamanya. Juga suara-suara yang pro barat dan kekuatan liberal di luar Kairo akan semakin berkurang. “Perspektifnya tidaklah optimistis,“ ujar Primor. Di masa depan, situasi di mesir merupakan kunci bagi perkembangan selanjutnya Timur Tengah. Dan tentang hal itu, sebagian besar pengamat Israel dan Palestina berpendapat senada.

Thomas Kohlmann/Purwaningsih
Editor : Setiawan