1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Perhatikan Hal Ini Jika Ingin Tetap Bekerja di Startup

24 Maret 2023

Bekerja di startup masih jadi impian orang karena janji fleksibilitas dan gaji relatif lebih tinggi. Berikut tips yang perlu diperhatikan jika tetap tergiur bekerja di sana.

https://p.dw.com/p/4P9aL
Ilustrasi pekerja perusahaan startup
Teknik presentasi atau kemampuan memaparkan informasi dengan memikat perlu dimiliki.Foto: Giorgio Fochesato/Westend61/IMAGO

Siang itu, Wahyu Wiwoho selesai mewawancarai beberapa kandidat karyawan yang melamar bekerja di perusahaan rintisan atau startup yang ia dirikan bersama lima rekannya. Wahyu, berusaha menggali keterampilan teknis dan nonteknis yang cocok dengan LVNG, perusahaan rintisan di bidang sistem pemantuan catatan kesehatan.

Namun, sejumlah kandidat dengan rentang usia 23 sampai 25 tahun yang ia wawancara belum memenuhi ekspektasi Wahyu. Ia mengaku para kandidat menguasai keterampilan teknis yang dibutuhkan, tetapi ia kesulitan menemukan kandidat dengan kemampuan nonteknis atau soft skills di perusahaan rintisannya yang berdiri sejak pertengahan 2022.

"Soft skill akan membuat orang pantas dibayar tinggi atau tidak," kata Wahyu, mantan presenter Metro TV kepada DW Indonesia. Selain itu, permintaan gaji para kandidat dinilai terlalu tinggi bila mengacu pengalaman kerja yang baru menginjak satu atau dua tahun, tambahnya.

Keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di startup

Wahyu melanjutkan bahwa sebenarnya dia senang bekerja dengan karyawan berusia 26 sampai 29 tahun. Mereka bisa bekerja dengan cepat, apalagi sistem kerja hybrid dengan mengandalkan internet dapat menghemat waktu. Namun, tetap saja, Wahyu menilai kemampuan nonteknis wajib dikuasai.

"Komunikasi dan kepemimpinan paling krusial karena mereka masuk ke industri yang mengharuskan interaksi tidak dengan satu generasi saja," kata Wahyu kepada DW Indonesia. Dalam suatu perusahaan, mereka harus tangkas dan adaptif saat berinteraksi atau memimpin tim yang dihuni karyawan lintas generasi, ujarnya. Kemampuan komunikasi dan kepemimpinan ini bisa diasah agar dapat tercipta fleksibilitas dan suasana kerja yang baik antargenerasi.

"Dari generasi lama saat pengambilan keputusan butuh aspek kematangan dan kebijaksanaan. Sedangkan kalau sat set sat set dari yang muda," tutur Wahyu.

Sementara itu, Tony Hadjar Puruhito, praktisi sekaligus konsultan Human Resources (HR) dengan pengalaman lebih dari 12 tahun, mengatakan bahwa tenaga kerja dari generasi Z perlu memiliki pola pikir mau berkembang.

Dia menilai para generasi Z bekerja di perusahaan rintisan menerima gaji yang cukup tinggi, tapi bila tidak diimbangi kemauan belajar yang tinggi bisa menyebabkan stagnansi.

"Harus mau belajar. Ubah mindset untuk maju caranya mau belajar, mau mendengar, dan mau melihat," terang Tony.

Hal lain yang juga tidak kalah penting dimiliki yakni teknik presentasi atau kemampuan memaparkan informasi yang dapat memikat seseorang untuk membeli produk. Ini juga berlaku bagi mereka untuk bisa memikat para perekrut di perusahaan yang diincar.

"Bagaimana mereka mengembangkan presentasi terutama untuk dirinya sendiri. Seberapa pantas mereka dibayar untuk mengemban suatu tanggung jawab," kata Tony kepada DW Indonesia.

Sektor startup berguguran

Perusahaan-perusahaan rintisan di sektor teknologi dan perdagangan elektronik (e-commerce) meraih masa kejayaannya saat pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang berada di rumah. Saat itu, perusahaan rintisan berhasil mengeruk keuntungan dari konsumen dengan mengandalkan internet.

Namun, usai pandemi situasinya mulai berubah dengan sejumlah startup besar mengakhiri periode 'bakar duit' mereka. Di saat perusahaan-perusahaan bukan rintisan mulai bergeliat, badai pengurangan karyawan melanda banyak perusahaan rintisan di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. 

Mengutip Bloomberg, induk platform Shopee yaitu Sea Ltd., dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk., mengurangi jumlah karyawan pada Maret 2023. Sea mengurangi sekitar 500 karyawan pada unit e-commerce Shopee di Indonesia. Sedangkan GoTo, kembali merumahkan 600 karyawan setelah melakukan hal serupa pada November 2022 dengan memutuskan hubungan kerja 1.300 karyawan.

Siapkan side hustle dan plan B

Salah seorang pekerja di sebuah perusahaan startup Pandji Putranda adalah salah satu yang mengalami PHK. Dalam tiga tahun terakhir dia harus menelan dua pil pahit karena dua perusahaan rintisan tempat dia bekerja terpaksa mengurangi karyawan.

Kendati kondisi ekosistem perusahaan rintisan, terutama bidang teknologi sedang tidak stabil, Pandji masih ingin mencoba asalkan ada rencana cadangan. Lingkungan pergaulannya pun rata-rata memiliki rencana cadangan seperti misalnya menjadi pekerja lepas atau bisnis online.

"Selalu punya side hustle di situasi ketidakpastian. Tidak ada orang yang merasa safe karena sewaktu-waktu bisa kena laid off," kata Pandji kepada DW Indonesia.

Bagi Pandji yang mahir di bidang kreatif, bekerja di perusahaan rintisan memberinya kebebasan ruang dan waktu untuk berkarya. Dia merasa nyaman bisa bekerja di mana saja tanpa harus terpaku di dalam kantor dengan jam kerja yang sudah pasti.

"Pada akhirnya pekerjaan impian bukan perkara ngantor di mana, melainkan bisa bangun jam berapa saja dan menyelesaikan pekerjaan kapan saja," kata Pandji.

Andre Sianipar, praktisi HR dengan pengalaman lebih dari 15 tahun, menekankan pentingnya menjaga integritas bagi seorang karyawan. Menurut Andre, bentuk nyata integritas adalah bagaimana seseorang dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa diperintah atau dilihat oleh atasan.

Pendapat serupa juga diutarakan oleh Tony Hadjar Puruhito mengenai integritas. Dia mengingatkan bahwa perusahaan telah membayar karyawan untuk waktu, tenaga, dan pikiran mereka. Itu komitmen yang harus ada di benak karyawan.

Tony bisa memahami pilihan beberapa orang yang mengerjakan pekerjaan sampingan menambah pekerjaan utama di situasi perusahaan rintisan yang tidak menentu. Baginya, ini tidak masalah selama pekerjaan sampingan dilakukan di luar jam kerja.

"Akan jadi masalah kalau lebih serius menekuni pekerjaan sampingan. Akan ada masa di mana itu akan mengganggu pencaharian utama," tegas Tony.

Mempersiapkan sejak lulus kuliah

Menyikapi minimnya kemampuan nonteknis generasi Z saat memasuki dunia kerja, Andre berpendapat bahwa dunia pendidikan di Indonesia jarang membahas persiapan diri bagi mahasiswa yang baru lulus kuliah.

"Kebanyakan selalu fokus ke akademis, setelah lulus tidak ada pengarahan bagaimana bikin CV (Curriculum Vitae) atau lamaran," kata Andre. Dia juga menyayangkan para mahasiswa yang baru lulus mementingkan tampilan CV alih-alih isi yang bisa menarik perhatian rekruiter perusahaan.

Wahyu menambahkan bahwa industri juga memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan kompetensi teknis dan nonteknis bagi karyawannya. Kesinambungan antara institusi pendidikan, industri, serta pemerintah diharapkan bisa menyiapkan sumber daya manusia yang siap terjun ke dunia kerja.

Padahal, generasi Z ini memiliki kemampuan yang cukup baik untuk memacu produktivitas perusahaan, kata Tony. Mereka bisa mengakses segala informasi dengan mudah dan cepat secara digital.

"Mentoring yang tepat dari perusahaan bisa membuat mereka menjadi tenaga kerja potensial," tutup Tony. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).