1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Pengelana Laut: Karena Hidup Tak Melulu Soal Kerja

2 Juni 2023

Ika asal Surabaya menyadari hidup bukan hanya soal kerja. Bertahun berlayar di lautan, ia terpacu berkampanye membangun kesadaran tentang budaya pelayaran di generasi muda Indonesia.

https://p.dw.com/p/4S4Zv
Ika Permatasari-Olsen
Ika Permatasari-Olsen telah lebih dari 5 tahun hidup nomad dan berlayarFoto: privat

Di tengah malam di perairan Mediterania, Ika Permatasari-Olsen dan suaminya, Oyvind Olsen, berjibaku mengendalikan yacht mereka dari terjangan ombak dan badai. Suasana cukup mencekam. Deburan air hujan dan ombak membanjiri kokpit Yacht Beneteau 57. Pasangan suami istri tersebut sedang di tengah pelayaran dari Spanyol menuju Norwegia.

Situasi semakin memburuk. Sistem kendali pilot otomatis yacht padam. Tidak ada pilihan selain mengemudikan yacht secara manual, apalagi setelah sistem kendali hidrolik rusak.

Ika yang berada di balik kemudi kapal menuturkan kepada DW Indonesia bahwa setir manual kapal cukup berat. Dia dan suaminya bergantian menyetir kapal. Bahkan ia hampir terlempar ke laut, ujar Ika sambil mengingat pengalaman itu.

"Ya namanya orang ada di tengah badai, ya gimana, akhirnya kapal terombang-ambing, sempat semuanya yang di dalam kapal itu jatuh semua," kata Ika kepada DW Indonesia.

Tidak mudah panik adalah satu hal yang wajib dimiliki bagi siapa pun yang berminat terjun ke dunia pelayaran, ujar Ika. Memang terasa mudah diucapkan, tapi nyatanya cukup sulit, apalagi  saat menghadapi situasi genting.

Ika Permatasari-Olsen dari Indonesia
Di saat genting dan badai melanda, Ika dan suaminya dituntut untuk bisa mandiri dan tidak panik di tengah lautan.Foto: privat

Harus bisa menyelamatkan diri

Ketika mengiyakan ajakan suami untuk hidup di kapal, Ika awalnya risau saat dia menyadari dia tidak bisa berenang. Apa yang harus dia lakukan jika tercebur ke laut?

"Di kolam renang saja ga bisa berenang, (apalagi) jatuh ke laut. Ibaratnya kata orang Surabaya, ulo marani gepuk!" canda Ika dengan logat Surabaya yang kental. Dia mengibaratkan pilihan hidupnya seperti seseorang yang menghampiri marabahaya, seperti digambarkan dalam pepatah dari daerah asalnya itu.

Sebagai orang yang tidak punya latar belakang pelaut, ia lantas memutuskan hidup di laut. Ika tidak mau menyesal bila tidak mengambil keputusan ini, karena baginya hidup cuma sekali.

Kekhawatiran Ika pun menjadi kenyataan. Saat itu, dia tinggal sendiri di kapal selama satu tahun karena suaminya sedang bertugas. Suatu pagi, Ika terjatuh dari kapal dan tidak ada orang di sekitarnya. Dia harus menyelamatkan diri. Tetap tenang dan mengambang di permukaan air.

"Setelah aku jatuh dari kapal, terus aku ikut kursus, terus habis itu belajar renang," kata Ika. 

Ingin populerkan budaya berlayar

Selama kurang lebih lima tahun hidup di yacht dan sudah mengunjungi setidaknya 10 negara di Eropa, Ika menekankan pentingnya bersosialisasi dengan warga setempat dan komunitas. Dia membutuhkan waktu sekitar dua tahun berlayar di sekitar perairan Laut Tengah untuk bisa memahami berbagai perbedaan kebudayaan, misalnya budaya Yunani, Italia, dan Spanyol.

Ika melanjutkan hidup berpindah-pindah atau nomaden di laut dari satu negara ke negara lain, jauh berbeda dengan liburan.

"Nah, dulu ya aku mikir, ah paling juga gampang 'kan orang aku juga pernah liburan ke sini, liburan ke sana, toh orangnya juga baik-baik, ternyata berbeda pemirsa!" kata Ika sambil tertawa. 

Kendati demikian, ia belajar dari interaksi yang dibangun dengan orang di masing-masing negara. Lambat laun Ika pun terbiasa dengan lingkungan sosialnya.

"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kalau di harbour kita nyebutnya community yacht. Mereka benar-benar helpful banget," ujar Ika. 

Selain itu, ia juga bergabung dengan Yayasan Ayo Berlayar Indonesia (YABI) sejak tahun 2020. YABI memiliki 64 anggota yang tersebar di delapan negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Norwegia, Swiss, Amerika Serikat, British Virgin Island, dan Swedia. Di situ Ika mempelajari berbagai hal soal pelayaran yang informasinya tidak bisa didapatkan dari Google.

"Di Indonesia tidak bisa mendaftarkan yacht kepemilikan pribadi karena tidak ada aturannya. Pun yacht kami terdaftar di Norwegia, ketika sailing di Indonesia kami tetap ingin mematuhi aturan di Indonesia yang lagi-lagi urusan yachting aturannya masih kabur," menurutnya.

Ia merasa terpacu untuk memperbanyak kampanye untuk membangun kesadaran tentang budaya pelayaran. Ika tidak ingin Indonesia sebagai negara maritim malah terbelakang dalam urusan pelayaran dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Baginya, hidup tidak melulu kerja, kerja, kerja

Perempuan berusia 31 tahun itu memang menyukai hal-hal seputar petualangan dan ingin terus mendorong batas dirinya.

Dulu suaminya menawarkan dirinya untuk hidup berlayar di kapal. Apalagi bisa mengunjungi banyak tempat yang anti-mainstream, kata Ika. Mengunjungi negara-negara Skandinavia, terutama Norwegia sangat berkesan bagi Ika yang bekerja di perusahaan piranti lunak asal Singapura. Tempat Ika bekerja mempersilakan ia bekerja dari mana saja dengan zona waktu yang tentunya berbeda.

Setelah menjalani hidup di kapal beberapa tahun, terutama setelah pandemi COVID-19, Ika dan suaminya menyadari mereka bisa melakukan slow living. Ia menjelaskan bahwa hidup itu tidak melulu tentang bekerja, tapi harus ada waktu untuk istirahat.

"Ya ada masanya setelah kita kerja, kerja, kerja, ya dinikmatilah. Kalau orang Surabaya mungkin bilang urip iku ga usah ngoyo (hidup tidak perlu memaksakan diri) ‘kan," ucap Ika. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).