1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiJerman

Di Berlin, Paskah Kali Ini Tetap Dalam Kesunyian

Christoph Strack
3 April 2021

Tanpa daya, seorang pendeta di Berlin hanya bisa menyaksikan lebih dari separuh warga panti jompo di parokinya kehilangan nyawa selama pandemi. Paskah kali ini tetap dalam kesunyian.

https://p.dw.com/p/3rXyw
Panti jompo di Berlin
Jumat Agung di panti jompo dilewati dengan upacara mengenang nyawa yang hilang karena COVID-19.Foto: Thomas Jeutner

Ada satu percakapan yang Thomas Jeutner tidak bisa enyahkan dari benaknya. Tahun lalu, ia berbincang dengan seorang perawat di rumah jompo yang tampak kelelahan. Pembicaraan mereka seputar ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona dan peristiwa dramatis yang saat itu tengah berlangsung.

"Saya tidak percaya kepada Tuhan," kata perawat muda itu kepada Thomas Jeutner. "Tapi saya berdoa untuk semua orang yang tinggal di sini dan mengidap COVID agar mereka selamat."

Sejurus, Jeutner kehilangan kata-kata saat mengingat pernyataan itu. "Itu pada dasarnya adalah pengakuan iman," katanya.

Thomas Jeutner adalah seorang pendeta Protestan di pusat kota Berlin. Terkenal hingga ke mancanegara, Kapel Rekonsiliasi di Berlin Wall Memorial adalah milik parokinya. Pria berusia 60 tahun ini juga merawat orang-orang di Domizil am Gartenplatz, yakni sebuah fasilitas panti rawat inap yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki.

Di fasilitas ini tersedia 63 tempat tidur dan ini merupakan satu dari lebih dari 15.000 panti jompo di Jerman. Pada tahun 2020, panti ini termasuk salah satu yang paling parah dilanda COVID-19. Lebih dari setengah warga panti ini meninggal dunia pada tahun lalu.

Hampir dievakuasi total

Kita telah terbiasa melihat angka kematian harian yang sajikan dalam statistik, tetapi sulit untuk secara langsung menyaksikan orang-orang yang berada di balik angka tersebut.

"Kami hampir dievakuasi oleh tentara," ujar Ute Goede, direktur fasilitas itu. Selama berminggu-minggu, para lansia dikurung di kamar untuk ukuran single tempat mereka mendapatkan perawatan individual. Hampir semua staf jatuh sakit dan mereka harus mempekerjakan tenaga bantuan sementara.

Pendeta Thomas Jeutner cukup terkenal di Berlin
Pendeta Thomas Jeutner cukup terkenal di Berlin, foto diambil tahun 2013 pada peringatan 52 tahun dibangunnya Tembok Berlin.Foto: DW/H.Kiesel

Goede, 57 tahun, juga sempat terjangkit COVID dan sakit selama tiga minggu. "Saya tidak pernah sesakit itu seumur-umur. Berat sekali," kata perawat yang berkualifikasi itu. 

"Selama kurang lebih seminggu, saya bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya." Bahkan hingga hari ini, dia masih punya masalah paru-paru. Goede tidak tahu apakah dia masih bisa bekerja sekeras sebelumnya dengan jam kerja yang panjang dan tekanan fisik yang berat. Banyak karyawan tidak tahan - dan mereka berhenti pada tahun lalu.

"Mereka tidak tahan lagi," katanya.

Seolah berjalan dalam lembah kelelaman

Goede mengaku dirinya menjalin ikatan yang erat dengan warga penghuni panti itu. Mereka semua membutuhkan perawatan yang terus-menerus dan lebih dari separuhnya menderita demensia. Goede menjelaskan bahwa ada suasana hati yang tertekan selama beberapa minggu karantina, dan semua orang merasakan kesedihan yang mendalam.

"Tanggal 4 Januari, vaksinasi pertama diberikan kepada warga dan staf," kenangnya. Sejak itu, situasinya membaik. Sekarang panti tersebut dianggap bebas COVID-19.

Beberapa minggu kemudian, panti tersebut mengadakan upacara peringatan di ruang makan. Cello dan piano melantunkan musik. Ute Goede membacakan nama 32 orang yang telah mangkat. Foto ditampilkan. Dua belas lilin dinyalakan sebagai simbol 12 bulan di tahun 2020. Itu adalah momen peringatan yang sederhana. 

Suasana peringatan korban meninggal akibat COVID-19 di panti jompo
Rumah jompo di paroki Pendeta Thomas Jeutner mengadakan upacara peringatan untuk 32 orang yang meninggal tahun 2020 akibat COVID-19.Foto: Thomas Jeutner

Saat itu, Pendeta Thomas Jeutner membacakan Mazmur 23 dari Alkitab kepada para hadirin.

"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kelelaman, aku tidak takut bahaya." Dia ingat bahwa pada saat itu, beberapa warga lansia yang hafal ayat-ayat itu dan ikut berdoa, mulai terdiam saat tiba di bagian tersebut.

"Mereka sekarang merasakan 'lembah kelelaman'. Mereka semua tahu apa artinya," kata Jeutner.

Tidak ada khutbah Jumat Agung

Ayat mazmur tentang lembah kelelaman adalah salah satu teks yang biasa dibacakan di gereja dalam memperingati penderitaan dan wafatnya Yesus.

Pendeta Thomas Jeutner kembali memikirkan ayat itu saat ia memulai persiapan untuk Jumat Agung, hari dalam kalender Kristen ketika Yesus disalib. Dia tergerak oleh rasa kesepian yang dialami orang-orang yang bekerja bersamanya dalam setahun belakangan ini, oleh semua kematian yang telah ia saksikan.

Lantas dia ingat kata-kata Yesus saat berada dalam penderitaan di kayu salib: "Allahku, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku?"

Selama pandemi, banyak orang mengalami begitu banyak hal dalam kesendirian. "Ini adalah pemikiran yang sangat kelam pada hari Jumat Agung," kata Jeutner.

Tapi di sisi lain, dia juga kagum terhadap kepedulian para perawat akan martabat dan rasa hormat para penghuni panti.

"Ini bukan tempat kerja yang penuh layar komputer, di sini semua didasarkan pada pertemuan antarmanusia," ujarnya. "Mereka (para perawat) menghabiskan hidup mereka bersama orang lain."

Tapi untuk tahun ini, ia tetap menghadapi satu pertanyaan yang sama: bagaimana dia akan berkhotbah pada Paskah ini? Jeutner sama sekali tidak diizinkan berkhotbah pada Jumat Agung karena pembatasan COVID. Tetapi banyak dari jemaatnya ingin datang ke gereja selama hari-hari itu.

"Kami akan membuka gereja kami untuk retret dalam sunyi. Dan beribadah di luar ruangan pada Minggu Paskah. Kami akan berada di sana, sebagai orang beriman dan optimis dan sesama orang yang menderita. Tetapi sungguh tidak perlu kata-kata. Hanya berada di sana, itulah yang paling penting. Ini akan menjadi hari-hari yang sunyi." (ae/yp)