1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sistem Penitipan Anak di Jerman Tidak Ramah bagi Ibu Pekerja

Elizabeth Schumacher
12 September 2022

Terlalu sedikit pilihan, terbatasnya waktu dan minimnya kemauan politik pemerintah memaksa para ibu pekerja di Jerman untuk bekerja paruh waktu atau tidak sama sekali. Kondisi ini berbeda dengan yang dialami para ayah.

https://p.dw.com/p/4Fvbg
Seorang ibu bekerja di rumah sambil mendampingi anak balita.
Sangat sedikit ibu di Jerman yang memilikianak di bawah umur tiga tahun yang bisa bekerja lebih dari 20 jam semingguFoto: Julian Stratenschulte/dpa/picture alliance

Di luar negeri, penitipan anak di Jerman sering disebut-sebut sebagai model yang patut ditiru karena terjangkau dan ramah bagi orang tua yang bekerja. Namun kenyataannya, para ibu di Jerman harus berusaha keras untuk menyeimbangkan antara karier dan menjadi orang tua. Tampaknya sistem tersebut dirancang untuk menjauhkan para ibu dari pasar tenaga kerja penuh waktu.

"Desa kami memiliki setidaknya 40 anak yang tidak memiliki tempat di taman kanak-kanak,” kata Julia, seorang ibu pekerja yang tinggal di tenggara Jerman.

Dia menambahkan, ''Meskipun faktanya pemerintah secara hukum berkewajiban untuk menyediakan pengasuhan anak di atas usia tiga tahun. Pemerintah daerah tidak mengiklankan pekerjaan tersebut dan tidak melakukan apa pun untuk membuatnya lebih menarik. Anak-anak di tempat penitipan anak, berada dalam kelompok yang terlalu besar, dan jika seorang anggota staf sakit atau berhenti, yang mana itu adalah sesuatu yang mudah dimengerti mengingat rendahnya gaji dan kondisi kerja mereka, maka keluarga-keluarga itu tidak beruntung."

Guru sekolah menengah berusia 38 tahun itu menambahkan bahwa "jika Anda tidak dapat menemukan pengasuh atau tempat penitipan anak, Anda tentu saja diizinkan untuk menggugat pemerintah daerah ke pengadilan, tetapi kebanyakan orang tidak mau terganggu dengan stres itu, karena pada akhirnya Anda mungkin akan menemukan tempat penitipan yang jaraknya 90 menit berkendara."

Perempuan terpaksa bekerja paruh waktu

Susanne Kuger, seorang ahli penitipan anak dari Institut Pemuda Jerman (DJI), menegaskan bahwa "jumlah keluarga yang benar-benar membawa masalah ini ke pengadilan sangat rendah," dan sebaliknya memilih untuk "mengirimkan anak-anak kepada kakek-nenek atau membayar penitipan anak dan pengasuh pribadi yang mahal jika mereka mampu. Jika tidak, salah satu orang tua, biasanya ibu, harus mengurangi jam kerja atau sepenuhnya menunda untuk kembali ke pekerjaan mereka."

Dia mengatakan bahwa "setiap pengasuh dan tempat penitipan anak dapat memutuskan jam buka mereka sendiri," tanpa mempertimbangkan apakah kondusif untuk pekerjaan penuh waktu atau tidak, dan sering kali ada tekanan untuk menjemput anak paling lambat pukul 2 siang.

Jerman butuh tenaga kerja

Pada tahun 2022, Jerman mencatat bahwa ada lebih dari satu juta pekerjaan yang perlu untuk diisi. Salah satu ide yang dilontarkan adalah untuk mempromosikan beberapa bidang dari 11 juta pekerja paruh waktu di negara itu, yang 80% di antaranya adalah perempuan, ke dalam posisi penuh waktu ini. Namun ternyata menyediakan penitipan anak terbukti menjadi rintangan terbesar.

Menurutstudi dalam skala luas yang dilakukan oleh DJI pada tahun 2020, 49% orang tua dengan anak di bawah umur tiga tahun mengatakan mereka membutuhkan penitipan anak. Dari jumlah tersebut, hanya 24% yang jumlah jam kerjanya mampu dibantu oleh pengasuh atau pusat penitipan anak. Untuk anak-anak di atas tiga tahun, 97% membutuhkan perawatan, dan hanya 71% orang tua yang mengatakan bahwa mereka mendapatkan bantuan yang diperlukan.

Tetapi bagi orang tua yang beranggapan bahwa pengasuhan anak yang mereka butuhkan bisa terpenuhi, kenyataannya justru salah satu orang tua harus menerima bahwa jikapun mereka dapat kembali bekerja, mereka harus bekerja paruh waktu.

"Harapannya jelas, untuk pasangan heteroseksual, orang tua itu adalah ibu,” kata Julia, yang harus mengurangi jam kerjanya setelah pemerintah setempat membutuhkan waktu setengah tahun untuk menanggapi permintaannya untuk tempat pengasuhan anak. "Ini situasi yang sangat sulit jika Anda tidak memiliki sistem yang mendukung, seperti kakek-nenek yang tinggal dekat dan mampu serta bersedia untuk mengasuh anak."

Seorang anak yang seharusnya bermain di tempat penitipan anak, tampak bermain di rumah. Di latar belakang, terlihat seorang ibu yang mengawasinya.
Menurut Alexandra Jähnert, rintangan yang mempersulit keluarga imigran untuk mengakses pengasuhan anak melanggengkan kesenjangan dalam pendidikan dan pendapatan di kemudian hariFoto: Sebastian Gollnow/dpa/picture alliance

Hambatan bagi keluarga imigran

Masalah ini jauh lebih sulit bagi keluarga imigran di Jerman yang tidak memiliki jaringan sosial pendukung ini, kata Alexandra Jähnert dari DJI menjelaskan. "Sistem pendaftaran anak-anak untuk penitipan itu rumit, biasanya hanya tersedia dalam bahasa Jerman birokratis yang rumit, dan sering kurang sekali dukungan untuk keluarga yang belum terbiasa dengan cara kerja kantor pemerintah Jerman," katanya.

Dia menambahkan bahwa perbedaan undang-undang dan peluang di 16 pemerintah negara bagian dan pemerintah kota yang jumlahnya tak terhitung menyebabkan hambatan bagi imigran semakin tinggi. Ini juga mengakibatkan harga yang sangat bervariasi, dengan biaya perawatan ratusan euro per bulan di beberapa kota, dan di kota lainnya justru benar-benar gratis.

Jähnert mengatakan bahwa, baik perempuan asing maupun penduduk asli Jerman, ada juga "lingkaran setan bahwa penitipan anak lebih mengutamakan pasangan di mana kedua orang tuanya bekerja. Nah, jika Anda tidak dapat menemukan tempat penitipan anak, maka Anda tidak bisa mendapat pekerjaan atau kembali ke pekerjaan lamamu."

Sistem pajak Jerman curang terhadap perempuan

Sebuah studi yang dilakukan Bertelsmann Foundation pada tahun 2020 menemukan bahwa bahkan sebelum pandemi, lebih banyak perempuan yang tinggal di rumah, "memiliki anak membebani ibu hingga dua pertiga dari penghasilan seumur hidup mereka" karena berkurangnya gaji selama cuti hamil, terpaksa bekerja paruh waktu, atau tinggal di rumah, serta sistem pajak Jerman yang dikenal dengan istilah "spousal splitting” atau pemisahan pendapatan pasangan. Keseluruhan hal tersebut turut mengurangi pemasukan untuk dana pensiun kaum ibu untuk di kemudian hari.

Pemisahan pendapatan pasangan berarti bahwa pasangan yang sudah menikah dapat memilih untuk ditempatkan ke dalam kategori pajak yang berbeda, di mana salah satu pasangan membayar secara signifikan lebih dari yang lain (biasanya ini adalah perempuan).

Ini berarti bahwa pasangan tersebut secara keseluruhan membayar pajak lebih sedikit, tetapi juga berarti salah satu pasangan membawa pulang pendapatan bersih yang jauh lebih rendah di akhir setiap bulan. Bagi banyak orang, ini hanyalah dorongan lain untuk tinggal di rumah bersama anak-anak daripada menghabiskan setiap sen dari pendapatan mereka untuk membayar penitipan anak.

Seperti yang ditulis oleh ekonom Marcel Fratzscher di surat kabar Die Zeit, "studi ilmiah menunjukkan bahwa tidak ada negara (Uni Eropa) lain kecuali Belgia yang efek pajak ini memiliki dampak negatif yang lebih besar terhadap proses mempekerjakan perempuan."

Pasar tenaga kerja terganggu oleh kurangnya pekerja

Studi serupa menunjukkan bahwa dalam konteks pasar tenaga kerja Jerman, jauh lebih kecil kemungkinan bagi seorang ibu dibandingkan seorang ayah untuk diundang ke dalam proses wawancara. Dan jauh lebih kecil lagi kemungkinannya bagi ibu untuk bekerja dengan durasi jam kerja sebanyak yang mereka inginkan. Hal ini berdampak pada pembayaran pensiun mereka dan mendorong kaum ibu terjerat dalam kemiskinan di hari tua.

Menurut German Economic Institute (IW), pada tahun 2021, 69% ibu dengan anak di bawah 3 tahun tidak bekerja sama sekali, meskipun hanya 27% yang ingin tinggal di rumah secara penuh waktu. Sekitar 21% bekerja di bawah 20 jam seminggu, demikian temuan IW, sebagian besar karena kurangnya pilihan penitipan anak yang memadai.

"Selama 20 tahun terakhir, peran ibu di Jerman telah banyak berubah," tulis penulis studi Wido Geis-Thöne, terutama tentang bagaimana perempuan melihat diri mereka setelah memiliki anak. Namun, pasar tenaga kerja Jerman masih harus mengejar ketertinggalan yang memungkinkan perempuan mewujudkan keinginan mereka untuk kembali bekerja penuh waktu.

Dan pilihan penitipan anak juga harus diperluas untuk mencakup pekerjaan penuh waktu itu. "Staf penitipan anak harus dibayar lebih baik, memiliki kesempatan yang lebih baik untuk berkembang, dan pekerjaan itu sendiri juga harus diubah dengan mendorong staf agar memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan membuat jalur karir ini sebagai hal yang prestisius,” kata Susanne Kuger.

"Jerman membutuhkan 160.000 staf baru untuk memenuhi kebutuhan tempat penitipan anak di tahun-tahun mendatang," tambahnya, dan sementara ada banyak inisiatif di tingkat lokal untuk meningkatkan jumlah pusat penitipan anak dan staf, dorongan yang jauh lebih besar dari pemerintah negara bagian dan lembaga nasional sangat diperlukan jika Jerman ingin mempromosikan kesetaraan antara ibu dan ayah yang bekerja. (ts/ pkp)