1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Survei: Pelecehan Seksual Terus Terjadi di Ruang Publik

Kusumasari Ayuningtyas
31 Januari 2022

Selama pandemi, pelecehan seksual mengintai perempuan, laki-laki, dan gender minoritas di ruang-ruang publik baik online maupun offline, survei oleh Koalisi Ruang Publik Aman.

https://p.dw.com/p/46J1j
Ilustrasi pengiriman video porno, salah satu bentuk pelecehan seksual di dalam jaringan
Ilustrasi pengiriman video porno, salah satu bentuk pelecehan seksual di dalam jaringanFoto: PA Wire/picture alliance

Perempuan masih menjadi pihak yang rentan dan rawan mengalami pelecehan seksual di ruang publik selama masa pandemi. Hal ini terungkap dari hasil survei oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) selama masa pandemi. Namun pelecehan seksual tidak hanya dialami perempuan.

Survei dilakukan di 34 Provinsi secara online dengan menggunakan teks dengan total jumlah responden 4.236 yang terdiri dari 3.539 responden perempuan, 625 responden laki-laki, dan 72 responden dari gender lainnya.

Survei ini diinisiasi oleh KRPA dalam program Power to You(th) didukung oleh Rutgers Indonesia. Survei ini dilaksanakan secara nasional pada akhir tahun 2021 selama 16 hari dalam peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).

KRPA sendiri terdiri dari beberapa yayasan dan organisasi di antaranya Hollaback! Indonesia, Jakarta Feminist, Dear Catcallers Indonesia, PerEMPUan, dan Yayasan Lentera Sintas Indonesia.

"Pelecehan seksual pada saat pandemi adalah isu besar yang harus kita respon dengan serius. Pelecehan mempersulit masyarakat hidup di tengah krisis oleh pandemi COVID-19," pungkas Rastra Yaslan dari KRPA.

Hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik Selama Pandemi COVID-19 di Indonesia yang diungkapkan ke publik pada Senin (31/01) menyebutkan bahwa sekitar 78% atau lebih dari 3.000 responden perempuan menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

"Ini artinya, 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik," sebut Anindya Restuviani atau akrab disapa Vivi, aktivis perempuan dari Hollaback! Indonesia dan Jakarta Feminist dalam paparannya pada hari Senin.

Terjadi di ruang publik online dan offline

Vivi yang mewakili KRPA menyebut bahwa sekitar 29% responden laki-laki juga mengalami pelecehan seksual di ruang publik, sedangkan dari kelompok responden gender lainnya, sekitar 83% di antaranya juga mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Sebanyak 2.130 responden mengalami pelecehan seksual di ruang publik luar jaringan (luring) seperti di jalan umum dan taman, 797 responden mengalaminya di kawasan permukiman, 693 responden di transportasi umum, di toko/mal/pusat perbelanjaan 432 responden, dan tempat kerja 377 responden. 

Sedangkan pelecehan seksual di ruang publik online tertinggi terjadi di media sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan dalam jaringan (daring), permainan virtual, dan ruang diskusi virtual.

Dari fasilitas kesehatan hinga institusi pendidikan

Fasilitas kesehatan juga tidak luput sebagai lokasi terjadinya pelecehan seksual. Sebanyak 100 responden mengalami pelecehan seksual di fasilitas kesehatan umum, 29 responden mengaku dilecehkan secara seksual di tempat pemeriksaan COVID-19 dan 5 responden mengalaminya di tempat karantina pasien COVID-19. Sedikitnya 44 responden menyebut tenaga kesehatan sebagai pelakunya.

"Selama pandemi COVID-19, lokasi terjadinya pelecehan seksual semakin meluas, bahkan terjadi di ruang terkait kesehatan dan COVID-19," ujar Vivi. 

Alegra Wolter, dokter transpuan sekaligus aktivis Dokter Tanpa Stigma menanggapi survei terkait pelecehan seksual di fasilitas kesehatan. Menurutnya, memang pasien dengan gender tertentu seperti perempuan, gender minoritas, pasien psikiatri, dan pasien yang memiliki keluhan di area sensitif rentan mendapatkan pelecehan seksual.

"Di dokter (kasus ini) di-handle komisi etik/pembinaan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan beberapa organisasi profesi, ada sanksi khusus," terangnya secara tertulis.

Survei juga melihat bahwa pelecehan terjadi di institusi pendidikan. Sebanyak 427 responden mengaku dilecehkan secara seksual di kampus/sekolah offline atau luring, sebanyak 57 responden mengalami pelecehan seksual di kampus/sekolah online atau daring. Dan sebanyak 134 responden menyebut guru atau dosen sebagai pelakunya.

Survei ini juga merinci berbagai bentuk pelecehan seksual yang diterima oleh responden baik di dalam maupun luar jaringan internet. Di luar jaringan, siulan dan komentar atas tubuh menyumbang angka tertinggi dengan 2.026 responden dan 934 responden. Sedangkan dalam jaringan, sebagian besar responden mengatakan dilecehkan dengan cara dikirimi video porno atau video intim dan menerima komentar seksis.

Pelecehan hanya di ruang tertutup dan sepi? Itu mitos!

Survei ini juga menyebutkan bahwa pelaku terbanyak dari pelecehan seksual selama pandemi adalah orang tidak dikenal dengan lebih dari 2.400 responden. Responden yang mengaku bahwa pelaku pelecehan seksual adalah teman mereka sendiri ada sebanyak 669 orang dan 332 responden menyebut kolega atau teman kerja mereka yang menjadi pelaku pelecehan seksual.

Ellen Kusuma dari SAFEnet mengatakan bahwa orang tidak dikenal sebagai pelaku pelecehan seksual terbanyak adalah fakta yang cukup mengejutkan. Sebelumnya, riset oleh Safenet menemukan bahwa mantan kekasih atau mantan suami menjadi pelaku pelecehan seksual tertinggi.

Masih menurut Ellen, pelecehan seksual yang terjadi di media sosial didominasi oleh penyebaran konten intim tanpa izin serta doxing berupa penyebaran nomor handphone disertai dengan narasi open BO. "Kalo di chat biasa terjadi ancaman-ancaman."

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengatakan bahwa ada banyak mitos yang terpatahkan bila melihat hasil survei yang dirilis oleh KRPA ini. Mitos itu antara lain bahwa pelecehan seksual hanya terjadi di ruang tertutup dan sepi, di malam hari, atau tempat-tempat yang gelap.

Hasil survei menunjukkan bahwa pelecehan seksual juga terjadi di siang hari, saat waktu kerja, dan jam-jam beraktivitas. Pelecehan nyatanya juga terjadi di ruang terbuka seperti jalan umum, taman, pusat perbelanjaan bahkan fasilitas kesehatan. 

Selain itu, adalah mitos bahwa hanya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. "Tetapi ternyata ada pria juga yang menjadi korban pelecehan seksual," ujar Siti Aminah Tardi.

Lebih lanjut, ia berharap pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU TPKS. Dalam RUU TPKS, tindak pidana pelecehan seksual dikategorikan menjadi tindak pidana pelecehan seksual fisik, tindak pidana pelecehan seksual non-fisik dan tindak pidana pelecehan seksual teknologi informasi. Menurutnya, keberadaan UU TPKS nantinya akan bisa menjadi dasar hukum jelas dalam menindak pelecehan seksual.

Masih sedikit yang melapor

Dari sekitar 3.000 responden yang mengalami pelecehan seksual, sekitar 70% di antaranya mengaku bahwa pelecehan yang mereka alami memperparah situasi atau perasaan mereka selama pandemi, beberapa bahkan sampai berpikir untuk bunuh diri. Meski demikian, masih sedikit yang melapor dan utamanya hanya melapor ke teman dekat. Lebih dari setengah atau sekitar 58% responden mengaku tidak melakukan konfrontasi.

"Beberapa responden sudah mulai berani untuk mengkonfrontasi pelaku pelecehan. Meskipun begitu, sebagian besar masih terhalang oleh ketidaktahuan, ketakutan, relasi kuasa, dan sebagainya," ujar Vivi.

Nissi Taruli Felicia pengusung program Perempuan Tuli Berdaya membenarkan bahwa banyak korban pelecehan seksual termasuk dari disabilitas yang tidak melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena terbatasnya akses untuk pelaporan. Selain itu, minim juga pengetahuan tentang bagaimana cara melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami di ruang publik.

"Khususnya disabilitas intelektual. Akibatnya, banyak kasus yang terjadi di ruang publik tapi tidak dilaporkan," papar Nissi secara tertulis. (ae)