1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pegawai Newmont Dirumahkan

6 Juni 2014

Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) meminta bantuan pemerintah agar bisa menyelamatkan nasib pekerja di Newmont.

https://p.dw.com/p/1CDpw
Foto: Getty Images/AFP

Raksasa pertambangan Amerika Serikat Newmont menyatakan akan merumahkan ribuan pekerjanya dan menyatakan force majeure atau kahar kontrak karya.

Keputusan itu diambil, setelah salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia tersebut mengatakan akan menghentikan produksi tembaganya di lokasi Batu Hijau, karena tak bisa mengekspor barang selama berbulan-bulan, akibat peraturan baru.

Pengiriman produk

Pemerintah Indonesia memperkenalkan aturan baru Januari 2014, di antaranya termasuk larangan ekspor beberapa mineral yang belum diolah dan pajak yang lebih tinggi untuk beberapa komoditas yang dikirim ke luar negeri.

Ini adalah salah satu kebijakan ekonomi didorong oleh politisi nasionalis, yang berpendapat bahwa Indonesia mengalami kerugian dalam industri yang dikelola perusahaan asing.

Konsentrat tembaga, produk olahan yang sebagian merupakan ekspor utama bagi Newmont dan perusahaan Freeport-McMoRan, dibebaskan dari larangan tersebut, tetapi perusahaan masih menghadapi aturan pajak yang lebih tinggi pada saat pengiriman produk.

Namun Newmont menolak aturan itu, karena menurut pihak perusahaan, hal tersebut tidak sesuai dengan perjanjian di Indonesia. Newmont dan Freeport telah terlibat dalam pembicaraan dengan pihak pemerintah untuk mencoba mencapai kesepakatan.

Potong gaji

Perusahaan itu mengatakan akan merumahkan 80 persen dari 4.000 karyawan di tambang tersebut dengan pemangkasan gaji. Kepala unit Newmont Indonesian, Martiono Hadianto menambahkan perusahaan itu "dibiarkan tanpa pilihan selain menyatakan force majeure".

Force majeure adalah istilah hukum melepaskan perusahaan dalam menghadapi kewajiban kontrak, jika dihadapkan pada situasi di luar kendali.

Juru bicara perusahaan Newmont, Rubi Purnomo mengatakan kepada AFP, bahwa force majeure dinyatakan karena: "perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk memproduksi dan beroperasi" di pertambangan mereka di pulau Sumbawa.

ap/ml (afp)