1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAfrika

Pajak Baru di Kenya Bikin Pembuat Konten Digital Frustrasi

Andrew Wasike
2 November 2023

Para pembuat konten digital dan influencer di Kenya sekarang diharuskan membayar pajak sebesar 15% dari pendapatan mereka. Banyak pembuat konten digital merasa frustrasi dengan UU baru itu.

https://p.dw.com/p/4YHdX
Foto ilustrasi aplikasi media sosial
Foto ilustrasi aplikasi media sosialFoto: Jonathan Raa/NurPhoto/picture alliance

Undang-undang baru di Kenya memberlakukan pajak sebesar 15% atas penghasilan para pembuat konten digital. Presiden William Ruto menandatangani Undang-Undang baru itu pada bulan Juli lalu.

Namun banyak generasi muda yang bergerak di dunia digital kecewa. "Saya pikir mereka harus meninjau UU Keuangan karena banyak orang akan menderita, terutama para kreator dan ini akan menyulitkan kami mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kami,” kata Samantha Dedra, seorang kreator dengan lebih dari 800.000 pengikut di TikTok, kepada DW.

Para pembuat konten berpendapat, pajak yang baru hanya menjadi beban keuangan tambahan dan membatasi kreativitas mereka.

"Pemerintah tidak melakukan hal yang benar dengan mengenakan pajak pada kreativitas seseorang. Bisa dibayangkan ketika Anda memulai, Anda membeli peralatan dari tabungan Anda, Anda mencoba bercerita, menggunakan platform Anda sendiri,” kata Samantha Dedra. "Kalau Anda harus dikenai pajak, itu hanya karena pemerintah melihatnya sebagai peluang untuk menghasilkan uang tambahan.”

Algoritma: Kunci Kesuksesan Video TikTok

Pemerintah ingin punya pendapatan tambahan

Kreator konten di TikTok Diana Nikita setuju. "Di Kenya kami tidak mempunyai pekerjaan. Bahkan untuk membuat konten, Anda memerlukan uang. Jadi, menurut saya hal tersebut tidak adil, dan saat ini semuanya dikenakan pajak di Kenya," katanya.

"Perekonomian tidak berjalan dengan baik, tidak ada uang, tidak ada arus kas,” tambah Diana Nikita, yang memiliki hampir 400.000 pengikut di TikTok.

Mark Otieno, konsultan hiburan digital, melihat pajak baru ini sebagai cara pemerintah untuk memperluas aliran pendapatannya.

"Tahukah kalian bahwa hanya 86.000 warga Kenya yang berpenghasilan lebih dari 100.000 shilling (sekitar US$660) sebulan, begitulah keadaan orang-orang miskin di negara ini. Jadi ketika seseorang mengatakan saya menghasilkan 300.000 (shiling) di YouTube, mereka (pemerintah) berkata Anda harus membayar pajak,” kata Otieno kepada DW.

Dedra dan Nikita sama-sama mengatakan, mereka yakin pemerintah pada akhirnya akan mendapatkan keuntungan lebih dalam jangka panjang jika mendukung para kreator digital, daripada mengenakan pajak terhadap mereka.

Industri digital sedang meningkat

Pada awal pandemi COVID-19, jumlah pembuat konten di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube mulai meningkat di seluruh Afrika. Banyak anak muda Kenya kini menggunakan platform ini untuk menjual produk dan mencari nafkah melalui monetisasi.

Beberapa pembuat konten terkemuka di Kenya mengatakan, mereka tidak memiliki masalah dalam membayar pajak, namun mereka telah meminta pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung ekonomi digital.

Phelix Odiwuor Khodhe, anggota parlemen dari daerah pemilihan Langata di Nairobi, juga mengadvokasi dukungan pemerintah. Politisi yang akrab disapa Jalang'o itu bahkan meminta parlemen membatalkan UU Keuangan 2023.

"Tapi, postingan dari beberapa pembuat konten yang memamerkan gaya hidup mewah dan berbicara tentang penghasilan online mereka bisa menjadi penghalang", kata Jalang'o kepada DW.

"Bagaimana cara meyakinkan pemerintah.. bahwa Anda tidak punya uang dan tidak mampu membayar pajak 15% padahal yang Anda tunjukkan di luar sana adalah bahwa Anda jutawan?” katanya.

(hp/as)