1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Hubungan Uni Eropa dan Asia Tenggara pada Tahun 2024

David Hutt
2 Januari 2024

Dua pemilihan umum signifikan yang dijadwalkan digelar tahun 2024 dapat berdampak pada hubungan antara Uni Eropa dan Asia Tenggara.

https://p.dw.com/p/4al0K
KTT UE-ASEAN 2022 di Belgia
Pertemuan para menteri luar negeri UE-ASEAN, yang dijadwalkan akan berlangsung di Brussels, Belgia, Februari 2024Foto: Geert Vanden Wijngaert/AP/picture alliance

Pemilihan Parlemen Eropa yang akan digelar awal Juni mendatang, memicu kemungkinan terjadinya perubahan di tingkat pejabat tinggi Komisi Eropa dan Dewan Eropa.

Hingga kini, belum ada kejelasan apakah Presiden Komisi Eropa saat ini, Ursula von der Leyen akan mencalonkan diri lagi. Namun, kesinambungan di antara para eksekutif Uni Eropa akan sangat berdampak pada hubungannya dengan negara-negara Asia Tenggara, yang telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, naiknya perolehan suara partai ekstrim kanan dalam pemilihan umum (pemilu) mendatang atau situasi gantung di parlemen, dapat mengganggu agenda kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE), demikian kata para analis. 

Selain pemilu di parlemen Eropa, pemilihan umum krusial juga akan digelar di Indonsia, negara dengan populasi terbanyak di Asia Tenggara, sekaligus mitra utama dan penting Uni Eropa di kawasan.

Pemilu Indonesia

Pada bulan Februari 2024, sekitar 200 juta pemilih di Indonesia akan mencoblos di tempat pemungutan suara,untuk memilih presiden-wakil presiden dan parlemen baru, di mana keputusan itu nantinya akan berdampak ke seluruh kawasan.

"Indonesia dianggap sebagai ‘primus inter pares' di (Asia Tenggara), sehingga hasil pemilihan presiden dan parlemen di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia itu harus dimonitori dengan seksama," kata Alfred Gerstl, ahli hubungan internasional Indo-Pasifik di Universitas Wina, Austria.

"Kemungkinan hasil positifnya adalah, pemilu akan berlangsung bebas dan adil seperti yang diharapkan, yang membuktikan bahwa demokrasi masih berjalan di Asia Tenggara," tambahnya.

Berdasarkan mayoritas jajak pendapat, Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat sebagai menteri pertahanan, masih memimpin. "Prabowo kemungkinan akan memberikan penekanan yang lebih pada penguatan kemampuan pertahanan Indonesia, tetapi kemungkinan besar akan mengikuti kredo kebijakan tradisional luar negeri yang bebas-aktif," jelas Gerstl.

Beberapa pihak juga memperkirakan bahwa Prabowo akan lebih tegas dibanding Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo, dalam hal deforestasi dan peraturan-peraturan lingkungan hidup yang selaras dengan Uni Eropa.

Keberatan Eropa Atas Kelapa Sawit, Peduli Lingkungan Atau Bisnis?

Dampak kebijakan impor baru Uni Eropa

Indonesia dan Malaysia yang menyumbang sekitar 85% dari produksi minyak kelapa sawit global bersengketa dengan Uni Eropa terkait regulasi sawit. Pada tahun 2021, kedua negara di Asia Tenggara itu mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), di mana pemerintah kedua negara mengecam apa yang disebut oleh Jakarta sebagai "imperialisme regulasi." 

Sementara itu mulai Desember 2024, aturan baru Uni Eropa akan melarang impor pada sejumlah barang, termasuk minyak kelapa sawit, kayu dan karet, kecuali jika perusahaan-perusahaan tersebut dapat membuktikan bahwa mereka tidak menyebabkan deforestasi, sebuah persyaratan yang menurut beberapa pemerintah Asia Tenggara terlalu memberatkan usaha-usaha kecil di negara mereka.

Indonesia, Malaysia dan Thailand merupakan tiga pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dan juga pengekspor utama produk-produk lain yang kemungkinan akan mulai dilarang di bawah undang-undang baru Uni Eropa tersebut.

Peter Stano, juru bicara Uni Eropa, memperkirakan bahwa parlemen Thailand akan menyetujui Perjanjian Kemitraan dan Kerjasama Uni Eropa-Thailand pada tahun 2024, yang memungkinkan banyak mekanisme keterlibatan di bawah pakta ini mulai diberlakukan.

Kelaparan Ancam Gaza

Meredakan ketegangan serangan Israel di Gaza

Malaysia dan Indonesia, dua negara dengan berpenduduk mayoritas muslim, telah menentang keras serangan militer Israel di Gaza. Kedua negara ini telah berulang kali mengecam "standar ganda" negara-negara Barat yang tidak mendukung terjadinya gencatan senjata di Gaza, sementara pada saat yang bersamaan mendukung pasokan militer untuk Ukraina. 

Israel melancarkan serangan balasannya di Gaza setelah Hamas, yang dikatgorikan sebagai kelompok teroris oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, Jerman, dan sebagian besar negara Barat, melakukan aksi teror besar di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober 2023 dan menewaskan sekitar 1.200 warga Israel serta menyandera lebih dari 200 orang.

Serangan balasan Israel ke Gaza, membunuh puluhan ribu warga Palestina di Gaza dalam pertempuran tersebut, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza.

Meredakan ketegangan atas situasi di Gaza akan menjadi agenda utama dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri Uni Eropa dan negara-negara ASEAN, di Brussel pada tanggal 2 Februari mendatang. "Pertemuan ini digadang-gadang sebagai puncak bagi hubungan Eropa-Asia Tenggara tahun 2024", menurut juru bicara Uni Eropa, Peter Stano.

"Kami bertujuan untuk mengadopsi sebuah pernyataan bersama untuk meningkatkan kemitraan strategis kami dan mempertahankan multilateralisme dalam menghadapi ketidakstabilan global yang meningkat," ujarnya.

Latgab Militer ASEAN Pertama

Persoalan lainnya yang masih menanti di 2024

Laos, negara Asia Tenggara yang paling sedikit memiliki hubungan diplomatik dengan Uni Eropa, telah mengambil alih jabatan presidensi bergilir Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2024 dan akan menjadi tuan rumah bagi agenda tahunan blok tersebut di sepanjang tahun.

Melihat hubungan yang begitu erat antara Laos dan Cina, beberapa negara Asia Tenggara lainnya, sejumlah negara ASWAN khawatir Laos akan menggunakan kepemimpinannya untuk memajukan kepentingan Beijing di kawasan ini, terutama persoalan perselisihan teritorial di Laut Cina Selatan.

Selain itu, situasi Myanmar, negara yang mengalami krisis politik sejak kudeta militer pada awal tahun 2021, yang semakin memanas di akhir tahun 2023 setelah serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh beberapa kelompok etnis bersenjata, tampaknya akan mengguncang negara tersebut. Meskipun pada bulan Desember 2023, Cina telah ikut memediasi diskusi antara kelompok etnis dengan para jenderal junta militer, hasilnya diduga tidak akan membuat kelompok etnis mendukung pemerintahan juta militer.

Uni Eropa juga telah memberlakukan sejumlah sanksi terhadap junta militer Myanmar dan bisnis-bisnis yang terafiliasi, dan juga terus meningkatkan bantuan kemanusiaan ke negara tersebut tahun ini. Juga Eopa melakukan hubungan secara terbuka dengan pejabat pemerintah junta Myanmar

Walau begitu sebagian besar analis tidak memprediksi Uni Eropa akan melakukan perubahan besar dalam kebijakannya, terutama pada persoalan pengakuan terhadap Pemerintah Persatuan Nasional sebagai pemerintah yang sah di negara itu.

(kp/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!