1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Morsi Lupa Pada Janjinya

Hendra Pasuhuk17 Desember 2012

Ketika terpilih sebagai presiden Mesir, Mohammed Morsi berjanji untuk menjadi presiden bagi seluruh rakyat Mesir. Namun setengah tahun setelah pelantikannya, ia melupakan janji itu.

https://p.dw.com/p/173lM
Egyptian President Mohamed Morsi speaks to his supporters outside the presidential palace al-Ethadeya, where tens of thousands of Egyptians rally to support Morsi's new constitutional declaration issued in Cairo, Egypt, on November 23, 2012
Ägypten, Mursi, Dekrete, Proteste, Ansprache, RedeFoto: picture-alliance/dpa

Dengan segala cara, Morsi dan kelompok ultrakonservatif berusaha meloloskan rancangan konstitusi yang masih mengundang kritik luas di kalangan masyarakat.

Sebuah konstitusi adalah kontrak sosial mengenai landasan negara. Konstitusi harus diterima oleh kalangan luas, dan tidak boleh tergantung pada mayoritas politik di parlemen yang bersifat sementara. Karena itu, perumusan dan perubahan konstitusi biasanya menuntut mayoritas besar di parlemen.

Konstitusi harus menyerap aspirasi masyarakat luas. Aspirasi yang menonjol di Mesir dalam dua tahun belakangan adalah penolakan sistem otoriter. Inilah motor utama gerakan yang menggulingkan Hosni Mubarak.

Rancangan konstitusi yang diputuskan kalangan ultrakonservatif di Mesir tidak menguatkan hak asasi manusia, bahkan membatasi hak-hak perempuan. Konstitusi tidak melindungi kebebasan pers dan tidak menjamin demokrasi.

Sebelum pemilu, kalangan pro demokrasi memang sudah khawatir bahwa kubu Ikhwanul Muslimin, jika menang pemilu, akan memaksakan pendirian negara agama menurut bayangan mereka. Ketika itu, Ikhwanul Muslimin berjanji tetap akan menjunjung demokrasi. Kenyataannya sekarang menjadi lain.

Banyak warga Mesir dulu senang Hosni Mubarak tersingkir. Mereka tidak ingin struktur yang lama kembali berkuasa. Mereka ingin memberi Morsi kesempatan membuktikan janjinya. Tapi sekarang, banyak yang kecewa.

Morsi dan kubu ultrakonservatif mungkin memenangkan referendum konstitusi, tapi mereka tidak berhasil memberi landasan kuat bagi sebuah negara baru. Mereka seharusnya mencari konsensus luas, tapi kini malah mempercepat perpecahan. Mereka memaksakan kemauan sendiri hanya demi kekuasaan.