1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Misteri Keterlibatan Soeharto Dalam Tragedi 65

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
29 September 2022

Bagaimana hubungan Soeharto dengan Peristiwa G30S/PKI tetaplah sebuah misteri, oleh karena itu selalu ada ruang untuk diskusi, atau lebih jauh lagi, membuka kemungkinan tafsir baru. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/4HBxm
Soeharto tahun 1966.
Mantan Presiden Soekarno dan mantan Presiden SoehartoFoto: picture-alliance/dpa

Para sarjana asing (Indonesianis) dengan sangat hati-hati menuliskan soal kemungkinan keterlibatan Soeharto, artinya ada argumentasi yang logis. Sudah tak terhitung naskah dan kajian terkait Peristiwa 1965 (versi Orde Baru disebut: G30S/PKI), yang beberapa di antaranya membahas tentang sejauh mana keterlibatan Soeharto.

Memang belum cukup bukti bahwa Soeharto benar-benar terlibat, namun bisa jadi Soeharto adalah bagian dari mastermind, artinya ada beberapa orang  yang bisa dianggap sebagai mastermind. Untuk sementara ini belum ditemukan kajian sarjana Indonesia, yang memberi hipotesis, kalau Soeharto sendiri sebenarnya adalah bagian dari gerakan.

Membuka ruang diskusi

Setelah hampir enam dekade berlalu, mungkin sudah saatnya ada pandangan yang lebih maju dan independen dari  peneliti lokal,  lepas dari bayang-bayang dominasi narasi Orde Baru. Bagaimana narasi versi Orde Baru tersebut, rasanya kita semua sudah paham, sehingga saya tidak perlu mengulanginya di sini.

Narasi Orde Baru sejatinya sudah usang, terjadi banyak "kebocoran” argumentasi di sana-sini, dan terkesan ada paksaan ke publik untuk percaya begitu saja. Salah satunya adalah soal pelaku penculikan perwira tinggi, yang semuanya adalah anggota militer dari Resimen Tjakrabhirawa, namun kemudian disebutkan bahwa penculikan itu merupakan gerakan kudeta PKI.

Para pelaku umumnya adalah bintara dan tamtama, apakah mungkin prajurit rendahan seperti mereka sudah terafiliasi pada lembaga atau organisasi lain (sebut saja PKI), selain satuan militer tempat mereka berdinas.  Kasus Irjen Ferdy Sambo baru-baru ini bisa menggambarkan bagaimana alam pikiran anggota militer dalam pangkat bintara dan tamtama, yang ada di benak mereka hanyalah kepatuhan tanpa syarat terhadap atasan. Bagaimana mereka memandang seorang pati atau pimpinan ibarat "kaisar”, artinya tidak ada ruang tawar-menawar dalam menjalankan sebuah perintah atau tugas. Membayangkan mereka memiliki ideologi, selain "ideologi” kepatuhan pada  atasan, adalah sesuatu yang absurd. Bahkan khusus bagi anggota Tjakrabhirawa sudah disumpah, untuk rela mati bagi Presiden Sukarno, dengan jargon saat itu adalah Pemimpin Besar Revolusi.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Oleh karenanya, untuk memahami Peristiwa G30S juga perlu logika, bila tidak masuk akal, apa akan dipertahankan terus? Kita masih bisa berharap pada generasi milenial, yakni generasi yang lahir sesudah tahun 1980-an. Generasi ini relatif bebas dari doktrin narasi Orde Baru, jadi masih bisa berpikir secara logis. Sementara generasi sebelumnya, setiap hari didoktrin dengan narasi versi Orde Baru, yang meskipun tidak masuk akal, tetap saja dipaksa untuk menerimanya. Dan celakanya, karena didoktrin setiap waktu, apa yang sebenarnya merupakan kebohongan, akhirnya dianggap sebagai kebenaran juga.

Bagi komunitas peneliti di tanah air, faktor lingkungan merupakan problem tersendiri.  Tidak seperti peneliti asing yang bisa menulis dengan tenang di negeri masing-masing,  sementara tekanan terhadap peneliti lokal relatif lebih berat, dan itu riil adanya. Lingkungan kurang kondusif seperti itu tentu saja berdampak pada sikap peneliti lokal,  yang selalu dihinggapi sindroma "keraguan intelektual”, bahkan lebih jauh lagi "ketakutan intelektual”, sehingga  belum sanggup menyampaikan secara terbuka  tentang dugaan keterlibatan Soeharto dalam Peristiwa G30S.

Pertanyaan mutakhir yang berkembang adalah, apakah Soeharto  benar-benar   pasif dalam operasi dini hari itu,  bahwa bisa Soeharto  adalah bagian (aktif) dari operasi itu sendiri? Salah satunya berdasarkan indikasi, bahwa Letkol Untung adalah protégé Soeharto. Berdasar asumsi ini, maka ruang diskusi masih selalu terbuka.

Dalam ikhtiar penelitian Peristiwa 1965, mungkin saya termasuk orang yang beruntung, karena sempat jumpa beberapa kali dengan Benedict Anderson, penulis utama Cornell Paper. Saya pribadi berpandangan, analisis yang diajukan Pak Ben (begitu panggilan akrabnya), bahwa  G30S merupakan bagian dari konflik internal Angkatan Darat, dan itu pun sebatas pada (rumpun) Kodam Diponegoro, akan selalu aktual, entah sampai kapan.

Dalam perbincangan singkat dengan Pak Ben, beliau mengaku paham soal adanya sejumlah kritik terhadap Cornell Paper, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pengritiknya,   Pak Ben tetap kukuh dan tidak goyah, bahkan sampai beliau berpulang (2015). Bagi peneliti mediocre  seperti saya, sikap Pak Ben merupakan daya tarik  tersendiri, artinya ada kesejajaran antara nama besar Pak Ben selaku ilmuwan, dengan kekuatan analisisnya pada Peristiwa 1965.

Rivalitas senyap  Soeharto - Yani

Sesuai dengan berjalannya waktu, analisis Cornell Paper tetap bisa menjadi sumber inspirasi, yang tak lekang oleh waktu. Setelah sekian dekade berlalu, analisis tentang konflik internal militer, dan itu pun sebatas Kodam Diponegoro, masih bisa digunakan dalam membaca rivalitas abadi dan senyap antara Soeharto dan Ahmad Yani, dua tokoh sentral yang kebetulan sama-sama bagian dari Kodam Diponegoro (meliputi Jateng dan DIY).

Sebuah tema yang selalu menarik untuk dibahas, bagaimana selalu ada rivalitas laten antara Soeharto dengan Jenderal Ahmad Yani.Selama masih ada Yani, Soeharto tidak akan naik menuju puncak kekuasaan, kira-kira begitulah pemikiran Soeharto. Rivalitas senyap antara Yani dan Soeharto  hanyalah salah satu "keping” untuk membaca keterlibatan Soeharto.

Analisis atau hipotesis yang lebih maju soal keterlibatan Soeharto memang harus diajukan, karena tidak mungkin pula menunggu testimoni Soeharto. Bukan  karena Soeharto sudah tiada, kendati masih hidup pun, Soeharto tidak akan memberikan kesaksiannya. Berharap pada kesaksian Soeharto adalah kesia-siaan.

Tinjauan "psikologis” tampaknya diperlukan untuk memahami Soeharto, yakni puluhan tahun sebelum terjadinya pada Peristiwa 1965. Masa kanak-kanak yang menderita, sampai pelatihan sebagai tentara PETA, sangat membantu untuk mengerti bagaimana Soeharto bisa bersikap dingin dalam melenyapkan sejumlah figur, salah satunya adalah sahabatnya sendiri, yakni Letkol Untung.

Ketika Nasution lolos pada operasi dini hari itu, bukan masalah benar bagi Soeharto, yang penting Yani jangan sampai lepas. Dalam pandangan Soeharto, Nasution sudah selesai sebagai penghalang dirinya. Dengan kata lain Nasution sama sekali tidak diperhitungkan oleh Soeharto.

Begitu fokusnya pada Yani, Soeharto seolah tidak memperhitungkan lagi sosok Nasution, termasuk juga Bung Karno selaku presiden. Ada logika yang sama dalam memahami, bagaimana hubungan antara Soeharto dengan Bung Karno atau Nasution. Tapi hubungan antara Soeharto dan Yani benar-benar dalam kondisi berbeda, yang menjadi benang merah terkait keterlibatan Soeharto dalam G30S.

Berdasar asumsi, selama ada Yani, Soeharto tidak akan naik, maka Yani harus dilenyapkan. Sebab bila "dibiarkan” hidup, bukan saja akan menghalangi ambisi berkuasa Soeharto, namun Yani juga akan memukul balik Soeharto, karena Yani pasti tahu siapa dalang dari semua peristiwa-peristiwa ini.

Soal bagaimana  Jenderal Soeharto bergerak cepat mengatasi pergolakan di Jakarta sejak awal Oktober 1965 hingga kekuasaan beralih ke tangannya, bisa jadi merupakan cerita lama . Tampaknya Soeharto memang telah menyiapkan diri sejak lama, yakni sejak menjadi panglima Kodam (dahulu Tentara dan Teritorium) Diponegoro, periode 1957-1959.

Ada kosa kata indah untuk menggambarkan tingkat kesiapan seseorang dalam merespons momentum sejarah, yakni eenmalig (Belanda), yang secara harfiah artinya "sekali saja”. Maknanya mirip dengan peribahasa yang bisaa kita dengar: kesempatan tidak datang dua kali. Tidak semua orang siap dalam merespons kesempatan sejarah.

Inilah hebatnya Soeharto, ketika bersama timnya terus melakukan manuver agar kesempatan sejarah  terus merapat agar mempermudah jalan menuju Istana. Itulah sebabnya mengapa Soeharto terlihat begitu siap menyongsong momentum sejarahnya sendiri di tengah pergolakan tahun 1965.

Aspirasi merebut kekuasaan disimpan Soeharto rapat-rapat. Hanya lingkaran terdekatnya saja yang bisa menangkap sinyal itu. Sejak masih bertugas di lingkungan Kodam Diponegoro, Soeharto membangun tim solid guna mendukung aspirasinya. Ketika dipindahkan ke Jakarta sebagai Pangkostrad, hingga kemudian menjadi Presiden RI, Soeharto tetap melibatkan tim yang soliditasnya sudah terbentuk sejak sama-sama bertugas di Kodam Diponegoro. Dua nama yang patut disebut adalah Yoga Sugama dan Ali Moertopo.

Ditariknya Kolonel Yoga Sugama ke Jakarta dari Yugoslavia, pada Januari 1965, merupakan fakta menarik. Bahkan Mayjen Soeharto sendiri yang memerlukan, untuk berkirim surat pada Dubes RI di Yugoslavia, agar Yoga bisa membantu  dirinya, dengan jabatan sebagai Asisten Intelijen Kostrad. Ditariknya Yoga ke Jakarta pada Januari 1965 tersebut, ibarat sebuah keping, yang bisa menjelaskan bagaimana Soeharto sedang bersiap-siap menuju kekuasaan.

Sebagaimana analisis selama ini, ada dua "trio” yang dimainkan Soeharto guna meraih kekuasaan. Trio pertama, adalah Soeharto – Yoga Sugama – Ali Murtopo. Sementara trio kedua adalah Soeharto – Latief  - Untung. Kini semua telah menjadi sejarah, bahwa trio pertama yang terus digunakan oleh Soeharto, sementara trio kedua dimusnahkannya sendiri.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis