1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Aung San Suu Kyi Ditahan dalam Kudeta Militer di Myanmar

1 Februari 2021

Militer menjatuhkan pemerintahan sipil di Myanmar dan menangkap sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk Aung San Suu Kyi. Pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu mengimbau pendukungnya untuk melawan kudeta.

https://p.dw.com/p/3oetd
Tentara bersenjata berat berjaga-jaga di sejumlah titik penting di kota-kota besar Myanmar, Senin (1/2).
Tentara bersenjata berat berjaga-jaga di sejumlah titik penting di kota-kota besar Myanmar, Senin (1/2).Foto: AFP via Getty Images

Senin (1/2) pagi  sepasukan tentara menyatroni kediaman Aung San Suu Kyi dan sejumlah petinggi lain Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di Yangon. Mereka dikenakan tahanan rumah. Beberapa saat kemudian, militer yang dipimpin Jendral Min Aung Hliang mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dan pemberlakuan status darurat nasional selama setidaknya satu tahun. 

Desas-desus kudeta militer sudah tersiar sejak pekan lalu. Pada Sabtu (29/1), Tatmadaw masih menyatakan berkomitmen pada prinsip demokrasi. 

Militer mengklaim kudeta terhadap pemerintahan sipil dilakukan lantaran pihaknya mencurigai adanya kecurangan secara masif pada penyelenggaraan pemilu, November silam. Tuduhan ini sudah dibantah oleh Komisi Pemilihan Umum.

Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jendral Min Aung Hlaing.
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jendral Min Aung Hlaing.Foto: Soe Zeya Tun/REUTERS

Kudeta yang diumumkan lewat siaran darurat di stasiun-stasiun televisi nasional itu dilakukan hanya beberapa jam sebelum parlemen baru Myanmar dijadwalkan melakukan sidang perdana, Senin 1/2). 

"Untuk menyelidiki kecurangan pada daftar pemilih, otoritas legislatif, eksekutif dan yudikatig akan diserahkan kepada panglima militer,” tulis Tatmadaw dalam keterangan persnya.

Reaksi Aung San Suu Kyi

Saat ini sambungan telepon dan internat tidak lagi berfungsi di ibu kota Nyapyidaw atau pusat kota yangon. Sementara siaran stasiun televisi nasional dikabarkan terhenti sejak Senin pagi.

Sebuah video yang sempat diunggah di Facebook menampilkan adegan penangkapan seorang anggota parlemen dari partai NLD, Pa Pa Han. Dalam video itu, suaminya terlihat berusaha bernegosiasi kepada sekelompok serdadu di luar pagar rumah. 

Adapun di pusat kota Yangon, tentara terlihat berjaga-jaga di setiap sudut kota. Penduduk yang mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan, bergegas menyerbu pusat perbelanjaan dan mengantri di ATM untuk mengambil uang tunai.

Sementara itu, Aung San Suu Kyi menerbitkan pernyataan di sebuah laman Facebook, yang mengimbau warga agar memrotes aksi kudeta. Dia mengaku sudah mengantisipasi langkah tentara menjatuhkan pemerintahan sipil.  

Siaran televisi militer pada Senin (1/2) pagi mengumumkan penangkapan tokoh NLD, pembubaran parlemen dan status darurat militer selama satu tahun.
Siaran televisi militer pada Senin (1/2) pagi mengumumkan penangkapan tokoh NLD, pembubaran parlemen dan status darurat militer selama satu tahun.Foto: AFP

"Saya mendesak masyarakat agar tidak menerima hal ini, untuk merespon dan memrotes kudeta oleh militer,” tulisnya.

Dalam pemilu legislatif November silam, partai pimpinan Aung San Suu Kyi ini memenangkan hampir 83% suara. Adapun Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang dibentuk militer, dikabarkan menangguk malu usai hanya mengamankan 33 dari 476 kursi di badan legislatif.

Kecaman dunia internasional

Perkembangan teranyar di Myanmar ditanggapi dengan kecaman oleh sejumlah negara, termasuk Australia, Inggris, Uni Eropa, India, Jepang, Malaysia, Singapura dan PBB. Sebaliknya Thailand yang juga dipimpin oleh junta militer menyatakan kudeta di Naypyidaw adalah urusan dalam negeri Myanmar.

Adapun Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengecam "aksi kudeta dan penangkapan ilegal terhadap warga sipil, termasuk Aung San Suu Kyi, di Myanmar,” tulisnya via Twitter. "Suara rakyat harus dihormati, dan pemimpin sipil dibebaskan.”

Peringatan perjalanan dikeluarkan sejumlah negara, antara lain AS, menyusul ancaman "kerusuhan” pasca kudeta. "Amerika Serikat berdiri bersama warga Burma dalam menyampaikan aspirasi untuk demokrasi, kebebasan, perdamaian dan pertumbuhan. Militer harus menghentikan tindakannya sesegera mungkin,” tulis Kedutaan Besar AS di Naypyidaw.

Namun Direktur Human Rights Watch, John Sifton, mengritik respons Gedung Putih karena dianggap "terlalu lemah,” dan mendesak reaksi yang lebih tegas.

"AS harus bekerjasama dengan sekutu-sekutunya dan berbicara lebih lantang dalam memberikan ultimatum, dan memberitahu militer Myanmar tentang konsekuensi yang harus ditanggung jika aksi kudeta mereka tidak dibatalkan,” kata dia.

rzn/hp (ap, rtr, afp)