1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Dedikasi Bidan Ropina Rawat Anak dengan HIV dan AIDS

1 Desember 2021

Belasan tahun Bidan Ropina merawat ratusan anak dengan HIV/AIDS dari wilayah Jabodetabek. Kebahagiaan terbesarnya adalah melihat anak-anak yang kerap didiskriminasi ini mandiri dan sukses.

https://p.dw.com/p/43fFO
Anak-anak tengah beraktivitas di Yayasan Vina Smart Era
Anak-anak dengan HIV/AIDS sering menerima diskriminasi. Padahal menderita penyakit itu bukanlah kehendak mereka.Foto: privat

HIV dan AIDS masih menjadi salah satu penyakit dengan momok menakutkan. Tak jarang orang atau anak dengan HIV dan AIDS (ADHA) didiskriminasi dan mendapat stigma dari masyarakat sekitar.

Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah kasus penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) turun 16,5% dari sekitar 50.200 kasus pada 2019 menjadi hampir 42.000 pada 2020. Sebaliknya, kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) naik lebih dari 22% atau menjadi sekitar 8.600 pada 2020.

Dalam merawat ratusan anak-anak dengan HIV dan AIDS, Bidan Ropina Tarigan bukanlah orang asing. Belasan tahun telah ia dedikasikan untuk merawat sekitar 148 anak dari usia 6 hingga 19 tahun dengan HIV/AIDS dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Dua puluh anak di antaranya hidup bersamanya di rumah, sementara anak lainnya tinggal bersama dengan sanak saudara mereka.

"Saya ingin mengurangi stigma negatif masyarakat. Banyak orang bilang kalau penyakit AIDS ini adalah penyakit yang dibuat sendiri. Tapi kalau anak 'kan korban, mereka ini tidak bersalah," kata Bidan Ropina Tarigan kepada DW Indonesia.

Mayoritas anak tertular dari orang tua pecandu

Ia menceritakan, awal rasa prihatinnya muncul ketika ditugaskan sebagai bidan sukarelawan di Puskesmas Tambora, Jakarta Barat. Kala itu ia bertugas melayani pasien ketergantungan narkoba suntik.

Saat itulah ia sering melihat bahwa banyak pengguna narkoba yang juga terinfeksi HIV dan menderita AIDS. Selain itu, mereka memiliki istri dan anak yang juga terinfeksi HIV/AIDS. Mayoritas anak-anak ini tertular dari sang ayah yang pengguna jarum suntik dan menularkan ke istrinya, dan akhirnya ketika istrinya itu mengandung anak mereka lahir dengan HIV/AIDS. Sekitar 95% anak-anak asuhnya adalah yatim-piatu ditinggal orang tua karena HIV/AIDS.

Bidan Ropina Tarigan dari Jakarta Barat
Bidan Ropina Tarigan dari Jakarta BaratFoto: privat

"Aduh kasihan banget ini anak, karena orang 'kan semua tidak peduli. Saya merasa kasihan dan prihatin sama anak-anak di sana, sudah kena HIV, didiskriminasi juga. Akhirnya saya tergerak untuk menjadikan rumah kami untuk mengurus anak-anak mereka. Saya izin sama suami dan anak-anak saya untuk lakukan ini," kata Ropina.

Sejak 2008 ia pun memutuskan untuk berfokus untuk mengurus anak-anak dengan HIV/AIDS. Ia lalu mendirikan yayasan dengan bantuan teman dekat dan donatur hingga akhirnya pada 2015 secara hukum resmi berdiri sebagai Yayasan Vina Smart Era.

Perlahan memupus stigma

Bidan Ropina mengatakan dulunya anak-anak dengan HIV AIDS kerap mengalami diskriminasi dan stigma, baik dari lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah karena masyarakat tidak mendapatkan info yang benar. 

"Banyak yang bilang jangan main sama anak saya karena nanti tertular, dijauhi teman-teman. Dulu pernah sampai dikeluarkan dari sekolah dengan alasan orang tua murid keberatan jika ada ADHA yang bersekolah di sekolah umum," ujar dia. 

Bukan hanya masyarakat, diskriminasi juga sempat datang dari para perawat dan petugas medis, tuturnya. "Kalau di RS, jangan dekat-dekat itu pasien ADHA, parah sekali dulu itu."

Namun sekarang sudah ada kemajuan pesat berkat edukasi dan informasi dari pihak sekolah kepada orang tua atau wali murid. Sekarang ini keadaannya berbalik, banyak orang tua murid yang justru iba dan simpatik terhadap ADHA, ujarnya.

"Saya terbuka atas kondisi anak-anak saya sebelum masuk sekolah. Justru kalau menutupi keadaannya berarti kita yang melakukan diskriminasi itu. Sekarang sudah welcome," kata dia.

"Orang akan melihat, oh ibu itu mau pelukan sama anaknya, gandeng anak-anak, berenang, nonton, makan di restoran, anak-anak itu tinggal di asrama itu berarti tidak bahaya ya mereka. Itu contoh yang saya ingin berikan ke masyarakat, tidak hanya dengan omongan. Buktinya belasan tahun saya tidak tertular," kata Ropina.

Kendala pandemi COVID-19

Ropina menjelaskan pandemi COVID-19 yang melanda hampir 2 tahun telah membuatnya jauh dari anak-anak asuh karena mereka tidak diperkenankan terlalu sering bolak-balik dari rumah ke asrama demi mencegah penularan COVID-19.

"Sebelum pandemi, di sini ada 20 anak, namun karena pandemi tersisa lima anak. Selama pandemi mereka lebih sering bersama keluarga," kata dia. Anak-anak yang tidak berada di asrama biasanya akan tinggal bersama kakek, nenek, atau paman.

Ropina mengatakan akses obat ARV (antiretroviral) selama pandemi juga tak selancar dulu karena harus berbagi dengan daerah lainnya dan pengobatan COVID-19. ARV adalah obat yang dipakai untuk menghambat aktivitas HIV agar tubuh ODHA dapat membangun sistem kekebalan. Bidan Ropina menambahkan saat ini banyak anak asuhnya yang dalam darah mereka sudah tidak lagi terdeteksi virus.

Harapan itu tetap ada

Mayoritas penderita HIV yang dilaporkan memang didominasi usia produktif di rentang usia 25 hingga 49 tahun, yakni nyaris mencapai 70% pada 2020. Hanya kurang dari 3% penderita HIV yang berusia 15 hingga 19 tahun dan usia di bawah 4 tahun sebesar 1,5%.

Bidan Ropina pun berharap agar angka anak dengan HIV/AIDS bisa menurun dengan terus melakukan upaya pencegahan penularan HIV ibu hamil ke bayinya. Caranya antara lain dengan melakukan pemeriksaan sebelum menikah kepada ibu hamil dan kepada perempuan yang memakai alat kontrasepsi.

"Program pemerintah sekarang sudah bagus sekali. Tapi apakah jalan ke akar rumput, apakah sudah maksimal dijalankan di seluruh Indonesia?" tanyanya.

Meski banyak tantangan, Ropina tetap menaruh harapan agar tiap anak asuhnya bisa mandiri dan berhasil dalam menempuh pendidikan, serta sukses. "Mereka bisa kuliah, bisa kerja mandiri dan tinggal mandiri, bisa raih cita-cita. Ada satu anak saya ketika ditanya mau jadi bidan seperti saya. Itu rasanya bahagia sekali," katanya. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.