1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekTurki

Mengapa Turki Jadi Hotspot Gempa?

Hannah Fuchs | Carla Bleiker
7 Februari 2023

Mengapa wilayah Turki dan Suriah kerap jadi hotspot gempa, yang pada Senin (06/02) kembali terjadi hingga menewaskan ribuan orang dan meluluhlantakkan ratusan bangunan? Berikut penjelasannya.

https://p.dw.com/p/4NAn3
Gempa dahsyat di Turki dan Suriah menewaskan lebih dari 4.000 orang
Gempa dahsyat di Turki dan Suriah menewaskan lebih dari 4.000 orangFoto: IHA/AP Photo/picture alliance

Gempa dahsyat yang melanda Turki dan Suriah pada Senin (06/02) telah menewaskan lebih dari 4.300 orang. Jumlah korban diperkirakan masih akan terus bertambah.

Tim SAR pun hingga kini masih terus bekerja untuk menyelamatkan warga yang kemungkinan masih tertimbun di bawah reruntuhan. Cuaca buruk menjadi kendala yang harus mereka hadapi. Suhu di area terdampak gempa kerap turun di bawah titik beku, dan beberapa area bahkan mengalami hujan salju lebat.

Menurut manajemen bencana Turki, Afad, episentrum gempa berkekuatan 7,4 SR itu terletak di provinsi Kahramanmaras yang dekat dengan perbatasan Suriah. Tidak lama setelahnya, gempa susulan berkekuatan 6,6 SR terjadi di provinsi Gaziantep, kata Afad.

‘Puzzle dinamis'

Di Turki dan beberapa wilayah lain di dunia, gempa bumi bukanlah hal langka. Tapi kenapa?

Untuk menjawabnya, penting bagi kita untuk melihat kerak bumi seperti puzzle yang dinamis. Layaknya puzzle pada umumnya, kerak bumi juga terdiri dari banyak kepingan-kepingan individu, yaitu lempeng samudra raksasa dan lempeng kerak benua kecil. Belum ada konklusi hingga kini mengenai berapa banyak jumlahnya.

Yang diketahui oleh para ilmuwan adalah lempeng-lempeng ini bergerak beberapa sentimeter (kira-kira 1 inci) setiap tahun. Mereka bisa menjauh, mendekat, atau kadang-kadang saling berhadapan, sehingga menyebabkan benua di atas mereka ikut bergerak. Pergerakan ini lah yang disebut sebagai lempeng tektonik.

Risiko gempa di Turki sangat tinggi

Turki telah lama mendapat perhatian khusus dari para peneliti gempa. Pusat Penelitian Geosains Jerman (GFZ) misalnya, telah memasang peralatan pengukur gempa di sana. Mereka bahkan telah melakukan pemantauan seismik sejak 1980-an di negara tersebut.

Menurut catatan GFZ, risiko gempa bumi di Turki dengan kategori sangat tinggi ada di seluruh wilayah sekitar Laut Marmara, di mana Istanbul berada.

Marco Bohnhoff, seismolog dari GFZ, bersama dengan para ahli lain mendasarkan perkiraan ini pada beberapa hal, yakni terjadinya beberapa gempa dahsyat sepanjang sejarah Istanbul, pergeseran benua yang masih terus berlangsung di bawah Laut Marmara, dan adanya area zona gempa tepat di luar Istanbul yang telah lama sepi.

"Pertanyaannya sekarang bukan tentang apakah gempa bumi akan datang. Pertanyaannya adalah kapan gempa itu datang,” kata Bohnhoff pada 2019 silam.

Menurut Bohnhoff, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa lempengan-lempengan di area tersebut "tersangkut,” sehingga membuat ketegangan meningkat. Pada akhirnya, mereka tidak akan mampu lagi menahan ketegangan, dan lempengan-lempengan yang saling mendorong akan bergerak dalam sentakan beberapa meter dalam hitungan detik, kata Bohnhoff.

Pentingnya struktur bangunan stabil

Gelombang gempa yang menggerakkan tanah akan membahayakan bangunan dan infrastruktur, yang pada ujungnya akan membahayakan nyawa manusia pula. Tingkat kerusakannya tergantung pada seberapa kuat gempa yang terjadi.

Sebagai contoh, gempa yang melanda wilayah perbatasan Turki-Suriah pada Senin (06/02), telah meluluhlantakkan lebih dari 1.700 bangunan. Itu pun hanya di Turki saja.

Untuk itu, cara yang bisa dilakukan adalah dengan konstruksi tahan gempa. Namun sayangnya, ini sangat mahal, kata Bohnhoff.

Selain itu, kondisi tanah tempat bangunan itu dibangun juga tidak kalah penting. Secara umum, semakin keras tanahnya, semakin baik, jelas Bohnhoff.

"Yang terbaik jika lapisan tanahnya adalah granit. Sementara sedimen kering seperti pasir atau tanah liat kurang disukai,” tambahnya.

Menurut Bohnhoff, amplifikasi gerakan tanah lebih mungkin terjadi pada batuan dasar yang lunak, yang terkadang muncul bersama dengan likuifaksi.

Ia menganalogikan proses tersebut dengan pasir basah di pantai.

"Jika Anda berulang kali mengetuk tempat yang sama di pasir, air akan terkumpul di lubang itu. Kemudian bawah permukaan menjadi tidak stabil,” kata seismolog itu.

Rumah Tahan Guncangan

Dalam kesempatan terpisah, Mohammad Kashani, seorang profesor teknik struktur dan gempa dari Universitas Southampton di Inggris, menjelaskan bahwa bangunan yang runtuh akibat gempa pada Senin (06/02) kemungkinan besar tidak dirancang untuk gempa berkekuatan besar.

Padahal menurutnya kombinasi kekuatan gempa yang besar dan kedalaman gempa yang dangkal membuat gempa tersebut menjadi sangat merusak.

"Foto-foto menunjukkan bahwa beberapa bangunan yang runtuh mungkin telah dibangun sebelum kode desain seismik modern muncul,” kata Kashani.

"Kita perlu menyelidiki struktur yang runtuh secara detail dan belajar dari peristiwa dahsyat ini untuk merancang struktur dan kota kita agar tahan terhadap peristiwa semacam ini,” tambahnya. (gtp/pkp)

 

Catatan editor: Versi sebelumnya dari artikel ini terbit dalam bahasa Jerman pada 2 November 2020

 

Carla Bleiker
Carla Bleiker Editor, channel manager, dan reporter yang berfokus pada politik AS dan sains@cbleiker