1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memikirkan Ulang Ide Golput

Andy Budiman11 Maret 2013

Tiga Pemilihan Kepala Daerah terakhir menunjukkan banyaknya masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Pertanyaannya: apakah Golput adalah artikulasi politik yang tepat di era keterbukaan?

https://p.dw.com/p/17upL
Foto: picture-alliance/dpa

Tiga Pemilihan Kepala Daerah terakhir memberi sinyal penting.

Desember lalu, lebih dari setengah pemilih di Bekasi memilih untuk Golput. Di Jawa Barat, lebih dari sebelas juta pemilih atau lebih dari 30 persen tidak mengunakan hak pilih. Terakhir di Sumatera Utara, jumlah Golput mencapai kisaran 50 hingga 60 persen.

Pada masa otoritarianisme Orde Baru, Golongan Putih atau Golput adalah pernyataan politik. Sebuah boikot atas pemilu yang penuh pura-pura.

Kekuasaan pada masa puncak kekuasaan rejim orde baru mirip potret Orwellian State, di mana negara mengontrol penuh rakyat.

Rakyat dimobilisir untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara dan mencoblos partai yang berkuasa.

Intelijen mendata dosen atau mahasiswa yang membangkang. Mereka yang memilih partai oposisi diidentifikasi dan diawasi.

Pada situasi seperti itulah, Golput menjadi sebuah statement yang sangat politis di tengah upaya de-politisasi rejim, yang ingin menjauhkan publik dari pengambilan keputusan politik.

Tapi situasi kini berbeda.

Politik menjadi sebuah arena terbuka.

Pasca reformasi wajah politik memang dipenuhi problem korupsi dan oligarki partai. Kecenderungan yang mendorong orang untuk menjadi golput: apatis bahwa politik akan bisa membawa perubahan.

Kita lupa bahwa di era keterbukaan perjuangan politik membutuhkan artikulasi dalam bentuk lain.

Setiap lima tahun, kita bisa menghukum pejabat atau partai yang bekerja dengan buruk, dengan tidak mencoblos mereka.

Sebagai gantinya, kita punya kesempatan untuk memilih kandidat terbaik, bahkan diantara yang buruk sekalipun lewat pemilu.

Golput di era terbuka, justru bisa memberi saham bagi terpilihnya kandidat paling buruk.

Kekuatan kini justru terletak di tangan pemilih untuk menentukan siapa yang akan diberi kesempatan untuk berkuasa dan memperbaiki keadaan.